Tragedi Imam Bonjol Berdarah
Baru saja langit ingin memejamkan matanya,
terdengar letupan pistol menembus pangkal napasnya
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
bagai lapisan retina yang menepis percikan cahaya.
Di hadapan rumah dansa,
lelaki itu berlumuran darah di dadanya.
Keluarganya berduka seraya meneguk secangkir airaksa.
Jalan imam bonjol bersaksi,
tiap sirine meggema tiada henti,
masuk dalam radar kepungan polisi.
“Begitulah kota pusat peradaban,” cakap walikota
sembari menengok kawah tambang batubara,
dan ia bayangkan begitulah wajahnya.
Lantas aku bertanya;
“Begitukah wajah meta-semesta?”
Anak kecil tak lagi riang bermain dan berlari
mendengar algojo kini menyelinap dibalik tirai.
Ibu-ibu telah was-was setiap mengguling diri,
sembari menghapus senyum bertubi-tubi
laksana pesut tiada henti
mengurung diri dari serbuan koloni.
Apalah guna Teras Samarinda bergaun megah
jika harga nyawa menjadi kian murah?
Apalah arti surga berbalut sejarah
bila warga muntah darah
dalam suasana gelisah?
Samarinda, 2025
Tarekat Aji Pangeran Tumenggung Pranoto
Di antara raung mesin dan peluh petugas,
namamu, tuan, disiarkan megafon
sekadar alarm untuk segera berangkat.
Terpajang di gerbang besi dan kaca,
cukup saja sebagai lampiran perhentian
untuk menyambut kaki para asing
yang takkan sempat mengenangmu.
Saling bergantian, para pesawat mulai mendarat
mengusung langkah yang tak sempat menoleh.
Sementara engkau, tuan,
segera memudar serupa manuskrip tua
lapuk termakan oleh rayap.
Dahulu, tuan menyalakan nyali dari bara pusaka
di zaman pertempuran dan menautkan sebuah peta,
seperti menyulam lagi nadi yang telah koyak.
Kini, namamu mendekam dalam petunjuk arah,
hilang dalam buku sejarah sekolah.
Wahai penjaga ruang belajar,
pengibar lambang,
pemangku gelar,
bisakah tuan bernapas kembali
terpatri dalam bait-bait
yang wajib diucapkan
sebagai dongeng pembuka kelas?
Bila landasannya bagai jalan peristirahatan,
maka suntikan sejarah ke dalam benak mereka
adalah sebuah keharusan.
Biarlah namamu, tuan, tak sekadar gema,
meresap perlahan-lahan bagai akar ulin tumbuh
menjulang dalam lorong-lorong rumah lamin.
Samarinda, 2025
Hikayat Sultan Aji Muhammad Idris
Tuan tak menggenggam pedang,
hanya dada yang lapang.
Dan langit tahu,
Tuan sang jihad,
tiada milik prajurit hanya berdiam
ketika tiba badai datang senantiasa
menumbangkan pohon doa
dalam dadamu.
VOC bersandar pada meriam,
sementara tuan,
bersandar pada syair
yang memanjat lewat urat waktu,
tak mampu ditaklukan
oleh buih-buih emas dan berhala.
Tuan tak kalah jika tubuhmu mulai rebah.
Namun, ruh, takkan mempan sekadar ditembak
oleh peluru revolver para penjajah.
Tuan bukan penghuni Istana Mahakam,
hidup bergelimang harta dan ranjang sutra.
Tuan adalah nur, bersenjatakan iman
untuk membela marwah Samarendah.
Darahmu, tuan,
bagai tinta kaligrafi yang dituliskan oleh malaikat
di atas kitab yang tak mudah pudar bila dibakar.
Sebab, jihadmu tuan, tiada sekadar angkat senjata.
Jihadmu adalah setia, kepada Maha Kuasa,
kepada-Nya yang tak butuh genggaman pangkat.
Samarinda, 2025
Sajak Tenggelamnya Anak Karang Mumus
Angin berdesir membisikkan kisahnya
kepada akar-akar tua.
Persis tubuh mantra, yang menampung gelisah
tentang trauma masa lalu.
Di pelupuk tanah, anak-anak berlari,
telanjang kaki mereka mengiris lumpur
dalam doa yang tak sampai.
Tak sempat mengenalnya arti dewasa,
Seketika terhempas oleh muara
yang diam menghafal nama mereka.
Engkau bukan pemotong rumput
bagi mereka yang belum selesai tumbuh.
Tenangmu palsu, sabar menunggu
melahap anak kecil yang bermain riang,
persis anak batang, lupa jalan pulang.
Sudahkah terdengar azan suraumu
sampai begitu bersikap ceroboh?
Tak tertampung lagi,
berapa banyak ibu menyalakan dupa
dalam jiwanya, remuk merawat luka.
Hamba memohon kepadamu,
biarlah engkau mengalir tanpa dipandu
untuk membawa rahasia tanpa ragu,
dengan tidak menelan lagi
para bibit-bibit kecil
yang tak sempat belajar
untuk melawan rasa takut.
Samarinda, 2025
*Cahaya Daffa Fuadzen merupakan mahasiswa Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Mulawarman. Mengisi waktu senggangnya dengan menulis puisi, cerpen, dan esai. Aktif bergiat di Komune TerAksara Indonesia. Beberapa karyanya telah dimuat di berbagai media daring dan beberapa di antaranya terhimpun juga dalam antologi Cermin Lain di Balik Pintu Lamin: Lapisan Mutakhir Penyair Kalimantan Timur (2023). Dirinya baru saja terpilih dalam event sastra bertajuk Dialog Serantau Borneo-Kalimantan XVI Tahun 2025 yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Kalimantan Timur. Kini, ia tengah menyusun manuskrip puisi tunggal pertamanya. Dapat disapa melalui Instagram: @cahayadaffa_