Puisi-puisi Cahaya Daffa Fuadzen

Redaksi Nolesa

Sabtu, 5 Juli 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

(for NOLESA.COM)

(for NOLESA.COM)

Tragedi Imam Bonjol Berdarah

Baru saja langit ingin memejamkan matanya,

terdengar letupan pistol menembus pangkal napasnya

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

bagai lapisan retina yang menepis percikan cahaya.

Di hadapan rumah dansa,

lelaki itu berlumuran darah di dadanya.

Keluarganya berduka seraya meneguk secangkir airaksa.

Jalan imam bonjol bersaksi,

tiap sirine meggema tiada henti,

masuk dalam radar kepungan polisi.

“Begitulah kota pusat peradaban,” cakap walikota

sembari menengok kawah tambang batubara,

dan ia bayangkan begitulah wajahnya.

Lantas aku bertanya;

“Begitukah wajah meta-semesta?”

Anak kecil tak lagi riang bermain dan berlari

mendengar algojo kini menyelinap dibalik tirai.

Ibu-ibu telah was-was setiap mengguling diri,

sembari menghapus senyum bertubi-tubi

laksana pesut tiada henti

mengurung diri dari serbuan koloni.

Apalah guna Teras Samarinda bergaun megah

jika harga nyawa menjadi kian murah?

Apalah arti surga berbalut sejarah

bila warga muntah darah

dalam suasana gelisah?

Samarinda, 2025

Tarekat Aji Pangeran Tumenggung Pranoto

Di antara raung mesin dan peluh petugas,

namamu, tuan, disiarkan megafon

sekadar alarm untuk segera berangkat.

Terpajang di gerbang besi dan kaca,

Baca Juga :  Setelah Jejakmu Hilang

cukup saja sebagai lampiran perhentian

untuk menyambut kaki para asing

yang takkan sempat mengenangmu.

Saling bergantian, para pesawat mulai mendarat

mengusung langkah yang tak sempat menoleh.

Sementara engkau, tuan,

segera memudar serupa manuskrip tua

lapuk termakan oleh rayap.

Dahulu, tuan menyalakan nyali dari bara pusaka

di zaman pertempuran dan menautkan sebuah peta,

seperti menyulam lagi nadi yang telah koyak.

Kini, namamu mendekam dalam petunjuk arah,

hilang dalam buku sejarah sekolah.

Wahai penjaga ruang belajar,

pengibar lambang,

pemangku gelar,

bisakah tuan bernapas kembali

terpatri dalam bait-bait

yang wajib diucapkan

sebagai dongeng pembuka kelas?

Bila landasannya bagai jalan peristirahatan,

maka suntikan sejarah ke dalam benak mereka

adalah sebuah keharusan.

Biarlah namamu, tuan, tak sekadar gema,

meresap perlahan-lahan bagai akar ulin tumbuh

menjulang dalam lorong-lorong rumah lamin.

Samarinda, 2025

Hikayat Sultan Aji Muhammad Idris

Tuan tak menggenggam pedang,

hanya dada yang lapang.

Dan langit tahu,

Tuan sang jihad,

tiada milik prajurit hanya berdiam

ketika tiba badai datang senantiasa

menumbangkan pohon doa

dalam dadamu.

VOC bersandar pada meriam,

sementara tuan,

bersandar pada syair

Baca Juga :  Puisi-puisi Ilham Wiji Pradana

yang memanjat lewat urat waktu,

tak mampu ditaklukan

oleh buih-buih emas dan berhala.

Tuan tak kalah jika tubuhmu mulai rebah.

Namun, ruh, takkan mempan sekadar ditembak

oleh peluru revolver para penjajah.

Tuan bukan penghuni Istana Mahakam,

hidup bergelimang harta dan ranjang sutra.

Tuan adalah nur, bersenjatakan iman

untuk membela marwah Samarendah.

Darahmu, tuan,

bagai tinta kaligrafi yang dituliskan oleh malaikat

di atas kitab yang tak mudah pudar bila dibakar.

Sebab, jihadmu tuan, tiada sekadar angkat senjata.

Jihadmu adalah setia, kepada Maha Kuasa,

kepada-Nya yang tak butuh genggaman pangkat.

Samarinda, 2025

Sajak Tenggelamnya Anak Karang Mumus

Angin berdesir membisikkan kisahnya

kepada akar-akar tua.

Persis tubuh mantra, yang menampung gelisah

tentang trauma masa lalu.

Di pelupuk tanah, anak-anak berlari,

telanjang kaki mereka mengiris lumpur

dalam doa yang tak sampai.

Tak sempat mengenalnya arti dewasa,

Seketika terhempas oleh muara

yang diam menghafal nama mereka.

Engkau bukan pemotong rumput

bagi mereka yang belum selesai tumbuh.

Tenangmu palsu, sabar menunggu

melahap anak kecil yang bermain riang,

persis anak batang, lupa jalan pulang.

Baca Juga :  Menikmati Kopi di Saat Lampu Mati

Sudahkah terdengar azan suraumu

sampai begitu bersikap ceroboh?

Tak tertampung lagi,

berapa banyak ibu menyalakan dupa

dalam jiwanya, remuk merawat luka.

Hamba memohon kepadamu,

biarlah engkau mengalir tanpa dipandu

untuk membawa rahasia tanpa ragu,

dengan tidak menelan lagi

para bibit-bibit kecil

yang tak sempat belajar

untuk melawan rasa takut.

Samarinda, 2025

*Cahaya Daffa Fuadzen merupakan mahasiswa Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Mulawarman. Mengisi waktu senggangnya dengan menulis puisi, cerpen, dan esai. Aktif bergiat di Komune TerAksara Indonesia. Beberapa karyanya telah dimuat di berbagai media daring dan beberapa di antaranya terhimpun juga dalam antologi Cermin Lain di Balik Pintu Lamin: Lapisan Mutakhir Penyair Kalimantan Timur (2023). Dirinya baru saja terpilih dalam event sastra bertajuk Dialog Serantau Borneo-Kalimantan XVI Tahun 2025 yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Kalimantan Timur. Kini, ia tengah menyusun manuskrip puisi tunggal pertamanya. Dapat disapa melalui Instagram: @cahayadaffa_

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Berita Terkait

Puisi-puisi Khalil Satta Èlman
Puisi-puisi Ilham Wiji Pradana
Puisi-puisi Dewis Pramanas
Puisi-puisi Muqsid Mahfudz
Puisi-puisi Nida Nur Fadillah
Puisi-puisi Heri Isnaini
Puisi-puisi Aljannah
Puisi-puisi Achmed Sayfi Arfin Fachrillah

Berita Terkait

Rabu, 9 Juli 2025 - 21:49 WIB

Puisi-puisi Khalil Satta Èlman

Sabtu, 5 Juli 2025 - 18:49 WIB

Puisi-puisi Cahaya Daffa Fuadzen

Kamis, 19 Juni 2025 - 17:00 WIB

Puisi-puisi Ilham Wiji Pradana

Jumat, 13 Juni 2025 - 21:35 WIB

Puisi-puisi Dewis Pramanas

Kamis, 29 Mei 2025 - 14:38 WIB

Puisi-puisi Muqsid Mahfudz

Berita Terbaru

Plt Sekda Sumenep, Raden Achmad Syahwan Effendy (foto: Ist)

Daerah

Respons Plt Sekda Sumenep Terkait Polemik PPPK Paruh Waktu

Sabtu, 20 Sep 2025 - 20:36 WIB

(for NOLESA.COM)

Mimbar

Abu Ustman Al-Hiri: Menjaga Getar Perasaan Wanita

Jumat, 19 Sep 2025 - 07:54 WIB