Tisu untuk Madura
12 tahun lalu, seorang symptom
Menulis ramalan pembunuhan
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di laman tulisan budayawan
Dimana sajam masih tersimpan
Dalam makna keselamatan
Pada celuritkah Madura bertuhan?
Selang jutaan cacian
Seorang historian tanyai perjalanan
Kemana peradaban Madura berjalan?
Ia mencari sesuatu di antara guru dan murid
Siapa yang lari dari pelajaran anti kekerasan?
Atau, di balik itu ada janji budidaya dari petahana?
Seakan tisu, Cendekia Madura
Hanya menjadi pembersih stereotip
Yang berlumut di bibir media
Menyeka tangis pemuda dengan buku
Kemudian menyusut di sela-sela tanya
“Sesumbu pendek itukah Madura?”
Pamekasan, 2024
Menjelang Musim Jagung di Madura
Hujan tiba di Madura, akhirnya
Anak cucu akan menuai rindu
Pada jagung bakar dan aromanya
Menjelang musim jagung, di Madura
Akan ada tawa dan dongeng
Yang menggauli asap juga bara
Dari malam, hingga pagi tiba
Menjelang musim jagung, di Madura
Ada juga sedikit ronda
Dari kenalan bocah, remaja
Dan sanak saudara petaninya.
Menjelang musim jagung, di Madura
Celurit pilkada malah menggila
Meminta tumbal orang yang berpuasa
Menjelang musim jagung, di Madura
Pemuda malah membakar kekasihnya
Demi lari dari kebapak-bapakannya
Menjelang musim jagung, di Madura
Lelaki renta lari ke Surabaya
Dimamah para pemuda
Menjelang musim Jagung, di Madura
Celurit masih bertanya
Kapan janji binasa itu tiba?
Pamekasan, 2024
Reuni Celurit
Jika poster pilkada ada di jalan
Tentu jargon-jargon pembangunan
Tengah dinyaringkan di desa-desa
Kemudian romantisme Sakera semerbak
Di dada para petarung surat suara
Itu pertanda akan ada reuni celurit di sana
Celurit dari adegan yang dicacah kisah-kisahnya
Celurit yang lupa pada dendam yang dilahirkan
Celurit yang telah menyerupai fungsi dari sabit
Celurit yang dijamas dengan bunga dan air setan
Celurit yang tempa dengan jiwa kanibal
Dari masa ke masa, di timur pulau jawa
Empat kota masih sama-sama berbahaya
Dimana getarnya, mengusik bunyi kendara
Di tanah yang mengisi perutnya
Pamekasan, 2024
Sakera yang Malang
Adakah yang lebih malang
Dari tokoh yang sejak hidup
Hingga mati tetap malang
Adakah yang lebih malang
Dari turunan yang gagah berjuang
Justru ditusuk oleh inang
Sakera telah diperdaya
Oleh kawan dan lawannya
Kemudian dirampas dedikasinya
Oleh pecinta –pecinta buta
Yang menutupi sejarah dengan kortisonya
Namanya terus direbus
Dengan genangan darah yang mendidih
Nisannya menjadi pengasah celurit
Dengan taburan mayat di atasnya
Sakera yang malang
Haruskah ia bangkit dari kubur
Dan berteriak: ”Jika terus demikian,
madura akan binasa, dicabik-cabik
saudara dan kesesatan budaya”
Pamekasan, 2024
*Muqsid Mahfudz, lahir di Pamekasan, Madura. Penyuka aroma kopi dan sedikit aroma buku. Bisa disapa di @muqsdm
Editor : Wail Arrifqi