Mimbar, NOLESA.com – Pertemuan Puan Maharani dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) pada Minggu, 18 Oktober 2023 pagi, di pelataran Stadion Bung Karno (GBK) mengingatkan kita pada sosok Bung Karno dan Bung Hatta, meski kerap kali bersebrangan dan berbeda sikap politik, namun keduanya tetap rukun, tidak saling membenci, dan tidak pula saling memusuhi.
Dalam beberapa minggu terakhir, bangsa ini diterpa banyak isu menegangkan. Dari isu kriminalisasi dan politisasi hukum, kontroversi Ponpes Al-Zaitun, dan hingga seruan jihad yang dilontarkan oleh Amien Rais untuk menjatuhkan/memakzulkan Presiden Jokowi.
Di sadari atau tidak, berbagai isu liar dan kontroversial yang muncul ke permukaan itu telah menggiring publik pada suasana saling curiga, saling tidak percaya dan saling waspada.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sehingga, seturut dengan hal itu, suasana kebangsaan pun menjadi keruh dan tak bersahabat: karut-marut, tegang, dan penuh dengan api kebencian dan permusuhan.
Namun, beruntung, di tengah semrawut dan kekacauan politik di atas, Puan-AHY yang mewakili PDIP dan Partai Demokrat mengambil langkah profetik (dengan menggelar pertemuan) yang sedikit mampu mencairkan suasana dan sedikit mampu menggeser wacana publik dari yang semula penuh ketegangan menjadi lebih damai dan menyejukkan.
Terlepas dari proses dan dinamika nominasi capres-cawapres yang masih terus berlangsung alot, pertemuan dua rival yang selama ini saling berhadap-hadapan, patut kita apresiasi.
Meski hanya sebatas pertemuan biasa, namun pertemuan itu adalah pertemuan yang terbilang istimewa. Secara kepartaian, Puan yang mewakili kubu Megawati dengan PDIP-nya dan AHY yang mewakili kubu SBY dengan Partai Demokrat-nya adalah dua kekuatan besar yang selama hampir dua dekade terakhir memiliki pengaruh kuat terhadap performa politik Indonesia.
Karena itu, jika kedua kubu besar itu terus-terusan berada dalam suasana konflik, bukan tidak mungkin hal itu akan menimbulkan ketegangan dan konflik tak perlu.
Sejak Pemilu 2004, awal di mana rivalitas Megawati (PDIP) versus SBY (Partai Demokat) dimulai, keduanya sudah seperti ”minyak dan air”. Yang oleh kebanyakan pengamat diistilahkan sebagai ”rival abadi” yang bukan hanya tidak mungkin melakukan kerja sama kebangsaan, tetapi juga sangat tidak mungkin melakukan rekonsiliasi politik.
Namun, semua amatan dan prediksi itu meleset, keduanya (Megawati-SBY/PDIP-Demokrat) melalui putra-putrinya (Puan-AHY) masing-masing pada faktanya kini mereka bisa merajut persahabatan baru, duduk bersama, bertitip salam, saling melempar senyum, dan menunjukkan suasana keakraban yang menyejukkan bangsa dan hati rakyat Indonesia.
Seperti tak ada dendam kesumat di masa lalu yang perlu dipersoalkan dan diungkit-ungkit, keduanya mampu menunjukkan sikap luhur dan mengesampingkan ego politik masing-masing untuk kemajuan bangsa.
Dengan melakukan rekonsiliasi politik seperti yang kita saksikan itu, seolah keduanya hendak mengatakan kepada kita semua bahwa, ”masa lalu biarlah menjadi masa lalu. Sekarang, saatnya kita merajut dan menyambut masa depan”.
Selain itu, melalui momen rekonsiliasi ini kedua seolah juga hendak mengatakan: ”persatuan dan kerukunan bangsa jauh lebih penting di atas perbedaan pilihan dan jalan politik yang ada”. Bukan sebaliknya, jalan politik lebih penting ketimbang persatuan bangsa.
Modal penting
Karena itu, rekonsiliasi politik antara Mega-SBY yang diwakili oleh Puan-AHY ini harus menjadi modal penting bagi kita semua bahwa dalam berpolitik, tak perlu menebar api permusuhan dan kebencian meski beda pilihan dan jalan politik. Politik hanyalah alat untuk mencapai cita-cita bangsa sebagaimana telah ditegaskan dalam UUD 1945. Sebab itu, sepanjang kita semua berada dalam garis konstitusi, rasanya sangat tidak masuk akal bila kita saling membenci hanya karena perbedaan alat itu sedangkan tujuan kita sama.
Dalam dua kali Pemilu (2014-2019), diskursus politik kita sesak dengan narasi-narasi kebencian dan permusuhan yang hal itu hanya disebabkan oleh perbedaan pilihan politik. Oleh sebab itu, dalam Pemilu 2024, hal semacam itu tidak boleh terulang lagi.
Puan-AHY—simbol dari dua kekuatan besar yang disebut-sebut sebagai ”rival abadi” telah memberi kita contoh, meski berbeda jalan, namun harus tetap rukun, bersahabat, dan tak perlu saling membenci.