Oleh AHMAD FARISI*
”Ada yang tidak beres dengan bangsa ini.” Ungkapan itulah yang mungkin tepat untuk menggambarkan situasi kebangsaan kita hari ini yang benar-benar mengiris hati nurani.
Kepala desa korupsi. Kepala daerah korupsi. Menteri korupsi. Dewan korupsi. Auditor korupsi. Pemberantas korupsi, korupsi. Dan bahkan, yang mulia wakil Tuhan pun juga ikut-ikutan korupsi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Apa yang terjadi ini benar-benar meremukkan harapan kita sebagai bangsa. Seolah-olah, apa yang sering kita katakan sebagai satu bangsa, satu nusa, satu tanah air, telah tiada. Kerakusan dan ketamakan diri meluluhlantakkan semuanya.
Para petinggi bangsa ini seperti telah lupa peran dan tanggung jawab masing-masing. Ajaran-ajaran moral dan petuah-petuah dari para pendiri bangsa hanya sekadar dijadikan barang mainan, diobral kesana-kemari, tetapi tak pernah ada dalam implementasi yang nyata.
Akibatnya, bangsa ini tak pernah bisa beranjak dari keterpurukan. Yang miskin tetap dengan kemiskinannya. Masalah kesejahteraan jauh panggang dari api.
Sementara itu, masalah pembiayaan pendidikan, masih saja terus tak terselesaikan. Berlarut tak menemukan jalan.
Mengakhiri konflik, membangun bangsa
Namun, berbanding terbalik dengan semua itu, para elite justru masih sibuk dengan pertengkaran politik yang tak berkesudahan. Seharusnya, seperti dikatakan Prof. Mahfud MD, adakalanya saat ini kita berdamai dengan apa yang sudah terjadi pada Pilpres 2024 dan kembali sebagai bangsa yang satu untuk menata ulang Indonesia menjadi bangsa yang lebih baik.
Ajakan ini bukanlah ajakan untuk menormalisasi kesalahan dan kejahatan politik yang pernah terjadi. Bahwa ada ketidakadilan dalam Pilpres 2024, mari kita catat baik-baik semua itu dalam benak kita, dan kita jadikan semua itu sebagai pelajaran di masa kini dan nanti.
Di situasi seperti saat ini, adakalanya kita fokus pada apa yang menjadi permasalahan bangsa.
Persaingan politik menyongsong pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak boleh-boleh saja terus berlangsung. Akan tetapi, permasalahan mendesak yang dihadapi bangsa hari ini harus diutamakan dan didahulukan sebelum semuanya terlambat. Dengan kata lain, persaingan elektoral tidak boleh menenggelamkan permasalahan yang dihadapi bangsa.
Kini, pesimisme politik menjangkiti publik. Angka-angka survei barangkali masih memperlihatkan situasinya masih membaik. Namun, percayalah, apa yang dialami masyarakat tak seindah apa yang ditampilkan oleh layar survei.
Berbagai kasus (mega) korupsi yang melibatkan sejumlah petinggi negara di satu sisi, dan kondisi ekonomi rakyat yang masih saja memburuk, benar-benar membuat masyarakat sudah jenuh dan bahkan kehilangan harapan.
Pemerintahan baru, harapan baru
Pemerintahan baru yang akan dipimpin oleh Prabowo-Gibran pada Oktober mendatang memainkan peran strategis dalam upaya menata ulang Indonesia ini. Memang, posisi kepemerintahannya tidak adak akan didukungnya seratus persen oleh masyarakat Indonesia.
Namun, bagaimanapun, inilah waktu waktunya bagi Prabowo-Gibran sebagian pemimpin pemerintahan baru untuk menghidupkan harapan baru untuk menata ulang Indonesia dengan gebrakan-gebrakan baru yang mampu mendatangkan solusi atas permasalahan bangsa.
Artinya, meski posisi politik Prabowo-Gibran hari ini jelas sebagai kepanjangan dari pemerintahan lama, namun dalam beberapa hal pemerintahan Prabowo-Gibran harus mampu membawa kebaruan yang diinginkan oleh masyarakat. Jadi, meski dalam politik pemerintahan semuanya serba kompleks, namun, upaya untuk menata ulang Indonesia tidak boleh diabaikan. Problem kebangsaan kita sudah terlalu parah.Karena itu, tidak boleh dibiarkan begitu saja.
Paling tidak, di tengah kompleksitas dan keruwetan politik Indonesia, pemerintahan Prabowo-Gibran setidak-tidaknya harus mampu menghadirkan apa yang telah dijanjikan dalam kampanyenya untuk menjaga persepsi publik agar masyarakat tidak merasa kembali dibohongi.
Ada banyak janji Prabowo-Gibran yang telah dijanjikan yang harus diselesaikan: dari janjinya untuk menyiapkan makan siang gratis dan hingga janjinya untuk memberantas korupsi.
Political will
Dari sisi politik, memang tidak mudah bagi pemerintahan Prabowo-Gibran untuk menyelesaikan sejumlah persoalan fundamental sedang yang dihadapi bangsa kini. Bisa dikatakan, pemerintahan baru ini adalah pemerintahan yang penuh dengan beban, memanggul banyak kepentingan.
Akan tetapi, apa pun kondisinya, asalkan ada kemauan politik (political will) dari presiden, permasalahan yang dihadapi bangsa niscaya akan terselesaikan.
Seorang presiden memiliki kekuasaan besar. Ia bukan hanya kepala pemerintahan, tetapi juga kepala negara. Presiden adalah puncak rantai kekuasaan politik. Dengan, komitmen dan kemauan yang kuat, dalam satu periode ke depan, ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk menata ulang Indonesia. Mulai dari pelembagaan demokrasi, pemberantasan korupsi, penanggulangan kemiskinan dan hingga masalah pengelolaan dan pendanaan pendidikan.
Seperti dikemukakan di awal, ”ada yang tidak beres dengan bangsa ini.” Korupsi merajalela. Penyalahgunaan kekuasaan hampir terjadi di berbagai sektor. Dan, Prabowo-Gibran, dengan semangat menata ulang Indonesia, harus mengatasi itu semua untuk bangsa.
*) Pengamat Politik