Oleh Farisi Aris*
Bangsa ini kembali berduka dan kehilangan. Setelah sebelumnya bangsa ini kehilangan dia sosok intelektual teladan, yakni Buya Syafii Ma’arif dan Azurmadi Azra (2022), kini sosok pejuang dan pengabdi (Kiai Ali Yafie) juga berpulang ke rahmatullah (25/2).
Kiai Ali Yafie meninggal di usianya yang ke 96. Duka mendalam atas kepulangannya. Semoga kiprah dan dedikasinya menghidupkan cahaya rahmat dan kasih sayang-Nya yang senantiasa menjadi penerang di kehidupan keduanya; kehidupan pasca-kematian.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kiai Ali Yafie adalah sosok pejuang yang mendedikasikan hidupnya untuk kepentingan bangsa dan umat. Sepanjang hayatnya, ia habiskan waktu-waktunya untuk mengabdi, mengaji, mendidik dan menebar kebaikan dan kasih sayang kepada sesama.
Karena itu, tak heran bila dalam pagelaran resepsi Satu Abad NU pada 7 Februari lalu, Kiai Ali Yafie menjadi salah satu tokoh yang mendapat anugerah Pejuang Sepanjang Hayat dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Sebab, ia telah berdedikasi besar bagi umat dan bangsa. Baik di bidang pendidikan dan sosial kemasyarakatan lainnya.
Kiai Ali Yafie lahir di Donggala, Sulawesi Tengah (Sulteng) pada 1 September 1926 atau 23 Safar 1345. Ia lahir di bulan saat Muktamar NU pertama digelar. Kiai Ali Yafie adalah anak ketiga dari lima bersaudara; As’ad, Muzainah, Munarussana, dan Amira. Ia lahir dari pasangan Syekh Muhammad Al-Yafie dan Imacayya.
Di masanya, Kiai Ali Yafie berkiprah di banyak institusi dan lembaga. Selain pernah menjabat sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia (1998-2000), Rektor Institut Ilmu Al Qur’an (IIQ) Jakarta (2022-2005), Rais Aam PBNU (1991-1992). Ketua Dewan ICMI, Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (BPPN), dan juga merupakan Anggota Dewan Riset Nasional (BDN). Selain itu, Kiai Ali Yafie juga memimpin Pondok Pesantren Darul Dakwah Al Irsyad Pare-Pare, Sulawesi Selatan, yang beliau dirikan pada tahun 1947.
Kiai Ali Yafie adalah sosok yang visioner. Selain aktif berkiprah di organisasi sosial-kemasyaratan, sebagai seorang akademisi, ia juga aktif menuliskan gagasannya ke dalam sejumlah buku. Di antaranya, 1) Teologi Sosial: Telaah Kritis Persoalan Agama dan Kemanusiaan; 2) Beragama Secara Praktis agar Hidup Lebih Bermakna; dan 3) Menggagas Fikih Sosial: dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi hingga Ukhuwah.
Dari tiga buku tersebut, buku yang disebut terakhir—dalam hemat penulis—adalah karya Kiai Ali Yafie yang paling fenomenal dan legendaris. Sebab, di saat banyak ulama segenarisinya tidak terbesit membawa persoalan lingkungan hidup ke dalam wacana keislaman, Kiai Ali Yafie justru dengan teguh mengangkat persoalan itu sehingga berhasil mengangkat tema lingkungan ke dalam wacana keislaman kontemporer.
Dalam buku itu, Kiai Ali Yafie mengusulkan untuk menambahi ‘hifdh al-bi’ah’ (perlindungan lingkungan hidup) dalam maqashid asy-syari’ah (tujuan utama syari’at Islam diturunkan), sehingga maqashid asy-syariah yang awalnya berisi 5 poin dasar ditambah menjadi enam dasar dengan memasukkan perlindungan lingkungan hidup; dari adl dlaruriyat al-khams (lima prinsip dasar), menjadi adl-dlaruriyat as-sitt (enam prinsip dasar).
Menurut Kiai Ali Yafie, senyatanya fiqih yang merupakan salah salah satu bagian dari ilmu-ilmu keislaman (al-ulum asy-syar’iyyah) telah menawarkan suatu kerangka pendekatan terhadap lingkungan hidup. Akan tetapi, wacana lingkungan hidup (al-bi’ah al-hayatiyyah) tidak dibahas dan dikaji secara khusus pada bab tersendiri, melainkan tersebar di beberapa bagian dalam pokok-pokok bahasan ilmu fiqih (KH M Ali Yafie, 2006:39-40).
Selain persoalan lingkungan, bahasan penting lainnya dalam karya monumental tersebut adalah kerukunan. Ya, kerukunan. Kiai Ali Yafie juga adalah ulama yang menaruh perhatian besar terhadap kerukunan. Kiai Ali Yafie meyakini bahwa kerukunan umat merupakan bagian dari Islam yang mesti diperjuangkan dan ditegakkan.
Karena itu, tak heran bila Kiai Ali Yafie juga menjadi salah satu penyumbang gagasan di tri kerukunan (kerukunan intern umat beragama, kerukunan antar umat beragama dan kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah) yang dicetuskan almarhum Alamsjah Ratoe Perwiranegara waktu menjadi Menteri Agama 1983 – 1988.
Kiai Ali Yafie tidak hanya ‘alim ‘allamah dalam fiqih dan ushul fiqih, tetapi juga menguasai berbagai ilmu pengetahuan kontemporer secara sempurna. Yang tidak hanya berhenti dalam level wacana, tetapi juga ia wujudkan dalam bentuk aksi nyata. Kiai Ali Yafie adalah sosok tawadhu, konsisten, dan rendah hati. Selamat jalan, Kiai….
*) Wartawan nolesa.com