Oleh: M. Adib Kurnia
(Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta)
Selayaknya ditulis pada judulnya yaitu, Apakah Surga Itu Sebuah Agama, sehimpun puisi Setia Naka Andrian ini, sudah serupa dengan kumpulan ironi yang akhirnya dituangkan penyair dalam bentuk larik-larik, hingga bait-bait puisi. Misalnya “Jangan-jangan kamu hanya meminjam sebentar/ untuk dipagari di KTP atau sekadar syarat untuk mengawini pacarmu” (Puisi “Mau Makan Agama Apa”). Selanjutnya, ketidakhabispikiran penyair bahwa agama dijadikan rumah pelindung untuk “mencari juru selamat dari air mata pengembara”, dan ketika bersua dengan entitas salah padahal dalam masa “yang sedang tak berdaya”, puncaknya hanya bisa “berlindung di balik agama-agama.” (Puisi “Aku Sedang Kedinginan”).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Penyair beberapa kali mengungkapkan gagasannya mengenai agama dalam puisi dengan balutan semacam nuansa rasa retoris-ironi menyingkap tirai bahwa penafsiran agama sulit hadir sejalan dengan segala-galanya. Ini menjadikan sebuah segudang pertanyaan itu, “Kapan agama-agama berpelukan hadir di atas segalanya” maka ini menjadikan definisi surga antarinsan menjadi buyar, sehingga “dan surga yang sama sekali tak pernah diciptakan/ dan tak pernah terbayangkan orang-orang bisa leluasa dikunjungi oleh siapa saja.” (Puisi “Aku Sedang Kedinginan”).
Ketika saya kembali menelisik ke dalam antologi puisi Setia Naka Andrian sebelum ini, dengan judul antologinya yaitu Manusia Alarm, ternyata dalam menggambarkan keagungan Tuhan, sekali lagi penyair menggunakan pernyataan retoris-ironi dalam sajak-sajaknya. Seperti “Bukankah kau yang maha ada/ Sedangkan aku yang maha tiada (Puisi “Yang Maha”). Pada puisi “Yang Maha” merupakan sebuah puisi di dalam antologi sebelumnya ini, penyair banyak mengagungkan Tuhan melalui pertanyaan retoris, barangkali maksud penyair ingin menyatakan bahwa kebesaran Tuhan sudah terlegitimasi di tatanan hidup semua insan. Ini, berbanding terbalik dengan pernyataan dengan rasa ironi, barangkali penyair dengan ironi ingin mencoba bermuhasabah diri melalui sindirin terhadap dirinya sendiri bahwa dirinya tiada berdaya di hadapan Tuhannya.
Sehimpun puisi ini bisa jadi benar adalah sebagai sehimpun ironi penyair terhadap segudang pengalaman asam garam kehidupan spiritual yang telah diarunginya. Meski dalam memaknai sehimpun puisi penyair ini, akan perlu kesungguhan dalam memahaminya. Lantas, bagi mayoritas orang telah meligitimasi bahwa surga itu sekonyong-konyongnya pasti erat dengan ritual “habluminallah” dalam agama. Namun, tidak demikian dengan penyair karena menurut perspektif penyair surga itu bukan soal ritual keagamaan saja, akan tetapi “bagaimana hidup adalah sebuah penginapan yang selalu Tuhan berikan” agar berlaku tidak merasa paling baik, begitupun “siapa saja yang tak harus-harus juga selalu merasa paling mendekati wajah Tuhannya” (Puisi “Perihal Menginap”).
Sekali lagi, jika saja Apakah Surga Itu Sebuah Agama, merupakan representasi penyair terhadap keresahannya, maka kita sebagai pembaca bisa saja memaknai bahwa sehimpun puisi dalam antologi ini sebagai ekspresi personalnya. Puisi dijadikan sebagai keyakinan penggerak untuk menuangkan keresahannya dalam menyingkap relevansi surga-agama karena “Segala gerak dan tata hidup menjadi musim yang berjatuhan tak karuan di sebelah keyakinan-keyakinan kita” (Puisi “Pemburu Jadwal Pagi Sekali”).
Proses kreatif penyair berpuisi karena keresahan bukanlah merupakan hal yang asing baginya, misalnya dalam antologi sebelumnya yang berjudul Manusia Alarm, penyair menggambarkan hubungan manusia dan Tuhannya juga berangkat dari sebuah keresahan yang mengganggu pikirannya. Ini tertuang seperti “Aku resah/ tak lagi tinggal serumah (Puisi “Mata Ikan Bangun Pagi”). Penyair dalam menulis antologi sebelum ini juga berangkat dari keresahan, bedanya penyair bukan lagi resah karena relevansi surga-agama, akan tetapi keresahannya yang kehilangan Tuhan di hidupnya. Secara pasti, keresahan dalam proses kreatif penyair adalah hal yang setidak-tidaknya pernah dilakukan oleh penyair, meskipun setiap masa pokok keresahan itu akan berbeda tentunya.
Latar belakang keislaman penyair juga tidak serta merta menjadikannya untuk melakukan justifikasi dan subjektifikasi sepihak untuk menista terhadap pihak lainnya, meski dalam sehimpun puisi ini terdapat penggambaran yang banyak memakai pendekatan cerita keislaman. Misalnya “sepeda plastik dari Cina dinaiki nabimu” (Puisi “Di Sebelah Bulan”). Secara lebih luas, Setia Naka Andrian memang benar menulis untuk khalayak umum, dengan mecurahkan “diam-diam diproduksi menjadi suara-suara yang kelak akan menjadi surga/ di sana aku menyaksikan siapa saja berlalu-lalang di halaman semua agama.” (Puisi “Menyusun Tubuh”). Dengan ini, maka dapat diyakini, Setia Naka Andrian benar-benar menulis puisi untuk dapat diterima semua kalangan, walaupun dalam praktiknya akan mendapat protes dari para pemuka agama “menghadap barat”.
Dalam mengungkap relevansi surga-agama, Setia Naka Andrian tidak hanya mengungkapkan isi pikirannya dengan penggambaran retoris-ironi saja. Lebih dari itu, penyair juga mencoba menyingkap relevansi surga-agama dengan pretensi sosio-religius yang mengontruksi sehimpun puisi Apakah Surga Itu Sebuah Agama dengan sebaik-baiknya. Koherensi hubungan imaji-imaji yang sedang riuh di lingkungan masyarakat, lantas akan memberi penegas ke pembaca “setiap kali ada yang ingin lari dari kenyataan”. Oleh karena itu, jika kita membaca sehimpun puisi dari Setia Naka Andrian dengan sepenuh jiwa, kita akan mampu memetik banyak pretensi sosio-religi yang riuh di lingkungan sosial masyarakat tersebut. Singkatnya, penyair menulis dengan keadaan rill yang terjadi di lingkungan sosial masyarakat, agar pembaca merasakan senasib dan seperjuangan dengan “orang-orang dikejauhan sana yang kerap memilih menginap di telinga tetangganya dari genangan sirene ambulans dan berita lain tentang buruh-buruh pabrik dirumahkan” (Puisi “Hantu”).
Setelah membaca beberapa puisi dari Setia Naka Andrian yang dihimpun dalam antologi ini, saya merasa agaknya Setia Naka Andrian memiliki gagasan yang mayoritasnya dituangkan dengan menggunakan semacam sindiran atau pertanyaan-pertanyaan retoris. Berangkat dari hal tersebut, maka dalam hemat saya agaknya penyair ingin mengajak pembaca terbuai dengan diksi-diksi yang disusun sedemikian rupa, agar penyair tidak merasa berpikir sendirian. Selanjutnya, sehimpun puisi ini semacam kritik yang menjurus kepada praktik relevansi agama dan surga, meskipun banyak hubungan antardiksi yang setidak-tidaknya akan sulit ditafsirkan oleh pembaca amatir. Dari permasalahan tersebut, sejujurnya penulis hanya berperan sebagai pemantik topik, segala sesuatu lainnya “puisi-puisi seakan ingin mencoba memberikan tawaran ke hadirat pembaca yang budiban.” (Sebuah Pengantar).