Oleh Eva Yuliana*
Radikalisme adalah masalah yang kompleks dan rumit. Ia tidak bisa dilihat dari satu sudut pandang saja. Berbagai teori yang mencoba melihat fenomena radikalisme belakangan ini menghasilkan kesimpulan dan tesis yang berbeda-beda. Dari perspektif politik, ada yang menyimpulkan bahwa fenomena radikalisme berkaitan dengan kesenjangan ekonomi dan penegakan hukum yang tidak adil yang terjadi di sebuah negara.
Dalam perspektif ini, dikatakan bahwa radikalisme muncul karena adanya ketidakpuasan individu atau kelompok terhadap pelayanan yang diberikan oleh negara. Baik pada bidang ekonomi maupun pada bidang penegakan hukum. Yang pada tahap selanjutnya hal itu membuat individu atau kelompok menganggap bahwa memberontak (menebar teror) adalah satu-satunya jalan guna mendapatkan keadilan ekonomi dan hukum itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, dalam beberapa tahun belakangan hipotesis politik ini gagal menjelaskan fenomena radikalisme tatkala banyak simpatisan terorisme yang ternyata adalah orang-orang yang berkecukupan secara ekonomi. Bahkan, beberapa di antaranya adalah abdi negara itu sendiri yang secara konstitusional diperlakukan lebih istimewa daripada masyarakat sipil pada umumnya.
Karena itu, rekomendasi kajian radikalisme dalam perspektif politik agar negara memenuhi hak-hak ekonomi dan hukum masyarakat pada akhirnya tidak bisa menyelesaikan semuanya. Di satu sisi, penjelasan itu memberikan kita wawasan. Akan tetapi, di sisi lain, perspektif itu lumpuh menghadapi kenyataan fenomena radikalisme yang kompleks.
Fakta terkini menjelaskan bahwa meski hak-hak hukum dan ekonomi masyarakat telah diberikan, namun radikalisme tetap bertumbuh dan terus berkembang. Bahkan, lebih parahnya lagi, radikalisme juga berkembang mempengaruhi pikiran-pikiran generasi muda kita. Sehingga tak ayal bila kini, banyak generasi muda yang terlibat aksi teror dan kekerasan atas nama agama.
Hal itu adalah bukti bahwa radikalisme adalah masalah kompleks yang tidak bisa dijelaskan dengan satu sudut pandang saja. Untuk mengakhirinya, kita membutuhkan pendekatan interdisipliner yang bisa menguraikan kompleksitas fenomena radikalisme yang semakin marak itu. Sebagai bahan analisis, tulisan ini akan mengambil contoh SE (seorang pelaku teror di Istana Merdeka) untuk dianalisis lebih lanjut guna menemukan jalan mencegah dan menangkal ekspansi paham radikal.
Melihat Latar Sosial SE
SE adalah pelaku teror yang baru-baru ini membuat geger publik karena melakukan serangan ke Istana Negara. SE melakukan aksi terornya pada Selasa, (25/10). Sesaat setelah melakukan aksi terornya itu SE sempat diduga sebagai pelaku aksi teror tunggal (lone wolf terrorism) seperti yang terjadi belakangan ini. Namun, setelah ditelusuri diketahui SE terafiliasi dengan beberapa jaringan kelompok teroris seperti ISIS dan NII.
Lebih lanjut, berdasarkan informasi yang dihimpun oleh sejumlah media, SE diketahui adalah seorang perempuan asal RT 13/RW 03 Tugu Selatan, Kecamatan Koja, Jakarta Utara. Menurut kesaksian para tetangga SE, dalam kehidupan sehari-hari SE dikenal berbeda dengan warga-warga lainnya. Dikatakan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, SE menutup diri dari lingkungan sekitar. Tidak bergaul dan bersosial sebagaimana warga lainnya.
Suami SE pun katanya juga seperti itu. Tertutup dan jarang bergaul dengan masyarakat sekitar. Namun begitu, konon masyarakat tidak pernah menyangka bahwa SE akan melakukan serangan bersenjata ke Istana Negara. Masyarakat menilai bahwa kepribadian SE dan suaminya sebagai peristiwa biasa. Alih-alih dilihat sebagai gejala awal bahwa SE telah dipengaruhi paham radikal.
Fakta sosial ini menunjukkan bahwa insting masyarakat masih lemah dalam mendeteksi virus radikalisme. Sikap asosial yang diperankan oleh SE dan suaminya belum mampu dibaca oleh masyarakat sebagai fenomena awal bahwa suatu individu tengah terjangkiti virus radikalisme. Sehingga, pada perkembangannya, masyarakat menganggap bahwa sikap asosial seperti yang diperankan SE dan suaminya adalah hal yang wajar dalam kehidupan sosial ini.
Padahal, sikap asosial itu menandakan bahwa seorang individu tengah terjangkit virus radikalisme yang membuat ia menjadi anti-sosial. Penjelasan ini menjadi masuk akal sebab dalam pola pikir orang yang terjangkit virus radikalisme, orang-orang yang di luar dirinya, lebih-lebih yang tidak sepemahaman dianggap sebagai musuh atau yang lain (the others).
Hal itu terjadi karena doktrin dari radikalisme mengatakan bahwa kelompok yang benar adalah satu, yaitu mereka sendiri. Sementara yang lain dianggap sebagai musuh yang terlarang menjalin hubungan dan kerja sama dengannya. Daripada inilah semestinya sikap asosial itu seharusnya dipahami sebagai indikasi awal seorang individu terinfeksi virus radikalisme. Namun, sebagaimana yang terjadi pada gejala asosial yang ditunjukkan SE, masyarakat masih belum cermat melihat hal itu sebagai gejala seseorang terpapar virus radikal.
Karena itu, model pencegahan radikalisme kini sudah saatnya untuk dilakukan penyegaran ulang dengan cara memberi pemahaman ke pada masyarakat akar rumput dalam hal mendeteksi gerakan radikalisme di lingkungan sekitarnya. Setiap masyarakat di tingkat RT/RW harus diberi kemampuan untuk melakukan deteksi dini terhadap virus radikalisme. Dengan demikian, masyarakat di akar rumput bisa berpartisipasi aktif melakukan pencegahan dan penanganan virus radikalisme.
*)Eva Yuliana adalah Mahasiswa Sosiologi Agama UIN SUKA Yogyakarta