Oleh A. Mundzir. AR*
Malam berhias bintang, bulan bersinar malu-malu menyinari jalan setapak tempat aku berkarya. Cat, kuas serta kanvas sudah kusisipkan dibalik malam yang indah ini.
Aku menata dan menati langkah satu-persatu demi sebuah kesempurnaan, deretan rumah warga yang persegi beratapkan daun kelapa membuat hasrat seniku beronta-ronta, beralun-pelan kicauan jangkrik menemaniku berkarya, untuk menciptakan karya seni terbaik yang pernah dicatat sejarah.
Pelan-pelan kuraba tembok halus rumah milik pak Gani, Sengaja kujadikan rumahnya sebagai tempatku berkarya malam ini, karena kekayaannya yang menjulang tak terhitung membuatnya dikenal oleh warga sebagai saudagar ulung. Rumahnya sunyi, hanya detak jarum jam yang terdengar samar, aku mulai memasuki rumahnya melalui jendela yang setinggi dada orang dewasa, dengan berlapiskan emas bercampur butiran berlian. Sudah cukup kaya diriku jika kuambil satu saja dari beberapa jendela yang berjejer itu. Namun bukanlah aku jika dapat harta tanpa sebuah tantangan, diriku adalah seorang seniman yang bosan akan sesuatu yang biasa dan datar.
Selang beberapa waktu yang agak lama tetap tak kutemukan benda itu, tak ada tempat yang belum kujamah di rumah ini, setiap sisi pojok sudah kucari dengan sangat teliti. Terkecuali kamar tempat pasutri itu tidur, tanganku perlahan menyentuh gagang pintu kamar pak Gani, lantas kuputar perlahan pula, perlahan dan pasti, pintu itu kubuka dengan mudah. Aku di suguhi kamarnya yang begitu luas, indah, dindingnyapun dihiasi emas dan pecahan berlian. Jelas kulihat meski hanya dengan sedikit cahaya.
Lemari di pojok ruangan menjadi target utamaku. Aku berjalan sedikit tenang tapi tetep waspada. karena mereka terlihat tidur dengan lelap. Kesibukan pak Gani di siang hari benar-benar menekannya, entah apa yang ia kejar. Agak aneh pikirku lemari dengan banyak laci terpajang namun tak ada satupun yang dikunci. Namun apa peduliku. Barang yang kucaripun sudah di depan mata. Bongkahan emas berbentuk jantung dengan batu zamrud hijau di tengahnya. Barang ini sangat mencolok karena di terpa cahaya bulan yang menyelinap dari balik jendela.
Aku merasakan langsung benda itu menyentuh telapak tanganku. Tapi aku tak mau berlama-lama hanya untuk menimang. Aku harus menekan kewaspadaanku sampai barang ini sampai ke dalam rumahku tanpa kecerobohan. pelan-pelan kusimpan emas ini ke dalam tas yang sudah kusiapkan untuk karya malam ini. Aku melangkah seperti di awal aku melakukannya, harus pelan dan pasti, melangkah seakan menjelma menjadi kucing. Aku hanya butuh berjalan dengan pelan karena pintu memang tak kututup sedari tadi, Namun malangnya. Kudengar pak Gani seakan berbisik bersama istrinya, aku menolehkan kepalaku, dan beruntungnya diriku, mereka tetap tertidur lelap bahkan kudengar mereka sesekali mendengkur, yang berarti mereka tetap dalam mimpinya.
Aku tetap waspada menuruni tangga satu-persatu hingga akhirnya berhasil keluar melalui jendela yang tadi membantuku masuk. Perasaanku dipenuhi kegirangan, Lantas jantung emas dengan zamrud di tengahnya memiliki harga yang sangat mahal, bahkan bisa melampaui harga jantung yang asli. Karyaku berhasil kubuat dengan sempurna hingga selamat sampai ke rumahku, Kupajang jantung itu diatas bantal merah yang tak begitu besar, dia terlihat sangat indah, anggun dipandang hingga membuat mataku enggan berpaling.
Namun dan pasti. Aku tak mungkin hanya berdiam memandang sebongkah emas. Malam demi malam telah kuasrsip, resep kafe yang ada di pertigaan jalan tengah kota. Kafe yang sedang ramai warga perbincangkan, karena bir yang mereka jual bisa membuat peminumnya terbang seakan ke surga katanya.
Malam ini, aku memulai berkarya lagi, mengendap-endap, bergelesit hingga berhasil masuk ke dalam toko bir yang sudah tutup ini. Sengaja aku menjadikan subuh waktu aku beraksi, karena mereka hanya buka sampai tenagah malam. Tak sulit untukku menyusup kedalam, karrna lagi-lagi pintunya tak mereka kunci.
Aku masuk melalui pintu belakang yang langsung menuju kedapur tempat para koki itu memasak. Tempat bir itu pula dibuat. Tak ada pegawai disini karena memang mereka pulang ketika kafe mereka tutup. Lampu dapur tetap mereka biarkan menyala, sedang lampu tempat para pengunjung mereka biarkan gelap hanya sedikit cahaya dari sorotan lampu dapur.
Cukup menguntungkan kataku. Apalagi tempat ini sangat sepi karena memang tak ada satupun orang yang menjaga, meski entah mengapa instingku menolak kalau kafe ini sepi. Seakan sepasang mata tengah mengawasi gerak-gerikku.
Satu-persatu aku mulai membuka lemari yang ada dibawah meja, mencari dengan teliti, namun nihil. disana hanya kudapati tikus berkeliaran mencari sisa-sisa makanan. Setelah ku ubrak-abrik seluruh dapur sempit ini, terdapat lantai yang seakan bisa dibuka. Rantai dan gembok menutupnya dengan rapat. Aku butuh barang yang lumayan tajam untuk membobolnya, karena peralatan yang biasa kupakai sudah karatan dan hampir patah.
Setelah sekilas kulihat sebilah kapak tergantung berjejer. Yang biasa mereka pakai untuk memotong daging sapi. Dengan sedikit berjinjit kuraih kapak itu, karena tubuhku yang terlalu pendek atau mereka saja yang terlalu tinggi. Suara kapak yang berbenturan menimbulkan suara yang sedikit keras, hingga akhirnya dengan susah payah aku berhasil membuka lantai itu, aku di buat terkejut karena barang itu memang berada di sana. Hanya selembar kertas yang berada di dalam botol bir bening. Tanpa berbikir lebih, kuambil lantas buru-buru keluar dari dapur itu. Namun kesenanganku tak bertahan lama, kakek tua bertongkat dengan pakaian compang-camping berdiri tepat di depanku. Aku sempat menatapnya seraya angin bertiup menghembuskan dedaunan,Waktu yang sangat singkat namun juga begitu sunyi. Meskipun pada akhirnya aku memilih kabur terbirit-birit, kakek itu tetap di depan pintu yang tadi, ia tak memburuku.
Dengan nafas terengah-engah. Akhirnya aku sampai di rumah, namun bukan hanya aku yang sampai, kakek itu berdiri di depan pintu lagi, sekarang bukan pintu kafe itu melainkan ia berdiri di depan pintu rumahku, tetap dengan tongkat dan bajunya yang compang-camping berkibar dihembus angin. Tatapannya sangat dingin seraya melihat kebawah.
“sini nak,” ucapnya
Yang membuat tubuhku bergerak sendiri dan tak bisa kukendalikan. Kini aku benar-benar ada di hadapannya
“apakah kau sudah puas dengan permainanmu,?” Sontak tubuhku mematung, mulutkupun membisu tak bisa bicara. Dia bukan manusia biasa pikirku.
“nak mungkin kau tak mengerti, kakek disini tugaskan untuk menjemputmu,” kakek itu bicara seakan tau segalanya
“Kau sekarang sedang mengalami koma dan tubuh aslimu terbaring lemas tak berdaya,”
“tanganmu diborgol serta beberapa polisi berjaga di sampingmu. Di sini kau hanya bermimpi, Ini hanyalah mimpi panjangmu. Kau adalah ketua dari komplotan pembunuh bayaran yang terkenal dingin, bahkan aparat akan memberi uang miliaran bagi orang yang bisa menangkapmu, tak ada orang yang berani menentangmu, setiap orang yang kau target pasti sudah berhadapan dengan mautnya.” Kakek itu berhenti yang entah harus aku percaya atau tidak.
“namun malangnya dirimu. Pada akhirnya kau tertangkap karena pingsan terkapar, lantas terinjak bola yang sedang anak-anak mainkan ditaman, kau terpati-pati setelah membunuh targetmu. Hingga akhirnya orang tua anak itu melaporkanmu ke polisi. Barang kali di sini kau hanya merasa hanya beberapa minggu, namun kau sudah koma selama dua belas tahun.”
Aku hanya terdiam tak percaya, tubuhku dingin seakan takut kakek itu benar.
“dewa memberimu waktu untuk memperbaiki kesalahanmu, namun nyatatanya kau hanya bermain dengan nafsumu. Dan sudah saatnya aku membawamu kembali ke tempat yang seharusnya kau berada.”
Mulutku tetap bisu, badanku seakan beku tak bisa bergerak. Hingga akhirnya kakek itu membawaku memasuki rumah yang telah ia buka pintunya, aku hanya melihat cahaya terang benderang terpancar dari dalam pintu. Aku sangat jelas melihat kakek itu, tangannya yang lancip dengan mata biru yang indah…
*A.Mundzir.AR. Alumni Al-Huda II Gaptim, bertempat di antara Tamidung-Poteran.
Editor : Wail Arrifqi