PELURU

Redaksi Nolesa

Sabtu, 25 Januari 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ilustrasi (ist)

Ilustrasi (ist)

Oleh: Ahmad Aljas Sabilil Muttaqin*

Peluru melesat. Membabi buta tak kenal tuan. Bagai linglung memabukkan. Peluru meliuk-liuk kehilangan arah. Tak ada orang yang menyadari. Tanpa suara peluru meluncur. Pada satu titik temu. Tepat sasaran. Perampok yang berlari terbirit-birit. Menjadi korban peluru dari pistol polisi.

Orang-orang yang tak tau apa-apa. Menjadi tau apa yang terjadi. Setelah seorang bertopeng hitam. Diduga perampok. Tersungkur, setelah peluru menembus daging kakinya. Ia menjerit kesakitan. Orang berkerumun memastikan. Mereka mempertanyakan. Ada pula yang langsung menyadari. Mereka melihat orang berseragam polisi. Berlari mendekat. Memegang pistol hati-hati.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Perampok masih mengerang kesakitan. Ia tak mampu berdiri. Ia tak mampu berlari lagi. Bagai karma. Perampok itu telah menerima ganjarannya. Sudah sekian lama ia diburu. Beberapa korban melapor. Memperlihatkan bekas sabetan di tangan, di perut dan di dada.

Ia kerap merampok di jalan-jalan sepi. Tak kenal hari. Ia bisa merampok kapan saja dan sebutuhnya. Ia perampok tunggal. Tanpa komplotan dan perintah. Ia memilh mandiri dalam halnya merampok.

Polisi bertubuh tegap. Berkumis. Serta memiliki jenggot tipis. Sudah sejak lama mengincar perampok itu. Ia ingin menciptakan suasana aman. Walau sendiri, tak menjadi kendala baginya.

Sudah sejak lama sekali. Polisi itu berpatroli ke tempat-tempat sepi. Namun nihil, ia tak kunjung bertemu dengan sang perampok. Tanpa terduga, di gang sepi. Perampok bertopeng hitam sedang melakukan aksinya. Ia mengancam seseorang dengan belati. Si korban ketakutan. Keringat mengalir deras. Matanya berkedip-kedip. Ia takut mati. Ia pun takut menyerahkan hartanya ke sang perampok.

“Angkat tangan!” bentak polisi saat itu.

Perampok itu mengangkat tangannya. Seolah-olah menyerah. Ia mencoba menatap polisi dengan matanya. Tersentak sejenak. Namun, seketika perampok itu kabur. Ia berlari ke khalayak ramai. Mencoba menghindar. Namun nahas, peluru pistol polisi melesat.

Baca Juga :  Patah Hati

Perampok tanpa daya. Ia dikerumuni orang banyak. Sekedar melihat apa yang terjadi. Setelah polisi datang, orang banyak itu memberi ruang jalan. Secara paksa, polisi itu membuka topeng si perampok.

“Mayo!?” Gila. Betapa terkejutnya si polisi. Setelah mengetahui si perampok adalah sahabat kecilnya.

***

Mayo dan Yono. Sepasang sahabat. Terikat sedari kecil. Bercanda gurau bersama. Mencuri ayam bersama. Sama-sama pemberani. Serta mempunyai cita-cita yang sama pula.

“Aku ingin menjadi polisi!” teriak Yono di pegunungan yang rimbun. Kemudian ia memandang Mayo. Sebuah isyarat untuk bergantian menyebut cita-citanya.

“Aku ingin menjadi polisi yang pemberani!” teriak Mayo pula. Kata-katanya lebih panjang dari Yono. Ia ingin mengalahkan Yono, dalam bidang apapun. Ia menatap mata sahabatnya. Seketika mereka tertawa bersama.

Tatkala sekolah. Mereka melewati jalan terjal. Kerikil-kerikil menusuk kaki telanjang mereka. Bila salah satu dari mereka kewalahan. Salah satunya, menggendong dua tas sekaligus. Bagi mereka, hidup harus saling mengerti. Saling membantu. Dan saling memahami.

Tengah malam. Di tengah salak anjing bersahutan. Mayo mengetuk pintu rumah Yono. Ia memanggil-manggil nama Yono. Sambil menangis, ia terus memanggil. Sedang seisi rumah yang sedang terlelap. Terbangun seketika. Menyimpan heran dan menjaga semua kemungkinan.

“Kenapa Nak?” Ibu Yono membuka pintu. Dengan linang air mata yang mengalir, Mayo memeluk ibu Yono erat.

“Kenapa Nak?” tanya ibu Yono kembali. Ia ikut panik.

Yono dan bapaknya ikut keluar rumah. Mata yang sebelumnya mengantuk. Seketika terjaga pilu, saat mendengar kematian Ibu Mayo.

“Kau yang sabar Yo,” Yono menenangkan. Ia ikut bersedih. Dadanya ikut teriris.

Memang sudah lama, Ibu Mayo sekarat. Yono kerap berkunjung. Membawa beberapa obat dan makanan. Sejak Ayah Mayo meninggal. Mayo hanya hidup bersama ibunya. Sejak saat itu pula. Ibu mayo jadi tulang punggung. Namun, ketika sakit-sakitan. Hidup Mayo dan ibunya bergantung pada keluarga Yono. Keluarga Yono terlalu berbaik hati.

Baca Juga :  Seni Mencuri

Kini Mayo sebatang kara. Ia tak henti-hentinya menangis di beranda rumah. Ia tak tahu lagi harus bagaimana. Ia masih terlalu kecil untuk mencari kerja. Namun, Yono datang membawa berita sumringah. Mereka akan menjadi saudara. Sebab kebaikan orang tua Yono. Orang tua Yono mengangkat Mayo sebagai anak.

Hingga tatkala dewasa. Mayo dan Yono dihadapkan oleh persimpangan. Jiwa dewasa Mayo. Membuatnya menjadi tak enak hati. Yono dan keluarganya, sudah banyak membantu. Sebab kebaikannya, Mayo tak kelaparan. Entah bagaimana nasib Mayo tanpa Yono. Mungkin sekarang ia akan berjalan tanpa arah. Menjadikan dirinya menjadi gelandangan.

Mayo memutuskan merantau. Ia ingin mencari jati diri. Ia mengingatkan pada Yono tentang cita-cita. Cita-cita yang sempat dirangkai bersama dahulu.

“Aku pergi Yono,” bisik mayo pelan. Ia sudah siap-siap pergi. Tas berisikan baju ia gendong.

“Kenapa secepat ini?” Yono merasa berat hati.

“Aku tak mau kalah darimu.”

“Maksudmu?”

“Aku akan menjadi polisi terlebih dahulu,” Mayo tersenyum. Seketika keduanya tertawa bersama. Kembali mengingat masa lalu. Mereka seperti berada di penggunungan rimbun. Dengan segala janji yang mereka ucap.

Mayo melangkah pergi. Yono memandang punggung Mayo. Langkahnya makin jauh dan menghilang. Sejak saat itu pula. Yono bertekad untuk menjadi polisi.

***

“Kenapa kau melakukan ini, Mayo!?” Yono menghujani Mayo pertanyaan. Hatinya benar-benar teriris. Ia tak bisa percaya. Mengetahui Mayo dan pekerjaannya. Mayo adalah sahabatnya. Mayo adalah saudaranya. Semua orang heran. Memandangi polisi dan perampok sebegitu akrabnya.

Baca Juga :  Suara Kematian (Cerpen Ramli Lahaping)

“Kenapa kau melakukan ini!?” Mayo tak menjawab.

Mayo masih membisu. Ia pasrah. Ia pasrah dengan nasibnya. Ia pasrah di tangkap sahabatnya sendiri. Ia merasa malu. Ia malu pada janjinya. Ia malu pada mayo. Ia pun malu pada semua orang yang masih diracuni kebingungan.

Ditengah haru biru. Mayo bangkit. Melesat. Mengambil pistol Yono gesit. Sangat gesit. Hingga kini ia hanya menggerakan jari untuk melepas pelatuk. Tepat di pelipis kepala Yono.

Suasana menjadi gaduh. Semua orang panik. Mereka takut menjadi korban. Mereka takut tebunuh sia-sia. Semua riuh tak terkendali. Sedang Yono sendiri. Hatinya lebih teriris lagi. Orang yang dianggapnya sahabat. Orang yang dianggapnya saudara. Orang itu akan segera membunuhnya.

“Apakah kau benar-benar akan melakukan ini?” Suaranya menjadi lirih. Ia menahan rasa sakitnya. Ia menahan air matanya. Namun, tanpa terasa air mata mengalir dengan sendirinya.

Mayo hanya membisu. Ia hanya tersenyum sinis. Lebih tepatnya ia memaksakan untuk tersenyum. Hatinya ikut teriris. Kenangan bersama Yono Terngiang. Yono dan keluarganya sangat baik. Lantas kenapa ia mencoba untuk membunuhnya. Ia harus melakukan, apa yang ia lakukan.

“Cepatlah tarik pelatuknya.” Yono pasrah.

“Kenapa? Kau ingin segera mati,” Mayo angkat bicara. Nada bicaranya benar-benar seperti orang tak punya perasaan.

“Ia aku ingin mati. Daripada melihatmu seperti ini.”

“Maaf Yono.”

Yono pejamkan matanya. Air mata mengalir di mata Mayo. Ia sudah tak sanggup memendungnya. Ia arahkan pistol di kepalanya sendiri. Yono terlambat meraih pistolnya. Peluru melesat, keluarkan darah segar.


Ahmad Aljas Sabilil Muttaqin, lahir di Sumenep, Madura. Sarjana Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma. Kini bergiat di Komunitas Sastra Kutub Yogyakarta dan mengelola Taman Baca Masyarakat Kutub.

 

 

 

 

 

 

 

 

Berita Terkait

Patah Hati
Seni Mencuri
Suara Kematian (Cerpen Ramli Lahaping)

Berita Terkait

Sabtu, 25 Januari 2025 - 17:13 WIB

PELURU

Minggu, 22 Desember 2024 - 14:55 WIB

Seni Mencuri

Sabtu, 25 November 2023 - 05:47 WIB

Suara Kematian (Cerpen Ramli Lahaping)

Berita Terbaru

Menteri Pertanian RI, Andi Amran Sulaiman (Foto: ip/nolesa.com)

Nasional

Pemerintah Jamin Harga Beras Stabil Hingga Ramadan 1446 H

Selasa, 4 Feb 2025 - 22:03 WIB

Nelly Farraniyah (Foto: dokumen pribadi untuk nolesa.com)

Sosok

Pengalaman Hobi Jadi Motivasi Profesi

Selasa, 4 Feb 2025 - 18:26 WIB