Goreng Ikan Asin

Redaksi Nolesa

Selasa, 29 April 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Yulputra Noprizal untuk NOLESA.COM

Yulputra Noprizal untuk NOLESA.COM

Oleh: Yulputra Noprizal*


Ipil robek celengan plastik itu dengan pisau. Setelah uang kertas dan koin menghambur keluar hatinya terasa perih. Celengan kesayangannya jadi korban. Uang kertas dan koin yang jatuh di lantai lantas ia pungut. Ipil memasukkan uang kertas dan koin itu ke dalam saku celana. Saatnya ia letakkan celengan kosong itu di tempatnya kembali.

Ipil sudah siap dengan celana jins panjang dan baju kaos. Sehelai baju, sehelai celana jins panjang, dan celana dalam sudah pula ia masukkan ke dalam tas. Kemudian ijazah SD-nya dan rapor. Ia tidak terima tamparan ayahnya siang tadi, seusai ia menerima rapor.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

“Mengapa kamu tidak juara kelas sekarang?” kata ayahnya di dapur.

“Kan nilainya sama dengan semester kemarin. Aku berada di kelas unggul. Isinya orang-orang juara dikumpulkan satu kelas.”

“Alasan kau saja,” kata ayahnya yang diiringi tamparan di pipinya.

Kepalanya tergunjang. Pipinya terasa sakit. Ia merasa pusing. Tak ada keiinginannya melawan. Apalagi menampar balik ayahnya. Ia tak berkata-kata lagi. Ia menekur sembari menahan sakit di kepala.

“Ulang lagi alasan kau,” kata ayahnya lagi, yang juga diikuti tamparan.

Ipil mengendap-endap di dapur. Membuka pintu dapur dengan pelan. Ia berjalan tergesa ke belakang rumah. Di belakang rumah ada sawah. Ke sanalah kaki Ipil melangkah. Dalam hatinya, semoga ibunya tidak melihatnya.

Ya, ia memilih kabur dari rumah waktu itu. Tak lama sesudah ayahnya menamparnya di dapur saat ia memperlihatkan rapor Semester I di kelas II SMP.

***

Sengaja Ipil pilih berjalan di sawah belakang rumah. Untuk menghindari tatapan mata orang sekampung. Nanti, bila tiba di pertigaan dekat SD, ia akan keluar ke jalan raya.

Angin siang berhembus sepoi dan gemerisik di bulir-bulir padi. Ipil terus berjalan di pematang sawah dengan langkah hati-hati. Sisa sakit di kepala habis ditampar ayahnya masih tersisa. Ia pergi membawa rasa perih. Tujuannya hendak ke Kota Padang. Biarlah ia bersekolah di Kota Padang saja. Ia berencana akan bersekolah di Kota Padang sembari berjualan. Di Kota Padang begitu banyak toko. Sembari bersekolah ia bisa berjualan di toko sebagai karyawan.

Sekarang Ipil sudah sampai di jalan raya. Dengan mata yang awas, ia berusaha menghindari tatapan orang sekampung. Tiada lain dengan menampilkan muka yang biasa saja.

Sebuah mobil carry bertenda ia hentikan. Ia tahu mobil itu cuma sampai Kambang. Tapi masih mendingan sampai Kambang daripada ia berdiri menunggu bus di pinggir jalan. Sampai di Kambang orang-orang tentu tidak mengenalinya, terbebas ia dari tatapan orang sekampung.

Baca Juga :  Patah Hati

Di mobil carry bertenda ada beberapa penumpang. Ipil naik mobil. Ia berlagak biasa saja dengan tas di punggung sembari menikmati angin yang meniup kencang ketika mobil sudah berjalan.

Satu jam perjalanan dari Air Haji mobil itu berhenti di Pasar Kambang. Semua penumpang turun, tak terkecuali Ipil. Ia kuat-kuatkan hatinya. Untuk terus meraih rencananya. Setelah membayar ongkos, ia duduk di sebuah kedai di Pasar Kambang. Hari belum lagi Ashar.

Tak lama ia duduk di kedai itu, sebuah bus-engkel berhenti. Bus itu menaiki penumpang di Pasar Kambang. Ia perhatikan dengan seksama seluruh badan bus-engkel itu. Ia lantas melangkah menuju bus-engkel yang berhenti itu. Dalam hatinya, pastinya bus ini bisa mengantarkannya ke Kota Padang. Ia pegang tas punggungnya erat-erat sebelum kakinya melangkah menaiki bus.

Di atas bus segera ramai dengan hiruk-pikuk penumpang yang mengobrol. Ia duduk, kembali mamasang muka biasa. Walau sebenarnya dadanya kembang-kempis juga. Sebab, baru kali ini ia melakukan perjalanan sendiri menaiki bus.

Bus melaju. Ipil lantas teringat Ibu di rumah. Tapi kemudian pikirannya mengusir wajah Ibu. Buat apa lagi Ibu. Toh Ibu tidak pernah bisa mencegah apabila ayah memarahinya. Ayah yang katanya lulusan universitas tapi tidak mempunyai pekerjaan kecuali menonton tv tiap hari. Kakaknya Agus terkadang, apabila melihat Ayah marah padanya, yang mencoba menghentikan keganasan Ayah bila marah.

Tiba di Painan kondektur bus meminta ongkos. Barulah Ipil sadari kalau bus-engkel yang ia tumpangi tidak sampai ke Kota Padang. Bus-engkel itu hanya sampai Tarusan, kurang lebih 1,5 jam perjalanan dari Kota Padang. Tapi batinnya segera menghibur, tak apalah, toh nanti ia bisa menyambung bus lagi di Tarusan untuk ke Kota Padang.

Ipil bayar ongkos. Setelah mengingat jumlah uangnya di saku celana jins, ia sedikit gembira. Masih banyak. Masih ada bekal uang nanti kalau andainya di Kota Padang terlambat dapat pekerjaan.

Dua orang dewasa di belakang Ipil duduk mengajak ngobrol.

“Sudah malam sampai di Tarusan. Ada baiknya nanti menginap di rumah kami, di Tarusan. Tidak ada bus yang ke Kota Padang malam hari di Tarusan,” kata salah seorang dari mereka.

Baca Juga :  Tirani Biru dan Isinya yang Terbelenggu

Ipil termenung. Matanya berkerdip. Ia menahan isak. Perasaan canggung tiba-tiba saja muncul di dadanya. Di luar rencananya. Ia mengharapkan sampai di Kota Padang malam. Lantas menginap dulu, besoknya baru mencari pekerjaan.

“Tak mengapalah, Da. Nanti aku sama turunnya dengan Uda di Tarusan,” katanya mengiyakan tawaran dua orang dewasa itu.

***

Di rumah Ibu Ipil sudah berlinang air mata. Lewat Magrib Ipil belum juga berada di rumah. Tak biasanya begini. Sedangkan Ayahnya hanya diam menonton tv di ruang tengah. Ibunya kemudian keluar rumah, bertanya ke sana-sini, menanyakan ke orang-orang, apakah ada mereka melihat Ipil. Tak satu pun orang-orang itu melihat Ipil dari siang tadi. Ibunya bertanya kepada ayahnya. Ayahnya berkata,”Mungkin sedang main di rumah kawan sekolahnya.”

Ibu Ipil langsung berfirasat, kalau tadi siang sudah terjadi hal yang tidak terduga di rumah. Ayah Ipil barangkali memahari Ipil, bahkan memukulnya. Kuat firasat Ibunya kalau Ipil kabur dari rumah. Sampai tengah malam mata Ibunya tidak bisa tidur. Ibunya lantas ke kamar mandi, mengambil wudhu untuk salat istikarah. Sesudah salat, bulat hatinya memutuskan untuk mencari Ipil ke Kota Padang besok.

***

Bus-engkel itu menurunkan semua penumpangnya. Dua laki-laki dewasa itu pun turun, tak terkecuali Ipil. Hari sudah Magrib, langit mulai menggelap. Dua laki-laki dewasa itu berpisah dengan terlebih dulu berjanji bertemu lagi malam selepas Isya di Pasar Tarusan. Yang seorang berjalan ke arah utara bernama Mansur. Sedangkan yang seorang lagi berjalan ke selatan bersama Ipil. Namanya Bobi.

Ipil sedikit gembira karena Bobi yang berjalan di sampingnya tidak banyak tanya. Sampai di pertigaan mereka berbelok. “Tak jauh lagi kita sampai di rumah Uda,” kata Bobi.

Sampai di sebuah rumah papan, Bobi mengajak Ipil masuk. Di ruang tamu ada ibu Bobi sedang istirahat sehabis makan malam. Mereka pun masuk. Bobi mengatakan mau mandi sebentar, habis itu baru makan malam.

Ipil tidak mandi. Tidak pula berganti pakaian. Ia tidak meletakkan tasnya. Tas itu masih di punggungnya.

Selesai Bobi mandi dan berpakaian. Ibunya menghidangkan nasi di ruang tengah. Lantas Ipil duduk bersila di depan nasi. Bobi pun mengeluarkan dari tudung goreng ikan asin. Kemudian sayur kangkung. Bobi menanyakan kepada Ibunya, apakah sudah makan. Ibunya menjawab, sudah. Bobi lantas menyendok nasi sembari mempersilahkan Ipil makan.

Baca Juga :  PELURU

Melihat goreng ikan asin selera makan Ipil jadi patah. Dari kecil ia memang tak suka ikan asin. Ia tidak suka aromanya. Juga dagingnya. Melihat goreng ikan asin terhidang, ia teringat ibunya. Ibunya, bila di rumah menggoreng ikan asin selalu memasak lagi lauk-pauk yang bukan ikan asin untuk Ipil. Tapi sekarang? Belum mengambil ikan asin, perutnya terasa mual.

Ipil menyendok nasi, lantas menambahnya dengan sayur kangkung. Ikan asin ia ambil cuma sekedar basa-basi saja. Diletakkannya di pinggir piring dan tidak dimakan.

Malam selepas Isya Bobi mengajak Ipil keluar rumah, ke pasar Tarusan. Tempat Bobi bertemu dengan kawan seperjalanannya, Mansur. Mereka bertemu dan Ipil hanya menyaksikan saja mereka ngobrol dan merokok di sebuah bangku kayu di ujung pasar. Ada ban yang dibakar dan musik dangdut mengalun dari speaker di ujung pasar.

Ipil tidak ingat lagi berapa jam di pasar. Intinya selama di pasar ia tidak ngobrol dengan siapa-siapa. Hanya menyaksikan saja kedua laki-laki dewasa itu, Bobi dan Mansur, ngobrol. Sekali-kali mereka pun bergoyang. Rasa-rasanya malam sudah larut ketika mereka kembali ke rumah.

Nyamuk-nyamuk berterbangan di atas kepala Ipil. Udara terasa begitu dinginnya. Aroma goreng ikan asin masih terbayang di pikirannya ketika ia mencoba tidur di ruang tengah beralaskan tikar tanpa kasur. Sedangkan Bobi tidur tak jauh dari Ipil, sudah nyenyak.

Mata Ipil tidak mau tidur. Ia terbayang rumah. Ia terbayang ibunya. Nyalinya pun perlahan surut. Keberaniannya sebelumnya untuk datang ke Kota Padang mulai kendur. Pikirannya berputar ke arah pulang, ke Air Haji.

Dini hari mata Ipil belum juga tidur. Dan ia pun memutuskan untuk tak ke Kota Padang besok pagi. Ia jadi begitu kangen rumahnya. Begitu kangen kasur kamarnya.

***

Sudah siang Ipil tiba di Air Haji. Rumah nampak sepi. Ia ketuk pintu dan yang membukakan Uda Agus.

“Mana Ibu,” kata Ipil begitu pintu terbuka.

“Ayah dan Ibu pergi ke Padang pagi tadi mencarimu,” kata Agus.

Ipil berjalan ke kursi ruang tamu. Ia lantas menangis.

“Maafkan aku, Bu. Telah membuat Ibu susah. Tak akan kuulangi lagi perangai begini,” kata Ipil dalam isak.

*Yulputra Noprizal, lahir di Air Haji pada 11 November 1985. Penyuka dan penikmat sastra. Tinggal di Air Haji, Kab. Pesisir Selatan, Sumatra Barat

Berita Terkait

Tirani Biru dan Isinya yang Terbelenggu
Sang Bidak
DENDAM
Patah Hati
PELURU
Seni Mencuri
Suara Kematian (Cerpen Ramli Lahaping)

Berita Terkait

Rabu, 30 April 2025 - 09:14 WIB

Tirani Biru dan Isinya yang Terbelenggu

Selasa, 29 April 2025 - 08:56 WIB

Goreng Ikan Asin

Minggu, 9 Maret 2025 - 08:30 WIB

Sang Bidak

Sabtu, 15 Februari 2025 - 07:00 WIB

DENDAM

Selasa, 4 Februari 2025 - 08:09 WIB

Patah Hati

Berita Terbaru

Presiden Prabowo ditemani Mentri Amran di sebuah lahan pertanian (foto: ist)

Nasional

Di Era Presiden Prabowo, Serapan Beras Tertinggi dalam 58 Tahun

Selasa, 13 Mei 2025 - 07:32 WIB

for NOLESA.COM

Opini

Pesantren di Era Digital: Sebuah Catatan Sederhana

Minggu, 11 Mei 2025 - 11:04 WIB

Bupati Sumenep, Dr. H. Achmad Fauzi Wongsojudo menerima SK PAW dari Ketua MUI Jatim, KH. Hasan Mutawakil Alallah di Kantor MUI Jatim, Sabtu, 10/5/2025 (foto: ist)

Daerah

Bupati Sumenep Terima SK PAW

Sabtu, 10 Mei 2025 - 19:46 WIB