Suara Kematian (Cerpen Ramli Lahaping)

Redaksi Nolesa

Sabtu, 25 November 2023

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Sudah lewat jam 8 malam. Dino dan Rustam menapaki jalan setapak. Dino membawa seekor ayam jantan, sedangkan Rustam membawa sebilah pisau. Mereka berdua hendak bekerja sama untuk menyembelih ternak tersebut di pinggir sungai, sekalian membersihkan jeroannya.

Tiba-tiba, di tengah perjalanan, di antara pepohonan, terdengar suara burung gagak mengekek.

Setelah sedari awal perjalanan mereka tak berbagi kata seolah tak ada bahan obrolan, Dino pun membuyarkan keheningan, “Apa kau percaya kalau suara burung gagak adalah pertanda kematian?” tanyanya, dengan tetap fokus menerangi jalan menggunakan sorot lampu ponselnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

“Tentu saja tidak. Itu hanya takhayul. Dalam agama, kita tidak boleh memercayai hal demikian,” jawab Rustam yang berjalan di sisi depan.

“Kalau aku sih, percaya saja. Ya, itu kan bisa jadi pertanda akan kematian ayam ini,” tanggap Dino, bermaksud bercanda.

Rustam terdiam saja dan tak menimpali, seolah tak tergelitik dengan guyonan sababatnya sejak masa kanak-kanak tersebut.

Namun Dino mengerti perihal sikap Rustam yang telah banyak berubah. Dino memahami kalau Rustam benar-benar telah menjaga perilakunya, termasuk adabnya. Ia tak lagi gemar berbagi candaan dan tertawa terbahak-bahak seperti dahulu. Ia hanya akan bersuara untuk hal-hal yang memang perlu, dan sekadar tersenyum untuk hal-hal yang menyenangkan perasaannya.

Perubahan Rustam itu, bermula sejak setahun lalu, setelah ia meneruskan sekolah lanjutan tingkat atasnya di sebuah sekolah berbasis agama dan berkonsep asrama. Di sekolah itu, ia mempelajari aturan agama secara mendalam. Di sekolah itu pula, ia mendapatkan pengetahuan soal adab perilaku, termasuk larangan menertawakan hal-hal yang berhubungan dengan agama.

Rustam yang sekarang, memang jauh berbeda dari Rustam yang silam. Ia bukan lagi anak selengean yang suka bertingkah usil dan jahil. Ia telah banyak mengetahui aturan agama, dan ia tampak berusaha untuk mengamalkannya sebaik mungkin. Karena itulah, mau tak mau, Dino belajar maklum kalau Rustam ogah meladeni bahasan liarnya secair dan sehangat dahulu.

Meskipun perangai Rustam telah berubah drastis, Dino masih menganggapnya sebagai sahabat baik. Biarpun Rustam telah menganut pandangan agama yang ketat, ia tak mau itu menghalanginya untuk menggaulinya secara akrab. Sebab itu, ia yang melanjutkan pendidikan di sekolah umum dan lemah dalam pengetahuan agama, tetap menyikapi Rustam secara santai.

Baca Juga :  Patah Hati

Atas keadaan itu, kini, saat orang tuanya punya hajat dan ingin memotong seekor ayam, Dino pun terpikir untuk meminta bantuan Rustam yang sedang libur sekolah. Ia yakin kalau Rustam yang sudah punya pengetahuan agama yang baik, pasti ahli dalam penyembelihan hewan. Ia bahkan merasa kalau Rustam lebih jago daripada imam dusun yang hanya tamatan SD.

“Untuk apa kau sembelih ayam?” tanya Rustam, dengan raut serius, setelah Dino mengunjungi rumahnya dan menyampaikan maksudnya.

“Cuma acara syukuran atas panen jagung orang tuaku yang lumayan memuaskan,” jawab Dino, lantas terseyum lepas.

Rustam kemudian mengangguk-angguk paham dan bersedia untuk membantu. Rustam bahkan tak mempermasalahkan permintaan khusus Dino agar penyembelihan tersebut dilakukan di sungai, dengan alasan agar isi perut ayam itu bisa segera dibersihkan setelah tewas.

Begitulah ceritanya, sampai Dino dan Rustam melangkah bersama ke sungai.

Beberapa lama berselang, mereka akhirnya sampai di pinggir sungai, di sebuah batu landasan besar yang menjorok dari dalam tanah. Dino lalu menyandarkan ponselnya pada akar pohon, di sisi tebing, di samping mereka, untuk menerangi urusan mereka.

Dengan hati-hati, keduanya lalu berjongkok di tepian batu landasan. Dino kemudian memegangi kaki beserta sayap ayamnya dengan kedua tangannya. Rustam lantas memegang tengkuk hewan itu, lalu melafalkan doa, kemudian menyembelihnya.

Seketika, darah mengucur dari leher ayam tersebut dan jatuh ke dalam aliran sungai. Dino lalu mengambil pegangan tengkuk ayam itu dari Rustam dengan tetap memosisikannya di atas aliran sungai, agar darahnya menetes dan hanyut.

Burung gagak kemudian kembali berkekek. “Suara gagak itu makin keras saja. Sepertinya, ia benar-benar membaca pertanda kematian,” katanya, berniat bercanda, kemudian menoleh kepada Rustam yang tampak tidak terhasrat untuk menggubris. Akhirnya, ia kembali melontarkan dasar candaannya, “Ya, pertanda kematian untuk ayam ini, maksudku.”

Rustam menghus keras. “Jangan bicara sembarangan. Gagak hanya binatang, bukan malaikat maut. Jangan sampai kau jatuh dalam lubang kesyirikan karena memercayai hal seperti itu,” tanggapnya, kesal.

Baca Juga :  Seni Mencuri

Dino tersenyum mendengkus, seolah senang telah membuat sahabat kecilnya itu tampak dongkol.

Sejenak berselang, karena merasa tak sabar untuk menunggu ayam itu berhenti bergerak, Dino lalu memasukkannya ke dalam karung. Ia kemudian menginjak ujung karung tersebut, dan sekadar menunggu sembelihan itu benar-benar mati untuk proses pembersihan isi perutnya.

Detik demi detik, di tengah keheningan, Dino dan Rustam terus saling mendiamkan. Di sela-sela suara aliran sungai, hanya terdengar suara kepakan sayap ayam yang masih menggelepar. Sampai akhirnya, terdengar lagi suara kekekan burung gagak dari sisi atas mereka.

Tanpa Dino duga, Rustam bertutur, “Semoga warga di kampung kita ini makin mengenal agama dan terhindar dari perbuatan syirik,” harapnya, seolah tergelitik menyinggung perkara itu setelah kembali mendengar suara burung gagak dan kepercayaan-kepercayaan yang menyertainya.

Dino sontak tergelak pendek menyaksikan sikap serius Rustam. Ia lantas menanggapinya dengan pandangan umum, “Kurasa, tak ada warga kampung kita yang menyekutukan Tuhan. Yang ada, ya, warga sini masih menunaikan prosesi adat istiadat yang dipercaya baik untuk kehidupan. Tetapi kukira, adat tidak selalu patut dipertentangkan dengan agama.”

Dino pun menyergah, “Ah, pandanganmu sesat kalau begitu. Acara-acara adat yang selama ini dilakukan orang kampung, nyata-nyata bertentangan dengan aturan agama. Acara semacam itu mengandung kesyirikan, terutama karena memercayai kalau ada kekuatan lain yang memiliki kendali atas kehidupan di dunia ini selain Tuhan. Semisal mengadakan prosesi tolak bala dengan memberikan persembahan sembelihan kepada penunggu-penunggu alam. Yang seperti itu, jelas kesyirikan, dan ganjarannya adalah neraka.”

Dino malah kembali tertawa mendengar pandangan keagamaan Rustam yang ajeg.

“Agama tidak sepatutnya dicampuradukkan dengan adat istiadat. Ajaran agama itu suci, sedangkan adat istiadat itu kotor,” sambung Rustam, tegas. “Untunglah, kau hanya melakukan penyembelihan untuk acara syukuran biasa. Kalau untuk acara adat yang mengandung penyimpangan, aku pasti tidak mau memotong ayammu.”

Lagi-lagi, Dino tergelak. Ia lantas menimpali, “Tetapi terlambat, Kawan. Kau sudah melakukan hal yang kau anggap terlarang itu.”

Baca Juga :  PELURU

“Maksudmu?” sidik Rustam, terkejut.

Dengan raut santai, Dino pun menjawab, “Sebenarnya, ayam sembelihan ini, dimaksudkan ayah dan ibuku sebagai persembahan untuk penunggu sungai ini. Makanya, aku mengajakmu menyembelihnya di sini untuk menghanyutkankan darahnya.”

“He, jangan bercanda kamu!” Rustam tampak kesal.

Dino malah terkekeh menyaksikan ekspresi kalut Rustam. “Ya. Nantinya, daging ayam ini akan dimasak, dan sebagiannya akan dilarung bersama sesajen di sungai ini. Katanya, itu untuk saudara ayahku yang berwujud buaya, yang dipercayai sebagai penjaga sungai ini,” terang Dino, lantas kembali menyambung tawanya, seolah senang telah berhasil menjahili temannya.

“He, jangan main-main kamu. Ini persoalan agama!” bentak Rustam, marah.

Dino malah berdecak-decak dan menggeleng-geleng. “Ah, kamu yang sebaiknya jangan terlalu serius. Kamu kayak bukan orang kampung sini saja.”

Dengan penuh kedongkolan, Rustam lekas berjongkok dan mencoba merebut sekarung ayam sembelihnya, tetapi Dino lekas mengambilnya dan mengamankanya dengan tangan kanannya.

“Jangan pakai ayam itu untuk ritual kesyirikan kalau kau tidak mau menyesal dunia dan akhirat!” titah Rustam, geram.

“Tak usah mempermasalahkan. Semua sudah terlanjur,” tanggap Dino, santai.

Rustam lalu mendekati Dino. Dengan gerakan cepat, ia pun berhasil menggapai bagian samping karung tersebut. Akhirnya, terjadilah tarik-menarik yang sengit, tanpa mereka peduli kalau darah sembelihan itu telah mengenai kulit dan pakaian mereka masing-masing.

Di tengah aksi perebutan yang alot itu, atas keyakinannya yang tegak lurus, Rustam lalu menyentakkan tarikannya, sembari mengayunkan tendangan yang keras ke sisi perut Dino.

Seketika, pegangan Dino terlepas dari karung, hingga ia terjengkang. Kepalanya lalu terbentur keras pada sisi batu landasan yang kasar, sampai mengeluarkan darah. Tubuhnya yang terlentang kemudian tampak bergidik-gidik dan perlahan kehilangan daya.

Rustam jadi kalang kabut.

Dari sisi atas mereka, burung gagak kembali terdengar mengekek-ngekek.


Ramli Lahaping. Kelahiran Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Menulis di blog pribadi (sarubanglahaping.blogspot.com). Bisa dihubungi melalui Twitter (@ramli_eksepsi) atau Facebook (Ramli Lahaping).

Berita Terkait

Patah Hati
PELURU
Seni Mencuri

Berita Terkait

Sabtu, 25 Januari 2025 - 17:13 WIB

PELURU

Minggu, 22 Desember 2024 - 14:55 WIB

Seni Mencuri

Sabtu, 25 November 2023 - 05:47 WIB

Suara Kematian (Cerpen Ramli Lahaping)

Berita Terbaru

Menteri Pertanian RI, Andi Amran Sulaiman (Foto: ip/nolesa.com)

Nasional

Pemerintah Jamin Harga Beras Stabil Hingga Ramadan 1446 H

Selasa, 4 Feb 2025 - 22:03 WIB

Nelly Farraniyah (Foto: dokumen pribadi untuk nolesa.com)

Sosok

Pengalaman Hobi Jadi Motivasi Profesi

Selasa, 4 Feb 2025 - 18:26 WIB