Judul Buku: Studi Islam Kontemporer Perspektif Insider/Outsider
Penulis: M. Arfan Mu’ammar, Abdul Wahid Hasan, dkk.
Penerbit: IRCiSoD, 2017
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Wahabi dan Salafi-Jihadi adalah dua hal yang saling berkaitan. Meski keduanya berbeda dari sisi waktu berdirinya, namun sejumlah studi yang ada mengungkapkan bahwa salafi-jihadi (gerakan yang kini dianggap ancaman bagi masa depan perdamaian) berdiri dengan mengambil inspirasi dari gerakan purifikasi Islam yang diusung oleh wahabi dengan tokohnya Muhammad bin Abd al-Wahab, seorang tokoh dan ulama asal Najd, Jazirah Arab. Bahkan, lebih daripada itu, keduanya bisa disebut sebagai bayi kembar yang meski tidak lahir secara bersamaan, namun keduanya sangat identik dan sejalur secara ideologis.
Sejak awal, Salafi-Jihadi dan Wahabi memang merupakan dua gerakan yang berbeda. Kelompok Wahabisme mulanya menyebut dirinya sebagai muwwahidin: yang menyerukan ketauhidan, memberantas syirik dan bid’ah, mengembalikan Islam pada Al Quran dan hadist dan berpegang teguh padagolongan Salaf al-Shalih. Yaitu tiga generasi pertama muslim yang dipandang sebagai teladan bagi masa depan umat Islam (halaman, 292).
Sedangkan Salafisme merujuk pada Ahl al-Hadist sejak masa Abbasiyah, yang memfokuskan diri pada studi hadist dengan maksud membersihkan Islam dari campur tangan non muslim. Dan, sebagai gerakan pemurnian Islam, Salafisme-Jihadi menyerukan agar umat Islam kembali pada sumber pokok: Al Qur’an dan Hadist dan serta menolak empat imam mazhab, yang di antaranya ada Imam Ahmad, Imam Syafi’i, Imam Maliki, dan Imam Hambali.
Namun demikian, Akhmad Yunan Atho’illah (2017: 290) menyebutkan meski dianggap merujuk kepada Salafus Salih, namun faktanya gerakan Salafi-Jihadi modern baru berumur 30-tahunan. Karena itu, sebagai gerakan yang memiliki banyak kesamaan dengan wahabi, tak salah bila banyak sejarawan menganggap bahwa Salafi-Jihadi berakar atau bahkan merajuk kepada gagasan wahabi ala Abd al-Wahhab.
Sedangkan menurut Khoirul Umam (2017: 308) menyebutkan bahwa Salafi-Jihadi, pun dikatakan berbeda dengan wahabi, namun diakui atau tidak keberadaan wahabi telah ikut memperteguh pendapat-pendapat tokoh yang dijadikan rujukan Salafi-Jihadi, yakni Ahmad bin Hambal (780-855 M) dan Tawiy al-Din ibn Taymiyah (1263-1328 M).
Menurut Khoirul Umam (2017: 310) dalam Global Salafism; Jihadi Salafism Sebagai Sosok Ekstrem Global Salafism, menyebutkan bahwa ada empat doktrin wahabi yang dijadikan inspirasi oleh kelompok jihadi-salafism: Pertama, program wahabi untuk kembali kepada sumber-sumber pokok Islam (Al Quran dan hadist). Kedua, regulasi hubungan muslim (insider) dan non-muslim (outsider).
Ketiga, penolakan wahabi terhadap syi’ism sebagai bid’ah. Doktrin ini bukan hanya memberikan inspirasi bagi kelompok Salafi-Jihadi, tetapi juga telah menjadikannya kelompok radikal. Keempat, praktik hisba. Yakin, al-amar bi al ma’ruf wa al-nahy ’an al-munhkar yang dipertahankan wahabi sebagai puncak jihad. Yang dalam praktiknya kemudian, juga menjadi dasar dan pembenaran bagi kelompok Salafi-Jihadi melakukan kekerasan, radikalisme, dan terorisme (halaman, 310).
Sedangkan menurut Akhmad Yunan Atho’illah (2017: 296) dalam Global Salafi Jihadi: Tantangan atas Masa Depan Dunia menyebut bahwa ada tiga doktrin Wahabisme yang menginspirasi gerakan Salafi-Jihadi: Pertama, ajaran tentang bid’ah. Menurut Yunan, wahabi memperlihatkan kebencian yang sangat luar biasa terhadap semua bentuk intelektualisme, mistisisme, dan sektarianisme dalam Islam, dan memandang semua itu sebagai sesuatu yang menyimpang dan sesat.
Kedua, pengkafiran (takfiri). Dalam doktrinnya, Abd al-Wahab menekankan bahwa tidak ada jalan tengah bagi seorang muslim untuk beriman. Ketika cara berislam seorang muslim dianggap tidak lagi murni, baik secara eksplisit ataupun implisit, maka ia telah dianggap menyekutukan Tuhan dan karena itu, layak dihukumi kafir atau keluar dari Islam. Dan dengan seperti itu, maka darahnya juga dikategorikan halal.
Ketiga, soal konsep al wala’ wal bara’ (hubungan muslim dan non muslim). Dalam konsep ini, menurut Wahabisme terlarang bagi seorang muslim untuk berhubungan secara sosial dengan non-muslim. Sebab, menurut doktrin Wahabisme, non-muslim adalah kafir yang harus dimusuhi. Keempat, praktik hisba, yakni al-amar bi al ma’ruf wa al-nahy ’an al-munhkar. Di mana, di samping sebagai rujukan ukur moral, oleh Wahabisme hisba juga dijadikan sebagai puncak jihad.
Mengancam Perdamaian
Dengan demikian, baik Salafi-Jihadi atau Wahabisme yang menjadi salah satu inspirator berdirinya Salafi-Jihadi, maka dapat disimpulkan bahwa keduanya adalah ancaman terhadap ancaman masa depan perdamaian. Agenda purifikasi Islam yang diusung oleh wahabi maupun Salafi-Jihadi berpotensi menimbulkan konflik keagamaan.
Baik wahabi ataupun Salafi-Jihadi, merupakan perwujudan dari tafsir ”misionari-Apoligetik” (Charles C. Adam, 2002) yang tidak kompatibel dengan agenda pembangunan dunia Baru yang aman dan damai. Oleh karena itu, Salafi-Jihadi dan kelompok inspiratornya, adalah dua entitas yang sebenarnya layak untuk dinegasikan dari dunia Islam Indonesia. Keduanya tidak menjanjikan apa-apa kecuali konflik, permusuhan dan perang.