Bermekaran Bersama Bunga Tulip dengan Puisi Surajiya

Redaksi Nolesa

Senin, 13 Mei 2024

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Amelia Endah Puspita (Foto: dokumen pribadi)

Amelia Endah Puspita (Foto: dokumen pribadi)

Oleh: Amelia Endah Puspita

(Mahasiswa PBSI Universitas Negeri Yogyakarta)

Antologi puisi berjudul Catatan Kecil dari Negeri Bunga Tulip ialah karya dari L Surajiya, penyair asal kabupaten Kulon Progo. Dapat dilihat dari judulnya sudah tertebak jika isinya pasti seindah dan semanis bunga tulip. Bunga tulip ini identik dengan negara Belanda, di Belanda kita bisa menemukan banyak sekali bunga tulip.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Empat puluh enam sub judul dalam buku ini berisikan puisi-puisi yang sangat indah, mengisyaratkan sebuah rasa cinta dan kerinduan yang amat sangat dalam bahkan sebuah kekosongan dan pengkhianatan perasaan. Surajiya menggunakan bahasa yang apik, penuh makna namun cukup mudah untuk dipahami. Setiap judul puisi ditulis pada tempat dan waktu yang berbeda-beda. Sepertinya Surajiya benar-benar pergi ke Belanda dan menjelajahi Negeri Bunga Tulip ini.

Kupeluk kerinduanku padamu

Di sela-sela udara dingin

Dan nyanyian burung pagi

Yang belum ku kenal

Penggalan puisi di atas merupakan halaman pertama yang mengawali antologi puisi ini, ia berjudul “Rindu Tanpa Batas”. Surajiya mengungkapkan betapa rindunya dengan seseorang yang sangat dicintainya yang tentunya seseorang itu jauh darinya. Dia hanya bisa menitipkan rasa rindunya itu pada sela-sela udara dingin, sebab tak semua rindu bisa disampaikan. Lanjutan dari puisi tersebut mengungkapkan teman dari kerinduan yakni kesepian dan kesunyian. Barulah pada puisi halaman kedua terjawab sudah siapa yang sebenarnya dirindukan oleh Surajiya, ternyata dia rindu anak dan istrinya. Setelah membaca puisi kedua tersebut tentunya kini kita bisa lebih memahami dan memposisikan diri di posisi sang pengarang puisi. Rindu akan belahan jiwa memang sangat berat.

Baca Juga :  Tuhan, Manusia, dan Alam

Beranjak dari ungkapan kerinduan, halaman ke tujuh belas di buku ini cukup menyita perhatian saya, judulnya “Lupa Aku Menyebut Nama-Mu Pagi Ini” di sana Surajiya mengatakan bahwa dia sampai lupa menyebut nama Tuhannya karena yang dia ingat hanyalah kekasihnya. Sungguh kebucinan yang tiada lawan. Saya sedikit terkekeh karena puisi tersebut, sembari mengangguk menyetujui apa yang di tulis pengarang puisi bahwa memang saat kita jatuh cinta pada seseorang kita bisa lupa akan segalanya, tak terkecuali Tuhan. Hal yang ironi sebenarnya, namun memang begitu adanya.

Baca Juga :  Pengembangan Diri dengan Upaya Merawat Emosi

Tak ada yang harus disesalkan

Ketika kayu telah menjadi abu

Nasi telah menjadi bubur

Tak ada

Tak ada

Apapun yang terjadi

Ia telah memasuki dunianya

Dunia yang telah ditetapkan baginya

Tak ada yang harus disesalkan

Tentang masa lalu

Sebab ia telah pergi

Berpulang

Mari…

Mari…

Kita sambut hari

Dalam ucapan syukur

Dan kita tangkap masa depan

Yang masih mengapung

Dalam ketidakpastian

Masa lalu mungkin menjadi hal yang sensitif bagi sebagian orang karena bisa jadi masa lalu itu memberikan trauma yang cukup berarti dalam kehidupannya. Penggalan puisi yang berjudul “Biarkan Berpulang” ini seakan memberi sebuah pesan kepada para pembacanya untuk berdamai dengan apa yang telah terjadi. Penyesalan sudah tidak lagi berarti apabila kejadian itu sudah terlewat, seperti nasi yang telah menjadi bubur. Tentang masa lalu, tidak harus selalu dilupakan. Cukup simpan ia di dalam hati bagian terdalam, pendam dan seharusnya itu bisa membuatnya redam. Sayangnya, redam dari api dendam atau kesedihan masa lalu tidaklah mudah. Perlu waktu yang lama agar bisa berdamai dengan hal-hal itu.

Baca Juga :  Narasi Al-Qur'an dan Hermeneutika Sufi : Interpretasi Rumi terhadap Tokoh Pharaoh

Di sela-sela napasmu

 Aku ada

 Di sela-sela jantungmu

 Aku ada

 Di antara jantungmu

 Aku ada

 Di dalam hidupmu

 Aku ada

 Ya aku selalu ada

 Di dalam dirimu

Sepenggal demi sepenggal puisi di atas membuat saya terheran-heran bagaimana bisa ya cinta membuat manusia jatuh dengan sangat dalam, sampai sebuah cinta itu bisa menyatu dengan jiwa dari seseorang. Bagaimana pula sebuah perasaan bisa dengan gamblang bersuara di dalam hati manusia. Lantas mengapa pula jatuh cinta bisa mengukir luka yang dalam, sedalam ia terjatuh hatinya.

Pada halaman terakhir di puisi ini akhirnya Surajiya pulang, meninggalkan Amsterdam dan beberapa kota lainnya yang pernah dia singgahi. Beberapa tempat di Belanda yang membuat beliau bisa menuangkan puluhan puisi yang sangat indah dan penuh makna. Bahasa sederhana yang membuai para pembacanya.

Cinta dan kerinduan mendalam di sini bisa menciptakan sebuah karya yang akhirnya dinikmati oleh banyak orang, Surajiya berhasil membuat para pembaca karyanya terbawa suasana hatinya kala dia menuliskan bait demi bait puisi.

Berita Terkait

Mendengarkan Maarten Hidskes
Sejarah, Psikologi, dan Eksistensial
Tuhan, Manusia, dan Alam
Emosi dan Kehilangan: Interpretasi dalam Seribu Wajah Ayah
Keperibadian Tan Malaka dalam Kacamata Generatif Bourdieu
Pengembangan Diri dengan Upaya Merawat Emosi
Melihat Proses Politik Indonesia Pasca Reformasi 1998
Kisah Klasik Aristoteles tentang Seni Berbicara

Berita Terkait

Senin, 30 September 2024 - 22:55 WIB

Mendengarkan Maarten Hidskes

Kamis, 13 Juni 2024 - 00:07 WIB

Sejarah, Psikologi, dan Eksistensial

Minggu, 19 Mei 2024 - 05:53 WIB

Tuhan, Manusia, dan Alam

Rabu, 15 Mei 2024 - 10:39 WIB

Emosi dan Kehilangan: Interpretasi dalam Seribu Wajah Ayah

Senin, 13 Mei 2024 - 07:30 WIB

Bermekaran Bersama Bunga Tulip dengan Puisi Surajiya

Berita Terbaru