Judul : Jejak Ma’rifat KH Mahfud Ridwan
Penulis : Ahmad Faidi
Penerbit : The Mahfud Ridwan Institute
Cetakan : September, 2021
Tebal : 252 halaman
ISBN : 978-623-6077-14-6
KH. Mahfud Ridwan merupakan salah satu kiai yang memiliki kiprah terhadap kehidupan sosial masyarakat. Teman karib Gusdur ini dikenal sebagai kiai rakyat dan perannya selalu bermain di balik layar. Gelar “Kiai rakyat” ini merupakan gelar yang diberikan oleh Gusdur kepada KH. Mahfud Ridwan karena dilatarbelakangi oleh karakter kiai Mahfud yang senantiasa hidup sederhana dan senantiasa mengabdi untuk kepentingan-kepentingan masyarakat. Akan tetapi, mayoritas orang masih belum mengetahui kontribusi perjuangannya bagi rakyat Indonesia. KH. Mahfud Ridwan berhasil dalam membina, merawat, dan memupuk dedikasi dan militansi kader-kader NU dengan sangat luar biasa.
Di awal buku ini, ada tiga testimoni yang disampaikan oleh santri dan kadernya. Pertama, M. Hanif Dzakiri, Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia sejak 2014-2019. Kedua, Lukman hakim, santri Pondok Pesantren Edi Mancoro (Pesantren yang diasuh oleh KH. Mahfud Ridwan) kini menjadi Wakil Ketua Komisi II DPR RI Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB). Ketiga, Aguk Irawan, penulis dan Pengasuh PP. Baitul Kilmah, Bantul Yogyakarta. Tulisan Aguk Irawan dengan Judul ‘Mengenang KH Mahfudz Ridwan’ ini sudah pernah dimuat dilaman website NU Online Pusat.
KH. Mahfudz Ridwan merupakan salah satu tokoh yang dilahirkan di Salatiga. sejak belajar di pesantren, ia ditempa di Pondok Pesantren Watucongol, Magelang yang saat itu diasuh oleh KH. Nahrowi Dalhar (Mbah Dalhar). Mbah Dalhar merupakan sosok kiai yang akrab dengan Nabi Khidir dan melakukan riyadhah secara khusus untuk mendoakan para santri dan keturunannya. Terbukti, keturunan dan para santri yang pernah ditempanya kelak menjadi ulama’ dan waliyullah terkemuka di daerahnya. Mata air makrifat yang didapatnya di Mekkah, setetes demi setetes ia bagikan kepada para santri dan keturunannya (hal. 16).
Selama di pesantren Mbah Dalhar inilah, KH. Mahfud Ridwan benar-benar mengabdi dan menerima tempaan spiritual di bawah tangan Mbah Dalhar. Ia menyaksikan sendiri bagaimana mutiara makrifat yang dipertontonkan oleh Mbah Dalhar. Salah kesaksiannya, sebagaimana dijelaskan di dalam buku ini, KH. Mahfud Ridwan pernah disuruh mengambil makanan di dapurnya saat tengah malam dan ternyata tidak ada makanan di dapurnya. Kiai Mahfud kemudian disuruh untuk duduk dan menunggu di depan rumah Mbah Dalhar dan datanglah seorang tidak dikenal dengan membawa nasi ambengan (berkat) dan diletakkan tepat di depan tempat duduk kiai Mahfud. Peristiwa ini membuat kiai Mahfudz bertanya-tanya karena pada malam itu para tetangga tidak ada yang melaksanakan hajatan.
Selama berada di Indonesia, KH. Mahfud Ridwan juga berguru kepada KH. Bisri Mustofa, Pondok Pesantren Raudhatut Thalibin, Leteh, Rembang. Di pesantren ini KH. Mahfud mendapatkan ilmu agama yang cukup mumpuni serta segala sikapnya diilhami oleh gurunya menjadi sosok manusia yang egaliter dalam mengayomi masyarakat dan para santrinya. Proses pembentukan sikap “ngemong” yang ditunjukkan kiai Mahfudz kepada setiap orang yang berada bersamanya diaplikasikan kepada teman santri, mahasiswa, teman seperjuangan, para akivis buronan pemerintah, bahkan terhadap orang-orang non Islam (hal. 22). Dari pesantren ini, KH. Bisri Musthofa merekomendasikan kepada KH. Ridwan, abahnya KH. Mahfud, agar segera mengirimkan untuk menuntut ilmu di Mekkah.
Bersama dengan Kiai Mushtofa Bisri, KH. Mahfud menimba ilmu di Mekkah kepada Syekh Muhammad Yasin bin Muhammad Isa Al-Fadani. Kesederhanaan sang guru telah menginpirasi seluruh pelajar Indonesia, termasuk KH. Mahfud untuk memilih Syeikh Yasin untuk menjadikannya guru dan mursyidnya (hal.33). Inilah salah satu penggemblengan terhadap KH. Mahfud selama menimba ilmu di Mekkah.
Kota Mekkah merupakan salah satu penggemblengan diri para ulama terdahulu dan tidak boleh dilewati begitu saja. Termasuk dalam hal ini kesempatan KH. Mahfud dalam menuntut ilmu dan menggembleng dirinya di Mekkah meski hanya tiga tahun tetapi ia sangat sungguh-sungguh dalam proses ini. Bahkan, selama di Mekkah, KH. Mahfud pernah melakukan puasa selama 70 puluh hari dengan hanya berbuka air zam-zam.
Kedekatannya dengan Gusdur dan Gusmus mulai semakin intim ketika sama mengenyam pendidikan di Bagdad. Bahkan, di antara teman-teman mahasiswa Gusdur lainnya, kiai Mahfud adalah sosok yang paling mahir dalam mengelola keuangan. Dari saking percayanya, Gusdur mempercayakan keuangan pribadinya kepada kiai Mahfud. Dari keakrabannya dengan sosok Gusdur, Kiai Mahfud diajak untuk mendiami rumah kontrakan bersama dengan Gusdur (hal. 50). Relasi intim ini membuat dirinya begitu dekat dengan keluarga cucu Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari.
Membaca buku ini seakan kita diajak untuk menelaah dan meniru keteladanan kiai Mahfud Ridwan dan perannya di tengah-tengah masyarakat yang sangat membumi. Karena, kiai Mahfud merupakan sosok yang setia mendampingi orang orang besar seperti Gusdur dan Gusmus bahkan hingga kader-kader NU di Indonesia sehingga ia terus dikenang. Perjuangannya dikenal oleh rakyat karena ia tidak pernah gengsi untuk hidup berdekatan dengan masyarakat. Meski dirinya sudah dikenal sebagai lulusan Baghdad tetapi ketika pagi ia tetap pergi ke sawah atau sekedar merawat kebun yang ada di sekitar rumahnya. Inilah salah satu keteladanan yang tidak pernah habis dalam ingatan meski sudah diguyur waktu.(*)