Oleh Sri Wahyuni*)
Judul: Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas
Tahun terbit: November, 2021 (cetakan keempat belas)
Penulis: Eka Kurniawan
Halaman: 243 halaman
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Sastra adalah ruang permenungan yang bisa melahirkan kesadaran dan keyakinan yang tak biasa. Pengungkapan fakta artistik-imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia dengan medium bahasa akan mendatangkan dampak positif bagi manusia dan kehidupannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kesadaran dan keyakinan itu bisa datang dari mana saja dan lewat apa saja. Lalu, bagaimana jika dialog dengan ‘kemaluan’ dan main-main serius perihal ‘burung’ menjadi ruang permenungan, melahirkan kesadaran dan keyakinan tak biasa?
Pertanyaan ini akan terjawab ketika pembaca menikmati novel buah tangan Eka Kurniawan, Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (selanjutnya disebut SDRHDT). Cabul adalah kesan pertama yang muncul ketika membacanya. Seks dan seksualitas, erotika dan erotisme mewarnai pengisahan novel yang pernah diekranisasi ke dalam film—dengan judul yang sama—pada tahun 2021. Aroma demikian sudah mulai terasa sejak kalimat pertama yang terkesan vulgar: “Hanya orang yang enggak bisa ngaceng, bisa berkelahi tanpa takut mati,” (hlm. 1).
Kalimat serupa akan ditemui pembaca hingga halaman penutup novel ini.
Membaca SDRHDT membuat penulis terperanjat lagi dan lagi. Satu keterkejutan belum usai sudah ditampar oleh keterkejutan lain, begitu seterusnya.
Beragam tanda tanya terus-menerus membekap pikiran. Apa-apaan ini? Karya sastra dengan diksi-diksi erotis di sana-sini, penyajian ragam fenomena seksualitas, dan karakter tokoh yang ‘tidak waras’. Usaha seorang laki-laki untuk membangunkan burungnya saja ditulis menjadi novel.
Rasanya sia-sia. Apalagi, dibutuhkan waktu tiga tahun (2011-2014) untuk merampungkan dan sepuluh tahun untuk menerbitkannya. Namun, setelah suntuk menggauli novel tersebut barulah saya sadar, begitu banyak pesan yang disampaikan Eka. Salah satunya perihal erotisme yang bisa menjadi media penyadaran manusia. Saya menyebutnya sebagai erotisme penyadaran.
Di tangan Eka Kurniawan, erotisme menjadi alternatif untuk menggugah kesadaran manusia. Sebutir kerikil hina seketika menjelma sebutir intan mulia.
Erotisme adalah perkara klasik yang tak pernah habis untuk dibicarakan dalam segala versi dan sudut pandang. Fenomena yang dihina, dikutuki, dibilang cabul, bahkan tabu jika dibicarakan. Ruang-ruang diskusi pun dibatasi.
Paradoksnya, justru dinikmati secara diam-diam dalam ruang-ruang pribadi. Semakin dilarang, semakin membuat penasaran dan belingsatan. Di tangan Eka Kurniawan, erotisme menjadi alternatif untuk menggugah kesadaran manusia. Sebutir kerikil hina seketika menjelma sebutir intan mulia.
Dalam SDRHDT, Eka menyadarkan manusia tentang asal-muasal setiap kejadian. Tak pernah ada kejadian tanpa sebab dan manfaat. Pernyataan ini salah satunya terrepresentasi lewat tokoh Ajo Kawir, seorang laki-laki yang hidup dengan problem seksualitas.
Burungnya memutuskan untuk tidur panjang sejak ia berumur dua belas tahun. Sesaat setelah ia kepergok mengintip aksi pemerkosaan dua oknum polisi terhadap Rona Merah, seorang perempuan sinting.
Beragam cara dilakukannya untuk membuat burungnya bangun. Mulai dari menikmati roman sentilan, memajang foto artis perempuan, pergi ke dukun dan pelacuran, digosok cabai, disengat lebah, hingga menikah dengan kekasihnya, Iteung.
Hasilnya nihil. Si Burung memilih menjadi seekor beruang kutub di musim dingin. Harus tidur lama. Sesekali memimpikan butir-butir salju turun perlahan tanpa pernah diketahui tuannya.
Segala daya upaya yang dilakukan Ajo Kawir tentu diwarnai dengan lika-liku. Tidak ada perjuangan tanpa kedukaan. Lebih-lebih perjuangan membangunkan Si Burung, otak kedua manusia. Puncak kedukaan Ajo Kawir ialah ketika isterinya hamil, sementara bukan ia penyebabnya.
Suka duka perjuangan dan perjalanannya dalam rangka membuat Si Burung menggeliat rupanya menjadi pintu pembuka kesadaran Ajo Kawir. “Hidup dalam kesunyian. Tanpa kekerasan, tanpa kebencian. Aku berhenti berkelahi untuk apa pun. Aku mendengar apa yang diajarkan Si Burung” (hlm. 123).
Dari burung Ajo Kawir yang tidur panjang, Eka sesekali beralih pada tokoh Iteung, isteri Ajo Kawir. Kesadaran juga hadir dari erotisme yang membingkai problem seksualitas Iteung. Ia adalah perempuan yang pernah mengalami pelecehan seksual oleh gurunya.
Peristiwa ini diolah Eka dengan sangat halus sehingga tidak terkesan vulgar dan apa adanya. Justru, peristiwa ini dimanfaatkannya untuk memberikan penyadaran bagi siapa pun yang membaca. Mulai dari bagaimana asal-muasal kejadian, dampaknya, serta nilai positif yang bisa diambil.
Peristiwa demikian rasanya sangat relevan dengan realitas akhir-akhir ini yang membuat publik geger dan geram. Banyak tokoh terlibat, beragam tempat tercatat, dan tak terhitung jiwa merana karena pelecehan seksual. Baru-baru ini, terjadi di salah satu pondok pesantren di Jombang, Jawa Timur.
Sesungguhnya, pelecehan seksual yang digambarkan Eka adalah potret fenomena erotisme dalam kehidupan nyata. Jika novel itu ditulis 2011-2014 maka artinya beragam peristiwa erotisme tersebut sudah terjadi sejak dulu.
Peristiwa seksualitas yang dialami Ajo Kawir dan Iteung disuguhkan Eka lengkap dengan nilai-nilai yang bisa mendatangkan kesadaran manusia. Khususnya kesadaran tentang pentingnya memahami, mengendalikan, mengelola, dan memaknai seksualitas dalam wilayah kehidupan manusia. Pemahaman akan hal ini akan menghadirkan kesadaran bagi tiap-tiap manusia.
Melalui SDRHDT Eka Kurniawan membuka pikiran pembaca bahwa kesadaran tidak selalu datang dari hal-hal positif. Bisa jadi, kesadaran manusia itu hadir lewat peristiwa yang negatif—dalam sudut pandang tertentu—salah satunya erotisme.
Fenomena erotisme tidak selalu bermakna negatif. Justru sebaliknya, erotisme adalah dunia menarik, indah, tak pernah hambar untuk dinikmati, dan tak pernah membosankan dilihat dari sisi mana pun.
Erotisme adalah fenomena kehidupan yang bisa mendatangkan kesadaran bagi manusia, khususnya pelaku dan orang lain pada umumnya. Sebagaimana ungkapan Heri CS dalam endorsement novel tersebut, “Eka piawai menyisipkan makna yang tertebar di sana-sini.”
Karenanya, jika Anda ingin menikmati erotisme yang bisa mendatangkan kesadaran silakan baca novel SDRHDT.
*)Sri Wahyuni, Staf humas STKIP PGRI Ponorogo. Bergiat di komunitas menulis Sutejo Spectrum Center (SSC) Ponorogo. Saat ini menempuh program magister di Universitas Dr. Soetomo Surabaya.
Editor: Farisi Aris