Melihat Proses Politik Indonesia Pasca Reformasi 1998

Ahmad Farisi

Rabu, 9 Agustus 2023

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Judul buku : Menegosiasi Ulang Indonesia
Penulis : Abdul Gaffar Karim
Penerbit : IRCiSoD
Cetakan : Juni, 2020
Tebal : 418 halaman

ISBN : 978-623-7378-48-63-1


Setelah 32 tahun lamanya berada di bawah kepemimpinan yang otoriter dan militeristik, akhirnya kemarahan rakyat terhadap penguasa pecah pada 21 Mei 1998 yang ditandai dengan mundurnya rezim Soeharto dari tampuk ke-presidenan. Peristiwa itu, yang melibatkan hampir semua elemen masyarakat, dari mahasiswa hingga buruh, dikenal dengan sebutan reformasi 1998. Ada dua agenda besar yang diusung oleh gerakan reformasi 1998 ini, yakni desentralisasi dan demokratisasi.
Desentralisasi, adalah upaya untuk merombak sistem pemerintahan yang hanya berpusat di Jakarta, atau yang hanya dikuasi Orde Baru (Orba) khususnya, dan memberikannya kepada daerah. Sedangkan demokratisasi dapat dimaknai sebagai upaya untuk mengembalikan kekuasaan dan kedaulatan kepada rakyat (peopel) yang pada masa kekuasan Orba, dibungkam dan ditenggelamkan.
Pasca reformasi 1998 itu, perjalanan untuk menyelesaikan dua agenda besar: desentralisasi dan demokratisasi berjalan cukup dinamis. Pada tahun 1999, pemilu yang tercatat sebagai pemilu pertama di Indonesia yang paling demokratis dilaksanakan. Dan menghasilakan Kiai Abdurrahman Wahid (Gus Dur), sebagai Presiden RI dan Megawati sebagai wakilnya yang dipilih oleh MPR. Dan, pada tahun 2000, sejumlah daerah juga diberi kebebasan untuk melaksanakan pilbup yang dipilih oleh DPRD setempat, salah satunya adalah Sumenep-Madura, yang menghasilkan Kiai Ramdan Siradj sebagai Bupati Sumenep.
Proses desentralisasi dan demokratisasi pasca reformasi ini memang berjalan cukup dinamis. Namun, tak dapat dimungkiri adanya banyak kekurangan dalam hal ini. Misalnya, dengan DPRD hasil Pemilu 1999 memiliki kendali yang lebih signifikan terhadap pemilihan kepala daerah atasan, seperti kewenangan untuk menolak atau menerima LPJ kepala daerah, yang selanjutnya bisa mengusulkan pemeberhentian kepala daerah kepada presiden, jika LPJ-nya ditolak, hal ini menurut Abdul Gaffar Karim memberi ruang dan kesempatan terhadap praktik suap-menyuap untuk keselamatan karir politik seorang kepala daerah, dengan kata lain, agar LPJ-nya diterima oleh DPRD (hlm 96).
Namun beruntung, pada tahun 2004 perubahan besar kembali terjadi dengan lahirnya UU baru tentang pemerintahan daerah serta perimbangan kekuatan pusat dan daerah (UU. No 32 dan 33) ditetapkan. UU ini lahir dengan semangat checks-and-balances, dalam hubungan antara eksekutif dan legislatif di daerah. Dengan hadirnya UU ini di tengah sistem pen-desentralisasi-an dan pen-demokratisasi-an yang belum maksimal, hal itu sedikit memberi angin segar bagi alam demokrasi Indonesia. Sebab, melalui UU itu, DPR tak lagi bisa mengusulkan pemberhentian kepala daerah kepada presiden dengan menolak LPJ-nya secara politis.
Sejak saat itu, eksekutif tak lagi bertanggung jawab pada legislatif; karenanya eksekutif tak lagi harus membuat laporan pertanggung jawaban yang di masa sebelumnya bisa ditolak dengan mudah oleh dewan, dengan konsekuensi politik yang serius bagi kepala daerah. Para kepala daerah kini hanya cukup membuat Katerangan Pertanggung Jawaban (LKPJ). Sejak saat itu pula, pemilihan kepala daerah tak lagi dilaksanakan oleh panitia yang dibentuk (oleh dan berada di dalam) DPRD. Melalui UU itu, Plikada di dikelola oleh KPU daerah yang sekaligus juga mengelola pemilu legislatif dan pemilu presiden dalam pelaksanaannya di tingkat lokal (hlm 102).
Konflik Ideologis
Sejauh itu, dua agenda besar reformasi, desentralisasi dan demokratisasi, di satu sisi secara langsung memang membawa angin segar dan perubahan besar pada tatakelola dan sistem pemerintahn Indonesia yang lebih demokratis. Namun pada sisi yang lain, harus diakui pula, dengan berjalannya proses demokratisasi yang cukup radikal ini, hal itu telah membawa Indoneasi pada konflik ideologis persis dengan konflik ideologis 1956-1959 yang melibatkan kekuatan politik  antara kelompok politik Islam di Jakarta dan orang-orang Minahasa terkait Piagam Jakarta.
Orang-orang Minahasa di Manado, yang mayoritas masyarakatnya adalah pemeluk Kristen-Protestan, sejak dulu memang sudah menolak kehadiran Piagam Jakarta ini melalui perwakilannya dalam siding BPKI, yakni A. A. Maramis. Karena itu, pasca reformasi 1998, tepatnya pada pada tahun 2000-an yang beberapa partai politik Islam seperti, PPP, PBB dan FPI berusaha kembali untuk mengembalikan Piagam Jakarta orang-orang Minahasa-Manado memberi kecaman keras atas hal itu.
Untuk mempertegas kecamannya itu, sebagai upaya menegur Jakarta, dibentuklah Kongres Minahasa Raya (KMR) yang dilaksakan pada 5 Agustus 2000, dua hari sebelum Sidang Umum (SU) MPR yang turut diwarnai oleh wacana pengembalian Piagam Jakarta itu.
Pada akahirnya KMR itu menghasilakn tiga poin deklarasi dan sebelas poin rekomendasi. Isyarat tentang separatisme; pemisahan diri dari Indonesia, muncul di poin deklarasi kedua: “…Jika keinginan untuk membatalkan komitmen proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 diluluskan atau bahkan dikompromikan sedikitpun, maka pada saat yang sama eksistensi keberadaan NKRI berakhir. Pada saat itu juga rakyat Minahasa terlepas dari komitmen ke-Minahasa-an dank e-Indonesian. Dengan demikian, maka rakyat Minahasa berhak menentukan nasibnya sendiri”.
Bahkan, Manado Post, selama beberapa hari sejak 6 Agustus juga mengeluarkan berita-berita dengan judul yang secara langsung mengonfirmasi hasil KMR itu. Misalnya, “Piagama Jakarta Diterima, Minahasa Merdeka” (06/8/2000), “Kawanua Sejagat Dukung Minahasa Merdeka” (09/8/2000), atau “Piagam Jakarta Diterima, Indonesia Bubar” (10/8/2000).
Namun, beruntung upaya pengembalian Piagam Jakarta dalam amandemen itu gagal. Sebab-sebab kegagalannya, konon karena ada lobi-lobi politik antara Pua Maharani (yang mengantarkan hasil KMR ke Jakarta kepada ketua MPR) dengan Amien Rais pada 9 Agustus di sela-sela acara siding tahunan.
Akan tetapi, sebagian pendapat mengatakan bahwa bukan lobi-lobi itu yang menyebabkan upaya pengembalian Piagam Jakarta gagal. Menurut Elson (2013) kegagalan itu lebih karena upaya pengembalian Piagam Jakarta tahun 2000 sudah gagal sejak dalam karakter gerakannya yang dangkal dan lebih demonstratif ketimbang subtansial. Sementara menurut Hosen (2007) dan Subekti (2007) kegagalan itu karena upaya pengembalian Piagam Jakarta hanya dididukung oleh PPP dan PBB dengan kekuatan yang hanya mencapai 71 kursi di MPR (hlm 178).
Begitulah Indonesia Pasca Reformasi 1998 dalam hasil penelitian Abdul Gaffar Karim, seorang akdemisi FISIPOL UGM yang menggunakan kacamata daerah (Sumenep dan Manado) untuk melihat proses politik pasca reformasi 1998. Dalam konteks Manado, karya Gaffar ini menawarkan banyak data menarik. Sebab, berkaitan erat dengan proses politik nasional.
Sementara dalam konteks Sumenep, buku ini tampak kehilangan sisi menariknya. Sebab hanya menarasikan proses politik elektoral daerah yang diperankan oleh para kiai pesantren. Tetapi, untuk melihat bagaimana proses politik di daerah, yang selama pada masa Orba mengalami Golkarisasi, data-data proses politik dari tahun 2000-an hingga 2005-an juga penting untuk dilirik.

Berita Terkait

Mendengarkan Maarten Hidskes
Sejarah, Psikologi, dan Eksistensial
Tuhan, Manusia, dan Alam
Emosi dan Kehilangan: Interpretasi dalam Seribu Wajah Ayah
Bermekaran Bersama Bunga Tulip dengan Puisi Surajiya
Keperibadian Tan Malaka dalam Kacamata Generatif Bourdieu
Pengembangan Diri dengan Upaya Merawat Emosi
Kisah Klasik Aristoteles tentang Seni Berbicara

Berita Terkait

Senin, 30 September 2024 - 22:55 WIB

Mendengarkan Maarten Hidskes

Kamis, 13 Juni 2024 - 00:07 WIB

Sejarah, Psikologi, dan Eksistensial

Minggu, 19 Mei 2024 - 05:53 WIB

Tuhan, Manusia, dan Alam

Rabu, 15 Mei 2024 - 10:39 WIB

Emosi dan Kehilangan: Interpretasi dalam Seribu Wajah Ayah

Senin, 13 Mei 2024 - 07:30 WIB

Bermekaran Bersama Bunga Tulip dengan Puisi Surajiya

Berita Terbaru

MA Nasy-Mut Candi Cetak Penulis Melalui Mimbar Akademik, Minggu 12/1/2025 (Foto: ist/nolesa.com)

Pendidikan

MA Nasy-Mut Candi Cetak Penulis Melalui Mimbar Akademik

Minggu, 12 Jan 2025 - 20:59 WIB

Mimbar

Akhir dari Presidensial Threshold

Selasa, 7 Jan 2025 - 05:10 WIB

Sekretaris BPBD Kabupaten Sumenep, Abd. Kadir (Foto: dok. pribadi)

Opini

Melibatkan Tuhan, Catatan Awal Tahun 2025

Kamis, 2 Jan 2025 - 20:23 WIB