Judul buku : Quranic Narrative and Sufi Hermeneutics: Rumi’s Interpretations of Pharaoh’s Character
Penulis. : Amer Latif
Penerbit : Proquest, Umi Dissertation Publishing
Tahun terbit : 2011
Tebal : 124
Perhatian terhadap penafsiran atau hermeneutika para ahli tafsir banyak yang mengarah kepada penafsiran eksoterik (zahir) daripada esoterik (batin). Penafsiran esoterik mayoritas digeluti oleh ahli kebatinan atau sufi, salah satu di antara mereka yakni Jalaluddin Rumi.
Rumi sendiri lebih identik dengan statusnya sebagai penyair daripada ahli tafsir namun pembacaannya terhadap al-Quran yang dituangkan dalam syair-syairnya sangat menarik dari segi ilmu-ilmu hermeneutika.
Salah satu kajian terhadap hermeneutika Rumi sebagai tokoh sufi dengan narasi Quran-nya dilakukan oleh Amer Latif dalam bentuk disertasi yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku. Ia menggunakan tokoh Firaun sebagai objek yang ditafsirkan atau diceritakan kembali oleh Rumi.
Kualitas Latif dalam mengulas Rumi dalam ranah hermeneutika memperoleh legitimasi dari program doktoral Stony Brook University pada tahun 2009. Adapun saat ini ia berstatus sebagai pengajar bidang agama dan filosofi di Marlboro College, Amerika Serikat.
Latif mengelaborasi beragam fitur penting terkait hermeneutika al-Quran Rumi khususnya ketika menceritakan kembali kisah Firaun. Kunci utama hermeneutika al-Quran Rumi menurut Latif terletak pada pemahaman mendalam akan bentuk teks dan maknanya. Rumi mengibaratkan bentuk dan makna dengan manusia di mana tubuh anak adam dipandang sebagai bentuk sedangkan jiwa mereka sebagai makna.
Dengan mengacu pada doa Nabi Muhammad akan penunjukkan segala sesuatu sebagaimana adanya dalam kalimat ( O Lord, show us things as they are!), Rumi kemudian sangat mementingkan makna dari setiap entitas termasuk teks al-Quran. Pemahaman akan makna al-Quran yang dimotivasi oleh beragam ayat yang meminta penggunaan ‘aql oleh manusia kemudian dilalui dalam dua mode utama yaitu imitasi (taqlid) dan verifikasi (tahqiq).
Pengetahuan imitatif diperoleh melalui budaya dan tradisi sedangkan pengetahuan verifikasi diperoleh dengan meyakini akan pengetahuan dasar manusia atas keesaan Allah yang tercermin dalam pengucapan kalimat syahadat.
Sebagaimana Rumi, dalam perkembangannya kemudian William Chittick dalam salah satu tulisannya juga membahas terkait pengetahuan imitasi atau transmisi dan intelektual. Ia meyakini bahwa pengetahuan verifikasi diperoleh lewat latihan olah pikiran dan pembersihan hati.
Dalam rangka usaha memahami al-Quran, Rumi melihat adanya hubungan erat antara pemahaman al-Quran dengan pemahaman diri. Ranah hermeneutika Rumi meyakini bahwa seseorang yang telah mampu memahami dirinya secara otomatis akan dapat mengetahui maksud teks Tuhan.
Oleh karena itu, syarat penerjemah al-Quran berpijak pada adanya penyatuan diri mereka dengan Tuhan sedangkan pengetahuan tentang Tuhan akan selalu bergantung pada pengetahuan seseorang akan dirinya. Salah satu contoh pemaknaan Rumi akan al-Quran yang dinilai Latif sebagai hasil pembacaan seseorang berdasarkan akan pengetahuan dirinya sendiri tercermin dalam surat al-Nasr.
Rumi dengan begitu kreatif memaknai kisah pertolongan Allah kepada Nabi Muhammad dengan seorang lelaki lemah yang berupaya menyelesaikan perjalanannya dengan pertolongan Allah di akhir perjalanan. Contoh tafsir singkat tersebut mencerminkan bahwa teks- al-Quran tidak hanya berisi narasi historis namun lebih jauh menggambarkan kemungkinan kejadian pembaca (verifier).
Bertolak dari metode hermeneutika Rumi, Latif kemudian mengulas bagaimana kisah Firaun dalam al-Quran diangkat sebagai objek pembacaan Rumi. Kehadiran Firaun diceritakan dalam al-Quran sejak masa Nabi Musa lahir dan hingga Firaun meninggal pada masa Nabi yang sama.
Firaun digambarkan sebagai sosok kejam, bengis dan banyak menumpahkan darah terutama bayi laki-laki demi melanggengkan kekuasannya. Beragam kisah seperti dialog Firaun dengan Musa di mana hermeneutika Rumi hendak menunjukkan bahwa Allah berupaya menunjukkan kebesaran-Nya melalui Musa kendati pada akhirnya tidak berhasil. Ketidakberhasilan ini berasal dari kungkungan keangkuhan Firaun selama hidupnya walaupun diam-diam ia juga meyakini kebenaran Tuhan Musa.
Keyakinan Firaun menurut Rumi tercermin dalam kisah adu kekuatan antara Musa dengan ahli sihir Firaun yang berujung pada berimannya ahli Sihir. Ucapan Firaun yang mempertanyakan keimanan ahli sihir pada dasarnya mengidentifikasi keimanan Firaun akan Allah jauh di dalam hatinya. Latif juga mengungkapkan bahwa keyakinan Rumi akan keimanan Firaun kepada Allah dapat dilihat dari kisah kematian Firaun yang beriman menjelang kematiannya di laut.
Menurut Latif, Rumi seolah hendak menyampaikan bahwa kisah Firaun yang disebutnya dengan narasi telling dan showing tanpa menggambarkan kejadian secara fisik sebagai upaya untuk memotivasi pembaca dalam pencarian makna sebenarnya.
Rumi mengklaim bahwa keimanan tersebut tidak akan serta merta datang tanpa didahului oleh keimanan sebelumnya. Terlebih Firaun juga mempercayai akan perjanjian primordial Alast antara dia dengan Allah sebelum ia dilahirkan ke bumi.
Akhirnya, metode penceritaan Rumi terhadap kisah Firaun dalam al-Quran sangat bergantung terhadap bagaimana seseorang memahami dirinya sendiri.
Menurut Latif, Rumi seolah hendak menyampaikan bahwa kisah Firaun yang disebutnya dengan narasi telling dan showing tanpa menggambarkan kejadian secara fisik sebagai upaya untuk memotivasi pembaca dalam pencarian makna sebenarnya.
Terlebih lagi, Rumi hendak menunjukkan bahwa kisah Firaun dapat terjadi pula kepada mereka sendiri dan hal ini akan terjadi jika pembaca memahami dengan baik hakikat dirinya. Apa yang dilakukan Rumi yang mana ia selalu melibatkan persepsi pembaca akan setiap teks menunjukkan signifikansi yang penting sebab pengetahuan pembaca menjadi penting dalam hal ini akan dirinya sendiri.
Tidak terbatas pada kisah al-Quran, karya Rumi dalam bidang lainnya pun demikian adanya. Penggunaan karakter Firaun yang seolah menunjukkan ‘Firaun adalah kita” memerlukan pembacaan dan pemahaman diri yang serius untuk bisa sampai di sana.