Buku yang berjudul Tan Malaka dan Sosiologi Generatif ini dicetuskan oleh A Zahid, dari hasil penelitiannya melalui pembedahan analitis dalam menguak konsep pemikiran dan pergerakan Tan Malaka, yang berlandaskan pada teori “Generatif” Pierre Bourfieu berkenaan dengan habitus yang kemudian berkembang. Penggunaan teori ini, memang sengaja disuguhkan kepada para pembaca agar menfokuskan arah berpikir tentang proses kehidupan Tan Malakan dalam satu perspektif sosiologis yang telah terkemas rapat.
Selain itu, buku ini juga merupakan sebuah telaah atau kajian kepribadian Tan Malaka yang kemudian menunjang pola pemikirannya ke depan, dengan menggunakan teori generatif Bourdieu. Karena dengan demikian, pembaca akan diperlihatkan dengan sebuah realitas bahwa hubungan kompleks antara habitus, modal, dan praktik sosial memainkan peran penting dalam membentuk identitas sosial individu dan kelompok, serta dalam membentuk struktur sosial yang lebih luas.
Teori generatif Bourdieu hakikatnya mendasarkan pada tujuan membentuk habitus baru serta upaya merealisasikannya dalam praktik sosial. Namun dengan catatan, bahwa habitus baru bukan semata-mata diciptakan karena terindikasi kekeliruan habitus lama, melainkan terjadinya perkembangan secara dinamis yang menduduki ranah ketidaksadaran seorang agen. Menurut Bordieu habitus adalah struktur mental atau kognitif seseorang yang berhubungan dengan dunia sosial. Melalui habitus, seseorang akan dibekali dengan serangkaian skema internal yang berguna untuk mempersepsi, memahami, mengapresiasi, dan mengevaluasi dunia sosial (hal. 75). Teori ini memungkinkan kita untuk memahami bagaimana budaya, kekuasaan, dan sosialitas saling terkait dan berinteraksi dalam masyarakat.
Judul Buku: Tan Malaka dan Sosiologi Generatif Bourdieu
Penulis: A. Zahid
Penerbit: Cantrik Pustaka
Tebal : 192 hlm; 14 x 21 cm
Cetakan: Pertama, Mei 2021
ISBN : 978-602-0708-80-5
Konsep relasi antara habitus, modal, dan praktik sosial memainkan peran sentral dalam memahami bagaimana individu dan kelompok berinteraksi dalam masyarakat. Habitus yang menjelma sebagai pola pemikiran, perilaku, dan pandangan dunia yang terinternalisasi oleh individu melalui pengalaman dan sosialisasi sepanjang hidup mereka. Sedangkan modal mengacu pada sumber daya yang dimiliki individu, baik dalam bentuk ekonomi, budaya, atau sosial. Modal ini memengaruhi akses individu ke peluang dan sumber daya dalam masyarakat.
Praktik sosial, di sisi lain, adalah tindakan-tindakan yang dilakukan individu dan kelompok dalam kehidupan sehari-hari mereka. Praktik-praktik ini mencerminkan hubungan kompleks antara habitus dan modal. Habitual membentuk cara individu memahami dan merespons dunia sosial, sementara modal membatasi atau memungkinkan apa yang dapat mereka lakukan dalam praktik-praktik tersebut dengan perantara 4 Modal, diantaranya Modal Ekonomi, Modal Budaya, Modal Simbolik, dan Modal Sosial.
Contohnya, secara biografis Tan Malaka memenuhi apa yang telah Bourdieu terangkan sebagai dasar mengarungi konsepsi sosial. Pertama, dalam Modal Budaya Tan Malaka lahir di tengah-tengah masyarakat Minang yang mempunyai kultur keislaman yang kental serta menganut berbagai idealisme kiri. Sehingga habitus lama dalam disposisi pola pikir dan ideologi Tan Malaka perlahan berkembang dari yang sekadar cerdas-kritis dan berideologi Islam menjadi cerdas-kritis-revolusioner yang berideologikan Islam-Komunisme modern-Sosialisme.
Kedua, dalam Modal Simbolik. Tan Malaka merupakan seorang keturunan bangsawan yang daripadanya tersematkan gelar “Datuk” yang memungkinkannya untuk mengenyam pendidikan kolonialis pada waktu itu. Berawal dari sinilah saksi bisu pertemuan Tan Malaka dengan Horensma (guru) yang menjembatani Modal Sosial yang lebih berpengaruh pada tahapan pekembangannya ke depan.
Ketiga, dalam Modal Ekonomi. Atas pertemuannya dengan Horensma di Kweekschool, Tan Malaka mendapatkan bala bantuan dana oleh Yayasan Engku Found melalui perantara Horensma sebagai wujud dukungan kepada Tan Malaka untuk menyerap ilmu sebanyak-banyaknya di Belanda guna membawanya ke tanah air dalam menciptakan perubahan nyata terlepas dari statusnya sebagai anak bangsawan.
Keempat, dalam Modal Sosial. Pada aspek ini memang benar-benar mempengaruhi terhadap eksistensi Tan Malaka sepanjang riwayat hidupnya, sampai pada puncak pemikirannya yang tertuang dalam Madilog. Hal itu tak luput dengan tahapan yang diseberanginya semenjak menyelam ke dunia pendidikan kolonial baik di Kweekschool (dalam negeri) maupun di Belanda sendiri. Namun yang paling krusial terhadap bagian ini, Tan Malaka termasuk sebagai salah satu inisiator terbentuknya PKI setelah SI membentuk dua kubu (SI-M & SI-P) dan sebagai anggota Kongres Komintern ke-4 yang dengan membawa pandangan ekstrim bahwa komunisme sebenarnya memiliki esensi yang sama dengan Pan-Islamisme, yakni mendukung penuh atas kesetaraan hak yang menjunjung tinggi kemanusiaan tanpa embel-embel Imperialisme-Kapitalisme. Pendangan tersebut terbentuk sebab bagi Tan Malaka “Komunisme bukanlah tujuan, tetapi hanya sebagai alat”.
Melalui 4 Modal yang dikemukakan Bourdieu tersebut, habitus Tan Malaka mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Seperti dalam disposisi Ideologi, yang pada tahap awal merefleksikan segala tindakan dan pemikirannya hanya dengan Islamisme, bertambah luas menjadi Islamisme, Komunisme Modern, Sosialisme, serta Nasionalisme yang berkembang seiring pengetahuannya. Sementara dalam diposisi pola pikir, Tan Malaka mengalami perkembangan selangkah lebih maju dengan konsep berpikirnya yang kritis, Revolusioner (mengadopsi paham lenis “Marxisme-Leninisme”), Materialis, Dialektis, serta Logis. Sehingga dapat terumuskan, bahwa dari konsep pola pikir inilah, yang kemudian menunjang Tan Malaka dalam pengambilan keputusan secara pertimbangan yang matang dilengkapi dengan wawasan yang luas. Hal ini dapat kita lihat melalui peristiwa pemberontakan Madiun 1948 oleh PKI tanpa mempertimbangkan terlebih dahulu saran atau keputusan Tan Malaka sehingga alhasil upaya tersebut mengalami kegagalan yang menjadi tragedi kelam terhadap sisi internal PKI pada kala itu.
Demikian, membaca buku ini mengajak pembaca untuk kembali mengingat sejarah dan untuk memunculkan ke permukaan nama pahlawan kesepian Tan Malaka yang selama ini tidak sepopuler Founding Fathers lainnya. Kehadiran buku ini, secara tidak langsung merupakan sebuah perlawanan terhadap pembenaman sejarah yang dilakukan pemerintah Orde Baru dalam satuan kurikulum, terlepas dari perjuangannya dalam memerdekakan Indonesia 100% dengan rela melampaui sebelas negara di dua benua melaui proses pengasingan dan pengembaraan.
Buku ini sangat potensial dalam memberi kontribusi penuh terhadap diskursus pola pemikiran Tan Malaka yang hingga detik ini masih bergelora dan relevan untuk dielaborasikan, mengingat keadaan bangsa yang kian terpuruk akibat dekadensi moral dan sensivitas sosial. Selain itu, dalam membaca setiap lembaran buku ini, maka secara perlahan akan mulai terlihat sebuah realitas sosial singkat sekaligus berbagai stigma negatif yang melekat pada diri Tan Malaka sampai pada titik kesadaran, bagaimana hal ini kemudian terjadi hingga terbunuh oleh bangsanya sendiri.