Oleh Farisi Aris*)
Suatu malam, di salah satu warung kopi, duduklah sekelompok mahasiswa: bertukar cerita, ngobrol santai.
Di antara mereka, ada satu mahasiswa yang bercerita penuh semangat, riang, dan gembira.
Ekspresinya, persis orang yang sedang menceritakan pencapaian-pencapaian besar yang diraih dalam perjalanan hidupnya.
Saya duduk tepat di kursi sebelahnya. Apa yang diceritakannya masuk tanpa ijin ke telinga saya. Saya pun menjadi tahu apa yang diceritakannya.
Apa yang diceritakan sungguh lucu. Alih-alih menceritakan prestasi, yang diceritakan adalah aib hidupnya; tentang yang amoral, yang dilakukannya.
Katanya, waktu menjadi orang nomor wahid di kampusnya, sang mahasiswa itu ia berhasil menggelapkan dana kampus. Karena itu, ia bercerita dengan penuh bangga.
Nilainya bukan main. Puluhan juta. Bukan hanya satu dua tiga juta.
Ini bukan cerita pertama yang saya tahu. Di tahun-tahun sebelumnya, cerita semacam ini sudah akrab di telinga saya.
Bahkan, dulu, dulu sekali, saya sempat berkata seperti ke salah satu kawan: ”Andai di kampus ada lembaga anti-rasuah seperti KPK, yang mengaudit seluruh anggaran dana yang dialirkan ke organisasi-organisasi ekstra-kampus, maka akan ada banyak mahasiswa-mahasiswa yang akan menjadi tersangka korupsi.”
Itu andai-andai saya yang ”tidak serius”, namun ”serius”.
Tidak serius, karena tidak mungkin kampus mendirikan lembaga kampus yang berspesifikasi di bidang audit anggaran (seperti KPK) yang mengalir ke organisasi ekstra.
Serius, karena pada faktanya, mahasiswa-mahasiswa koruptor itu memang benar adanya.
Tesis klasik Lord Acton (1833 – 1902) bisa kita pakai untuk melihat bahwa mahasiswa koruptor itu memang benar-benar ada (atau banyak bahkan).
Menurut Acton, Power tends to corrupt. Terjemahan bebasnya: di mana ada kekuasaan, di situlah benih-benih korupsi tumbuh. Atau, di mana ada lumbung padi, di situlah pasti ada tikus.
masih mahasiswa, kenapa sudah berkelakuan sama dengan Harun Masiku dkk? Sudah begitu, bangga lagi.
Jadi, mengikuti jalan pikiran Acton itu, di hadapan kekuasaan, semua orang memiliki potensi yang sama untuk menjadi koruptor. Dan, mahasiswa secara terkecuali.
Namun, terlepas dari semua itu, pertanyaan fundamental yang mesti dijawab: masih mahasiswa, kenapa sudah berkelakuan sama dengan Harun Masiku dkk? Sudah begitu, bangga lagi.
Harun Masiku memilih tidak mengakui kejahatan kekuasaan yang dilakukannya. Karena itu, ia memilih menjadi buron (sampai sekarang) ketimbang menyerahkan diri ke KPK atau ke penegak hukum.
Mahasiswa koruptor, kok justru bangga dan mengumbar ceritanya dari meja ke meja lainnya. Seolah-olah itu adalah prestasi hidup yang patut dibanggakan.
Baru-baru ini, publik dihebohkan dengan kasus korupsi besar-besaran yang dilakukan Surya Darmadi. (Orang terkaya ke-28 di Indonesia versi majalah Forbes tahun 2018. Dengan total kekayaan, Rp 20, 73 triliun).
Dalam laporan banyak media, tersangka kasus korupsi lahan sawit itu dianggap merugikan negara sebesar Rp 78 triliun. Korupsi terbesar yang pernah terjadi dalam sejarah Indonesia.
Namun, meski demikian, ia masih sempat ngeles, tidak mengakui kejahatan kekuasaan yang dilakukannya. Bahkan ia mengaku kaget dengan total kerugian negara yang disebutkan.
Persoalan kaget dan tidak mau mengakui, itu kira saya wajar. Manusiawi. Karena semua itu adalah aib –yang jika bisa orang lain tidak boleh tahu.
Karena itu, jika sekelas Surya Darmadi, salah satu koruptor kelas kakap Indonesia, memiliki kesadaran bahwa aib itu harus disembunyikan, mengapa banyak mahasiswa korup justru mengumbarnya?
Jangan-jangan, demikianlah mental mahasiswa yang katanya agen of change itu?! Senang-bahagia dengan kejahatan kekuasaan yang dilakukannya.
Alamak!
*)Farisi Aris, penulis lepas, mukim di Yogyakarta