Setelah Muhaimin Iskandar (Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa), Airlangga Hartanto (Ketua Umum Partai Golongan Karya) dan Zulkifli Hasan (Ketua Umum Partai Amanat Nasional) melontarkan wacana penundaan Pemilihan Umum 2024, kini giliran Luhut Binsar Pandjaitan (Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi) yang gencar melakukan lobi politik guna mencari koalisi dalam mendukung penundaan Pemilihan Umum 2024.
Luhut mengklaim bahwa 110 Juta pengguna media sosial Indonesia menginginkan masa jabatan presiden Joko Widodo di perpanjang (Tempo 2022). Selain klaim tersebut tidak dapat dipertanggung jawabkan, sesumbar Luhut tersebut tentunya menghianati konstitusi, yaitu pasal 7 Undang-Undang Dasar 1945 perihal batas masa jabatan presiden.
Terlepas apakah Luhut tahu tentang isi ataupun alasan penting di balik pembatasan masa jabatan presiden, pejabat sekelas menteri harusnya tahu soal cara main bernegara (role of law), sesumbar tersebut tentunya tak pantas untuk diucapkan oleh seorang pejabat negara.
Pejabat yang tak beretika adalah pejabat yang menabrak norma bernegara. Undang-Undang Dasar 1945 sebagai norma dasar bangsa Indonesia seharusnya menjadi nilai yang tidak boleh di sangkal oleh siapa pun, apalagi oleh seorang Luhut yang hanya menjabat sebagai pembantu Presiden.
Menyangkal konstitusi tanpa di dasari oleh kebutuhan rakyat banyak adalah tindakan kejahatan, sebab hal tersebut akan berimplikasi kepada kehidupan orang banyak.
Sesumbar Luhut tentang 110 Juta pengguna media sosial Indonesia yang menginginkan Presiden Jokowi diperpanjang masa jabatannya, dapat dipastikan hoax. Sebab, selain hal tersebut tidak dapat diverifikasi, sudah menjadi rahasia umum apabila dunia maya (media sosial) di Indonesia adalah sarangnya hoax dan banyak diisi oleh para buzzer pemerintah.
Sehingga mengambil variabel media sosial dalam mengargumenkan perpanjangan masa jabatan presiden adalah kecacatan berpikir yang sangat kronik. Sehingga, butuh kiranya pejabat publik seperti Luhut untuk menginsafi dan menarik sesumbarnya tentang perpanjangan masa jabatan Presiden Joko Widodo.
Penundaan Pemilihan Umum adalah Kejahatan
Pembatasan masa jabatan Presiden pada dasarnya merupakan antitesa dari sistem politik yang otoriter. Dengan adanya pembatasan masa jabatan presiden, selain semua pihak berkesempatan untuk menjadi bagian dari pelayan rakyat, pembatasan masa jabatan juga bertujuan untuk memastikan bahwa sistem politik yang kita anut merupakan sistem yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat.
Karena, selain rakyat Indonesia telah jenuh berada dalam rezim otoriter Orde Baru, rakyat Indonesia juga menginginkan bahwa tidak boleh ada nama satu sosok atau tokoh yang lebih tinggi dari pada bangsanya. Dengan kata lain, tak ada yang boleh berkuasa selain rakyat itu sendiri.
Perpanjangan masa jabatan presiden (meskipun masih berada dalam wacana) seperti yang di-sesumbar-kan oleh Luhut terlihat sebagai upaya suatu pihak untuk mendominasi pihak lainnya. Apabila usul tersebut betul-betul berasal dari Luhut, maka fenomena yang tertangkap adalah upaya rezim untuk mempertahankan kekuasaannya dengan segala cara.
Perlu diketahui, Luhut merupakan salah-satu dari sekian pembantu Presiden yang tidak memiliki kendaraan politik (partai politik) untuk berkuasa. Artinya, nasib Luhut (secara politik) sejatinya ada ditangan Joko Widodo. Berakhirnya masa jabatan Presiden Joko Widodo maka berakhirlah masa jabatan Luhut Binsar Pandjaitan.
Harap-Harap Cemas Masa Perpanjangan Presiden
Oleh karena nasib Luhut ada pada masa jabatan Presiden Joko Widodo, maka bukan barang aneh apabila Luhut sangat ngotot untuk memperpanjang masa jabatan sang Presiden. Nyawa politik yang di ujung tanduk dan belum adanya kendaraan politik yang dimilikinya untuk kembali berkuasa menjadi penyulut api Luhut dalam melakukan kejahatan terhadap konstitusi.
Kuncinya ada pada Presiden dan Parlemen (eksekutif dan legislatif), isu perpanjangan masa jabatan presiden apakah hendak di jadikan satu wacana belaka atau hendak di naikkan menjadi praktik politik, semuanya ada di Presiden dan Legislatif.
Sementara itu, apabila isu perpanjangan masa jabatan Presiden hanya sebatas wacana atau isu belaka, sebenarnya aib apakah yang sedang di tutup-tutupi oleh rezim? Apakah soal harga minyak goreng yang melambung ataukah aib soal Ibu Kota Negara (IKN) baru yang sedang ditinggal oleh para investor?