Menyoal Rendahnya Keterwakilan Perempuan

Redaksi Nolesa

Kamis, 22 September 2022

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh Farisi Aris*


Keterwakilan perempuan di parlemen terus mengalami peningkatan. Meski sempat mengalami penurunan, namun persentase penurunannya tidak seberapa, tidak sampai 1 persen.

Peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen itu mula-mula bisa dilihat dari hasil Pemilu 1999, di mana saat itu persentase keterwakilan perempuan baru mencapai 9 persen. Kemudian naik menjadi 11,8 persen pada Pemilu 2004, dan kembali naik menjadi 17,86 persen pada Pemilu 2009.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pada Pemilu 2014, angka itu mengalami penurunan, dari 17,86 persen (hasil Pemilu 2009), turun menjadi 17,32 persen. Namun, pada Pemilu 2019, persentasenya kembali naik, dari 17,32 persen (hasil Pemilu 2014), naik menjadi 20,52 persen.

Masih rendah

Akan tetapi, meski demikian, persentase keterwakilan perempuan itu masih terbilang rendah. Sebab, keberadaan angka 20,52 persen itu belum mewakili populasi kelompok perempuan di Indonesia yang mencapai 135.576.278 jiwa.

Karena itu, wajar bila IPU (2022), yang mengukur tingkat proporsi keterwakilan perempuan di 193 negara di dunia, menempatkan Indonesia pada peringkat ke 105, dengan 21,5 persen proporsi keterwakilan perempuan di parlemen.

Posisi teratas di tempati oleh Rwanda, dengan tingkat keterwakilan perempuan sebanyak 61,3 persen. Di bawahnya ada Kuba, 61,3 persen, Nikaragua 50,6, persen, dan serta Meksiko dan Uni Emirat Arab masing-masing 50 persen.

Ironisnya, rendahnya keterwakilan perempuan di parlemen itu terjadi tidak hanya di tingkat nasional, tetapi juga di tingkat lokal. Di tingkat lokal perhitungannya justru malah lebih rendah ketimbang angka keterwakilan perempuan di tingkat nasional.

Baca Juga :  Merawat Koeksistensi Islam-Kristen

Pada Pemilu 2019, dari total 2.207 kursi DPRD provinsi yang diperebutkan, hanya ada 391 (17,72%) kursi yang diperoleh caleg perempuan. Sisanya, 1.816 (82,28%) dimenangkan oleh caleg laki-laki.

Sementara di tingkat DPRD kabupaten/kota, dari 17.340 total kursi yang diperebutkan, hanya 2.645 kursi yang berhasil dimenangkan oleh caleg perempuan. Sisanya dimenangkan caleg laki-laki.

Persoalan lama

Rendahnya persentase keterwakilan perempuan di parlemen ini sebenarnya adalah persoalan lama. Kita sudah mencoba menyelesaikannya dengan berbagai langkah dan kebijakan. Melalui penerapan afirmative action dan zipper ziztem, misalnya.

Secara normatif, afirmative action adalah kebijakan afirmatif yang mewajibkan setiap partai politik untuk mencalonkan minimal 30% perempuan dalam setiap pemilu legislatif. Kebijakan ini diberlakukan sejak Pemilu 2004 – sekarang.

Sementara zipper system adalah bentuk pengewajantahan dari kuota gender 30% itu sendiri. Zipper system bekerja dengan menempatkan nomor urut kandidat laki-laki selang-seling dengan nomor urut kandidat perempuan.

Misalnya, nomor urut 1 diisi oleh kandidat laki-laki, maka nomor urut 2, 4, 6, dan seterusnya harus diisi oleh kandidat perempuan.

Sebaliknya, jika nomor urut 1 diisi oleh kandidat perempuan, maka nomor urut 2, 4, 6 diisi oleh kandidat laki-laki.

Dua kebijakan itu hadir sebagai upaya untuk mendorong keterwakilan perempuan di parlemen agar bisa mencapai persentase idealnya.

Akan tetapi, mengapa persoalan keterwakilan perempuan itu sampai kini masih menjadi persoalan yang tidak menemukan titik penyelesaian?

Lemahnya daya dukung partai

Partai politik memegang peran kunci dalam setiap pemilu. Bukan hanya berfungsi sebagai kendaraan politik, keberadaannya juga menjadi pintu utama perihal pencalonan seorang calon.

Baca Juga :  Titik Krusial; Jangan Paksakan Anakmu untuk Menjadi Seperti Kamu

Pasal 172 maupun Pasal 234 UU No. 7/2017 tentang Pemilu menunjukkan luasnya kewenangan partai politik dalam menyeleksi serta menetapkan caleg, termasuk di dalamnya dalam menentukan caleg perempuan yang akan ikut berkompetisi.

Dengan demikian, segera menjadi jelas bahwa partai politik memiliki peran besar dalam upaya mendorong keterwakilan perempuan. Namun, sayangnya, daya dukung partai terhadap keterwakilan perempuan itu masih lemah.

Adanya kebijakan afirmative action yang mewajibkan partai politik untuk mencalonkan minimal 30% perempuan dalam setiap kali pemilu, belum sepenuhnya dijadikan kewajiban moral yang mesti dipenuhi oleh partai politik.

Bahkan, terkadang, kewajiban itu sekadar dilaksanakan secara formalistis untuk memenuhi syarat administrasi agar bisa ikut pemilu dan/atau agar tidak dikenakan sanksi. Bukan benar-benar untuk mendorong keterwakilan perempuan.
Konon, mengapa bisa demikian karena katanya partai sering kali kesulitan mendapatkan calon perempuan.

Sehingga, dengan begitu tak ada jalan lain bagi partai kecuali memenuhi kuota gender itu secara formalistis belaka guna menghindari sanksi.

Dalam hemat penulis, alasan itu sebenarnya tak lebih dari alibi partai saja. Sebab, jika benar selama ini partai mengalami kesulitan mencari sosok perempuan untuk dicalonkan, bukankah partai bisa melakukan rekrutmen politik secara maksimal.

Dalam hal kepemimpinan, perempuan memiliki potensi yang sama dengan laki-laki.

Karena itu, dengan hal itu, sebenarnya ada banyak perempuan-perempuan potensial yang bisa dicalonkan oleh partai, semuanya tergantung bagaimana partai politik merekrut, mendidik, dan melakukan kaderisasi.

Baca Juga :  Indonesia Negara Bersama

Karena itu, partai politik harus membenahi kebolongan-kebolongan ini. Kelompok perempuan memiliki perasaan politiknya sendiri, yang hal itu tidak bisa diwakili oleh kelompok laki-laki.

Selain itu, kelompok perempuan juga memiliki banyak agenda penting yang mesti dituntaskan melalui berbagai kebijakan politik, yang di tengah dominasi legislator laki-laki, belum tentu kepentingan-kepentingan itu akan diakomodasi.
Jangankan diakomodasi, disadari saja mungkin tidak.

Karena itu, dominasi politik laki-laki harus diakhiri, dan kita menuju kesetaraan politik yang hakiki, demokratis, dan berkeadilan untuk semua kelompok berkepentingan yang ada.

Demokrasi adalah soal bagaimana berbagai kelompok kepentingan bisa bergerak secara setara dan menghasilkan segala sesuatunya secara setara. Dominasi politik adalah sesuatu yang sama sekali tidak dibenarkan dalam doktrin demokrasi.

Di Indonesia, budaya patriarki memang masih kuat. Dan itu berefek buruk pada keterwakilan perempuan.

Namun, jika partai politik memiliki daya dukung yang kuat terhadap keterwakilan perempuan, budaya patriarki itu bukanlah masalah yang serius.

Sebab, dengan senantiasa partai politik hadir dan bergerak di garda terdepan mendorong keterwakilan perempuan, semuanya akan selesai.

Sebab, senyatanya, budaya patriarki itu masih berkembang kuat di dalam tubuh partai politik itu sendiri. Bukan pada diri masyarakat secara umum.

Paradigma masyarakat akan pentingnya keterwakilan perempuan di dunia politik dan parlemen sudah terbuka lebar, hanya di partai politiklah yang sampai kini masih samar-samar.


*) Penulis lepas, mukim di Yogyakarta

 

Berita Terkait

Halalbihalal
Ciri-ciri Tua yang Sering Tidak Disadari Oleh Kita
Sejarah dan Perkembangan Hari Otonomi Daerah
Selamat Jalan Paus Fransiskus; Cahaya Kasih yang Tak Pernah Padam
Kesalehan Sosial: Sebuah Catatan Akhir Ramadan
Membangun Ruang Sosial Lansia di Era Digital
Membenahi Institusi Kepolisian Kita
Hikmah Ramadan: Sabar dan Takdir

Berita Terkait

Senin, 28 April 2025 - 20:03 WIB

Halalbihalal

Jumat, 25 April 2025 - 10:23 WIB

Ciri-ciri Tua yang Sering Tidak Disadari Oleh Kita

Jumat, 25 April 2025 - 07:30 WIB

Sejarah dan Perkembangan Hari Otonomi Daerah

Selasa, 22 April 2025 - 16:51 WIB

Selamat Jalan Paus Fransiskus; Cahaya Kasih yang Tak Pernah Padam

Sabtu, 29 Maret 2025 - 20:12 WIB

Kesalehan Sosial: Sebuah Catatan Akhir Ramadan

Berita Terbaru

Presiden Prabowo ditemani Mentri Amran di sebuah lahan pertanian (foto: ist)

Nasional

Di Era Presiden Prabowo, Serapan Beras Tertinggi dalam 58 Tahun

Selasa, 13 Mei 2025 - 07:32 WIB

for NOLESA.COM

Opini

Pesantren di Era Digital: Sebuah Catatan Sederhana

Minggu, 11 Mei 2025 - 11:04 WIB

Bupati Sumenep, Dr. H. Achmad Fauzi Wongsojudo menerima SK PAW dari Ketua MUI Jatim, KH. Hasan Mutawakil Alallah di Kantor MUI Jatim, Sabtu, 10/5/2025 (foto: ist)

Daerah

Bupati Sumenep Terima SK PAW

Sabtu, 10 Mei 2025 - 19:46 WIB