Belakangan ini, berbagai wacana dan kebijakan politik negara semakin menunjukkan bahwa kepentingan dan aspirasi rakyat tidak lagi menjadi landasan utama dalam merumuskan sebuah kebijakan politik.
Hal itu bisa dilihat dari berbagai contoh, mulai dari lahirnya UU Cipta Kerja, UU IKN, revisi UU KPK, dan terbaru revisi UU PPP –yang dilakukan dengan mengabaikan aspirasi dan masukan publik.
Bak kereta yang melaju dengan kencang, mesin kekuasaan politik melibas kepentingan dan aspirasi rakyat seperti barang tak berguna. Jauh-lurus menatap ke depan, namun yang diperhatikan hanya kepentingan elite.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Rakyat dibiarkan berbicara dan menyatakan pendapat politiknya (seolah-olah demokrasi masih bekerja), namun sebuah kebijakan yang telah menjadi kesepakatan menguntungkan antar-elite tetap tak berubah sedikit pun.
Sementara serangkaian kebijakan penting dan sangat dibutuhkan oleh publik, sebut saja RUU PKS (kini telah sah menjadi UU TPKS), sedikitnya membutuhkan waktu sepuluh tahun untuk disahkan.
Ironisnya lagi, sudah begitu, eksistensi rakyat juga rentan dipolitisasi, dijadikan alat legitimasi kehendak politik kekuasaan yang sama sekali bukan keinginan dan kehendak rakyat.
Yang paling anyar terkait kasus politisasi suara rakyat ini adalah wacana penundaan pemilu dan isu penambahan masa jabatan presiden yang memancing kemelut politik baru-baru ini.
Dalam wacana yang digerakkan dan dilontarkan sejumlah elite besar itu—dari ketua partai hingga menteri—sangat terlihat jelas bagaimana suara rakyat dipolitisasi, semata untuk melanggengkan kekuasaan politik.
Dari adanya klaim big data hingga ‘momentum membangkitkan ekonomi’ nyatanya tak lebih dari sekadar wacana palsu yang mengatasnamakan rakyat demi mempertahankan tahta politik. Semuanya tak berdasar.
Seperti komoditas
Kenyataan dan fakta-fakta politik di atas, dengan jelas menunjukkan bahwa kini, rakyat tak ubahnya “komoditas” bagi para elite yang dengan gampangnya dimainkan sesuka hati, sesuai hasrat dan selera politik elite kuasa.
Para Dewan dan para pemegang kekuasaan politik, alih-alih mewakili rakyat di kursi pemerintahan negara, yang ada justru mereka mengkhianati rakyat itu sendiri selaku pemberi mandat.
“Atas nama rakyat”, berkali-kali kita dengar dari lisan para Dewan dan pemangku kepentingan. Namun, sebanding dengan kata-kata itu diucapkan, sebanyak itu pula kekecewaan demi kekecewaan rakyat kita saksikan.
Berkali-kali rakyat dirugikan dengan sejumlah kebijakan negara, namun kebijakan-kebijakan selanjutnya juga masih kembali merugikan rakyat. Rakyat, seperti kata pepatah: “sudah jatuh ketiban tangga pula.” Rakyat tak berdaya.
“Bencana-bencana” politik yang bersumber dari kebijakan negara silih berganti menghimpit kehidupan rakyat. Sementara para elite pemegang otoritas dengan penuh kegembiraan menikmati “surga politik” kebijakan negara.
Negara, yang seharusnya menjadi pelindung dan penyokong kehidupan rakyat yang sejahtera dan berkeadilan, di tangan elite kuasa justru kekuasaan negara malah menjadi mesin pengisap darah rakyat.
Rakyat, yang terengah-engah menuju kebangkitan ekonomi akibat badai krisis pandemi, para Dewan dan pemangku kepentingan justru sibuk memuaskan syahwat-syahwat politiknya sendiri.
Semakin menjauh dari hakikat
Semakin dewasa kita dalam bernegara, seharusnya kita semakin dekat dengan hakikat negara itu sendiri. Namun, kenyataan di atas memperlihatkan bahwa kita semakin menjauh dari hakikat negara yang sesungguhnya.
Jika menurut Thomas Hobbes (1588 – 1679) hakikat negara itu ada adalah untuk menjadi pelindung bagi semua, kini hakikat itu telah mengalami distorsi dan pengaburan makna. Jauh dari yang kita cita-citakan.
Atau, jika menurut John Locke (1632 – 1704) hakikat negara adalah kontrak sosial (social contrac), maka kini kesepakatan-kesepakatan dan kontrak-kontrak itu hanya terjadi di tataran elite, rakyat tidak diikutsertakan.
Sehingga kebijakan-kebijakan yang dilahirkannya pun pincang, bermasalah dan tidak berkeadilan. Atau, bahkan, juga bertentangan dengan semangat kenegaraan kita yang berdasarkan Pancasila.
Padahal, sebagai pemegang kedaulatan dan sekaligus objek kebijakan negara, rakyat seharusnya sepenuhnya diikutsertakan dalam pengambilan kebijakan. Diperhatikan suaranya, diakomodasi kepentingan-kepentingannya.
Karena itu, berangkat dari kenyataan itu, tak heran bila kini muncul banyak pesimisme politik bahwa, negara tak lagi menjadi tempat aman dan nyaman bagi semua. Kebijakannya pun tak bisa diharapkan.
Sebab, pada faktanya, peran dan fungsi perlindungan serta pelayanan yang dimiliki negara melalui politik kebijakan telah dikooptasi dan dibajak oleh elite kuasa, oligarki politik, dan pemburu rente.
Sejumlah kebijakan-kebijakan yang dilahirkan oleh negara, seperti yang disebutkan di muka, alih-alih mengakomodasi kepentingan rakyat secara utuh, justru kebijakan-kebijakan itu hanya menguntungkan elite.
Pengambilan keputusan-kebijakan negara dengan kesepakatan bersama tak lagi menjadi pedoman politik. Semuanya dilakukan secara semena-mena dengan mengabaikan aspirasi rakyat dan melindungi kepentingan elite.
Jika pada rumusan hierarkis-filosofis negara menempatkan “kepentingan rakyat” pada posisi tertinggi, maka kini yang menempati posisi tertinggi itu adalah elite kuasa degan segala kepentingan dan kekuasaannya.
Kembali pada konstitusi
Dalam diskursus negara modern, hakikat negara itu telah termanifestasi dalam sebuah konstitusi, UUD 1945. Keberadaan UUD 1945, adalah role model bagi negara dalam mengambil kebijakan politik.
Di dalamnya, hakikat negara dirinci menjadi banyak poin. Namun, dari sekian pasal dan ayat yang ada dalam UUD 1945, pada intinya adalah memajukan kehidupan rakyat, menuju dan menjadi masyarakat madani.
Karena itu, sebagai manifestasi dari hakikat negara, sudah seyogianya amanat konstitusi dilaksanakan dengan khidmat. Caranya, libatkan rakyat dalam pengambilan kebijakan dan akomodasi kepentingan-kepentingannya.
Kembali pada konstitusi adalah jalan paling mungkin untuk mewujudkan cita-cita kita dalam bernegara yang mengutamakan kepentingan rakyat, sejalan dengan hakikat negara ini dibentuk dan didirikan sejak awal.
Menjauhi dan menanggalkan koridor-koridor politik konstitusional yang telah ditegaskan dalam UUD 1945, hanya akan membuat kita jauh dari hakikat negara itu sendiri. Dan, inilah yang kita khawatirkan!