Oleh Sujono
(Penulis lepas tinggal di Perum Satelit, Sumenep)
Demi masa, sesungguhnya manusia terhina kecuali mereka yang saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati dalam kesabaran. (QS: Al-‘Ashr)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Astaghfirullahal ‘adzim, alangkah sia-sia hidup kita. Apakah yang kita inginkan saat memberinya nasehat kepada anak-anak kita?
Jika yang kita inginkan atas semua yang kita lakukan adalah balas budi saat usia kita telah tua dan tubuh kita telah renta, maka izinkan saya bertanya; apakah yang bisa kita jaminkan atas diri kita bahwa kita akan sempat memasuki hari tua?.
Jika kita memberi segala yang diinginkan anak-anak kita agar mereka membahagiakan kita sesudah dewasa nanti, maka saya ingin bertanya; apakah yang bisa kita jaminkan bahwa anak-anak itu akan hidup sampai dewasa?.
Atau, apakah yang dapat membuat kita begitu yakin bahwa anak-anak itu memberi kita kebahagiaan?.
Telah berlalu di hadapan kita anak-anak yang menyengsarakan orangtua-nya. Sementara bekal akhirat yang dapat mereka petik saat menghadap Allah Ta’ala kelak, nyaris tak ada. Kita telah berletih-letih mendidik mereka, tetapi ternyata kita hanya terlempar ke neraka. Kecuali apabila kita melakukannya sebagai amal shalih yang digerakkan oleh keimanan.
Alangkah seringnya kita mendidik anak bukan demi kebaikan mereka di akhirat, tetapi demi memperturutkan kebanggaan kita sendiri. Kita didik mereka agar mampu membaca pada usia balita, bukan agar mereka lebih mengenal Tuhannya, tetapi demi mendatangkan decak kagum tentang betapa hebatnya kita mendidik mereka.
Kita asah kecerdasannya sehingga hebat luar biasa, bukan agar bisa menolong agama Allah ini dengan kemampuan yang mereka miliki. Justru sebaliknya, kita ajarkan kepada mereka do’a-do’a kepada Allah Ta’ala untuk memperoleh dunia.
Kita biasakan mereka berdo’a bukan agar hatinya terpaut dengan Allah ‘Azza wa Jalla, tetapi semata agar Allah melimpahkan prestasi yang menakjubkan.
Tak salah jika semasa kuliah rajin puasa dan memelihara sikap ta’dzim kepada orangtua, tetapi sesudah mereka memperoleh apa yang dicita-citakan, bekas-bekas puasa Senin-Kamis itu tak tampak sedikit pun.
Pertanyaannya kemudian, apakah salah kita menyayangi mereka? Tidak. Samasekali tidak. Apalagi jika kita menyayangi anak-anak kita karena ingin meninggikan Sunnah Nabi Muhammad Saw.
Artinya apa? Kecupan untuk anak kita atau pelukan hangat saat bercanda dengan mereka, adalah perbuatan Sunnah apabila kita melakukannya untuk meninggikan perintah Nabi Muhammad SAW.
Allah ‘Azza wa Jalla, akan melimpahkan barakah bagi setiap kecupan kita. Allah akan jadikan setiap detik kehidupan kita bersama anak sebagai catatan pahala yang tiada putus-putusnya, bila kita sentuh mereka karena ketakwaan kita kepada Allah.
Tetapi saya tidak tahu, apakah yang akan kita dapatkan jika kita melakukan semua itu demi kebanggaan kita sendiri?.
Masya-Allah. Alangkah sering mata kita terkelabui oleh yang semu. Kita menginginkan anak-anak mendengar setiap perkataan kita, tetapi kita lupa belajar mendengar suara nurani mereka. Kita ingin anak-anak kita cerdas, enerjik dan kreatif, tetapi kitalah yang pertama kali membunuh bakat-bakat mereka, inisiatif-inisiatif mereka, dan bahkan kebaikan-kebaikan mereka.
Padahal Nabi Muhammad SAW, sudah mengingatkan berkali-kali. Kata Beliau Saw; “AL-‘URAMAH seorang anak pada waktu kecil, akan menambah kecerdasannya di masa dewasa,” begitu Hadits riwayat Tirmidzi menerangkan.
Secara sederhana “AL-‘URAMAH” meliputi kelincahan, semangat bergerak, dan dorongan rasa ingin tahu yang sangat kuat sehingga mereka nyaris tidak pernah diam.
Astaghfirullahal ‘adzim, Alangkah sia-sia kita mendidik anak, kecuali jika kita melakukannya sebagai tanggung jawab kepada Allah Ta’ala. Alangkah sia-sia kebanggaan kita atas kehebatan mereka kalau kehebatan itu justru mengantarkan mereka ke neraka; kemudian menarik kita untuk sama-sama tercampak dalam siksa yang pedih. Na’udzubillahi.
Ya, Demi masa, sungguh kita sangat merugi kalau kita didik anak-anak kita dengan sekian banyak kursus dan keterampilan hanya untuk dunianya.
Ya, alangkah sia-sia kita mendidik anak kecuali jika kita melakukannya untuk menjunjung tinggi amanah Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Maka Allah berbicara; Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istri mu dan anak-anak mu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka…(QS: At-Taghaabun: 14-15).
Sungguh…! Telah berlalu di hadapan kita sejarah tentang musuh-musuh Allah. Mereka bukanlah orang-orang yang bodoh secara intelektual. Mereka juga bukan orang-orang yang lemah. Di antara mereka bahkan ada yang biasa bermunajat kepada Allah Ta’ala untuk memohonkan segala keperluan hidupnya; akan tetapi HATI mereka tidak hidup.
“Haman, Bal’am bin Baurah, Fir’aun, Qarun, Abu Jahal, maupun Abu Lahab,” adalah sekedar contoh. Semoga kita termasuk orang-orang yang tidak merugi dalam mendidik anak-anak kita sendiri. Amin…!