Judul buku : Dikuasai Kata-Kata
Penulis : Achmad San
Penerbit : Diva Press
Cetakan : Juli, 2021
Teba : 128 halaman
ISBN : 978-623-293-097-1
Kata adalah kata. Tapi, benarkah kata hanya sebatas kata? Ternyata tak sesederhana itu. lebih jauh, ternyata kata juga adalah senjata mematikan. Yang mencipta luka tanpa darah, dan sekaligus yang mencipta panas kuping penguasa tanpa harus menjewernya.
Sebagai sebuah alat komunikasi, kata muncul dengan berbagai muatan ekspresi, seperti pujian, sanjungan, atau juga bisa bermuatan kritikan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, dalam realitasnya, terkait kata dan penguasa, nampaknya selalu menuai kontroversi. Sebab, kata yang terpancarkan dari publik kepada politik kekuasaan, jarang-jarang bermuatan ekspresi sanjungan dan pujian. Kebanyakan yang kita temukan adalah berupa kritikan. Bukan sanjungan.
Nampaknya, kata hanya romantis bagi penyair, tetapi tidak bagi seorang politikus dan penguasa. Penguasa, berbeda dengan penyair, di satu sisi nampak menyimpan ketakutan tersendiri terhadap kata.
Karena itu, sebagai akibatnya, kata, yang muncul sebagai ekspresi publik terhadap kebejatan penguasa, kerap kali mendapat perlakuan yang tidak semestinya.
Misalnya, seperti “mural” yang bertuliskan “Jokowi 404: Not Found”/”Tuhan, Aku Lapar” yang pada 2021 lalu sempat membuat panas kuping penguasa. Yang disertai dengan penghapusan dan penguasa terhadap pembuatnya. Padahal, secara demokratis, itu boleh-boleh saja sebagai bentuk ekspresi.
Dan, jika kita telusuri dari sejarahnya, ternyata ini bukan hal baru. Sejak dulu, utamanya sejak zaman Orde Baru (Orba)—dalam konteks Indonesia—hal ini sudah berulang kali terjadi. 17 Maret 1947, dua tahun pasca proklamasi kemerdekaan, Indonesia resmi menggunakan ejaan Soewandi, menggantikan ejaan Van Ophusyen, warisan Belanda.
Menurut Achmad San, ejaan yang juga dikenal dengan nama Republik ini adalah ejaan pertama yang dimiliki bahasa Indonesia. Nama ejaan ini diambil dari nama M. Soewandi, menteri pendidikan dan kebudayaan kala itu (halaman 25).
Namun, setelah 55 tahun digunakan, tepat pada 1972, di masa Orba, ejaan yang lahir pada masa Soekarno itu dicabut. Lalu diberlakukanlah EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) dan bertahan hingga sekarang (sejak 2015 diperbarui menjadi [PUEBI] Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia).
Menurut Bernedict Anderson, perubahan pedoman bahasa Indonesia dari ejaan Soewandi ke EYD tak lain adalah untuk mensukseskan salah satu agenda politik Orba, yakni membutakan generasi muda dari sejarah bangsanya sendiri (halaman 26).
Kala itu, pada saat bersamaan, buku-buku dengan ejaan Republik dipersekusi sebagai ejaan lama yang sulit dipahami. Padahal, itu hanyalah argumen politis Soeharto untuk memutus mata rantai sejarah yang pernah terjadi atau bahkan melibatkan dirinya.
Sebut saja misalnya kronik dan peristiwa 65. Dalam penggantian ejaan Soewandi ke EYD ini, menurut San, sebenarnya tak lebih dari kekhawatiran atau bahkan ketakutan penguasa Orba yang memperlakukan PKI secara sporadis diketahui oleh generasi selanjutnya.
Namun, di sisi berbeda, sebenarnya tak selamanya penguasa memusuhi ‘kata’. Dalam keadaan tertentu, penguasa malah menjadi subjek aktif yang memainkan ‘kata’ sebagai sebuah sarana komunikasi publik. Salah satunya, yang paling masif terjadi, adalah bila telah kembali datang sebuah momentum politik.
Sebutlah Pilkada, Pileg, dan Pilpres. Pada momen-momen seperti itu, penguasa atau politikus, akan datang dengan sejumlah kata-kata yang amat populis untuk menggaet perhatian publik, konstituen, dan pemilih. Dalam pandangan San, ini bisa dikatakan sebagai eufemisme penguasa atau politikus.
Eufemisme, menurut San, merupakan ungkapan kebahasaan yang bertujuan untuk memperhalus sebuah keadaan sehingga apa yang ditangkap oleh pendengar tidak sama dengan keadaan aslinya. Eufemisme jamak digunakan elite politik untuk memperhalus maksud (politik jahat) sehingga publik, bisa menaruh simpati (halaman 15).
Dan, sampai di sini, sudah dapat kita pahami bahwa, di tangan penguasa, kata tak pernah berarti apa-apa, selalu berada pada posisi yang dilema: antara dipersekusi atau dimanfaatkan belaka. Padahal, bahasa amat berharga sebagai sebuah rekam jejak kebudayaan manusia.
Karena itu, meminjam bahasa Tatang Mahardika dalam pengantar buku ini, dalam konteks di mana kata-kata hanya menjadi permainan penguasa, hari ini ”…kita butuh sebanyak mungkin orang untuk terus mengingatkan bahwa bahasa adalah kesepakatan, bahasa adalah pertemuan. Makna tak boleh hanya didominasi oleh satu pihak, penguasa sekalipun.”