Oleh Margareta Okta Prasetya
(Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta)
Menghayati puisi-puisi Sutardji tidak cukup hanya dengan sekadar membaca. Dibutuhkan atensi lebih agar makna-makna tersirat dari setiap larik dapat sampai ke dalam jiwa dan pikiran pembaca. Terdapat tiga kumpulan puisi yang kemudian dijadikan satu antologi yaitu O, Amuk, dan Kapak. Puisi-puisi karya Sutardji dalam antologi O, Amuk, dan Kapak mengangkat tema tentang realitas kehidupan manusia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ketiga antologi tersebut memiliki kesinambungan satu sama lain, pada setiap antologi memiliki tema masing-masing namun ketiganya mewakili realitas yang terjadi pada manusia. Sutardji menyampaikan puisi-puisinya secara lugas dan bebas. Bentuk kebebasan dari jiwa manusia secara tidak langsung tampil dalam setiap puisi-puisi Sutardji. Kekosongan, amarah, nafsu, cinta, bahkan pertanyaan-pertanyaan tak masuk akal yang kerap dilontarkan manusia, kemudian disajikan oleh Sutardji dengan gaya puisi dan tipografi yang beragam.
Pada puisi Tragedi Winka & Sihka yang terdapat pada kumpulan puisi “O”. Sutardji menyajikan puisinya dengan menggunakan tipografi. Pada puisi tersebut, hanya terdapat kata kawin dan sihka namun dengan penulisan dan pemenggalan yang berbeda. Puisi-puisi jenis ini tidak harus dipahami secara mendalam, justru puisi-puisi jenis ini menjadi khas dari seorang penyair.
Sutardji menciptakan puisi dengan gaya khas yang ia miliki. Tipografi yang dibuat zig-zag cukup membuat bingung para pembaca. Akan tetapi, perlu ditegaskan kembali bahwa puisi-puisi yang memiliki jenis erupa, tidak perlu dipikirkan hingga sakit kepala. Puisi-puisi tersebut mengandung unsur estetika sehingga tidak hanya dinikmati dari segi makna akan tetapi mampu dinikmati dari segi visual. Puisi-puisi lain karya Sutardji juga banyak menggunakan tipografi, tidak hanya pada puisi Tragedi Winka & Sihka.
Puisi-puisi karya Sutardji tidak hanya menonjolkan sisi tipografinya saja. Penggunaan diksi-diksi dalam puisinya juga menggunakan kata-kata yang ada dalam kehidupan sekitar. Sutardji dengan latar belakang Melayu, kerap menggunakan diksi-diksi yang menggunakan bahasa daerah Melayu. Terlepas dari alasan dibalik penggunaan bahasa daerah yang terdapat dalam puisi-puisi Sutardji, melalui puisi-puisi Sutardji secara tidak langsung mengenalkan kepada pembaca tentang budaya Melayu.
Seperti pada puisi “Puake” yang terdapat dalam kumpulan puisi “O”. Puake merupakan jenis umpatan yang ada dalam masyarakat melayu, khususnya Riau. Puake mengandung arti sial dan pada puisi Puake, Sutardji banyak menggunakan kata-kata dari bahasa melayu. Isi dari puisi tersebut pun tidak jauh-jauh dari rasa kesal, bingung, dan jutaan rasa penasaran tentang aku yang sebenarnya..
Pemilihan diksi ini menunjukkan cara Sutardji menggambar jiwa manusia dalam puisi-puisinya. Dalam puisi-puisi “Amuk”, Sutardji lebih menonjolkan hubungan antara manusia dengan Sang Pencipta. Puisi “Amuk” mempertanyakan tentang kehadiran Tuhan, sosok Tuhan itu sendiri, dan peran Tuhan dalam kehidupan manusia.
Salah puisi yang menunjukkan aspek-aspek tersebut yaitu puisi “Kucingku” sebagai pengandaian cara manusia mempertanyakan Tuhan. Terdapat larik yang mengatakan: aku telah mencapai jalan/tapi belum sampai Tuhan dan berapa banyak jejak menapak/agar sampai padaMu? (puisi “Amuk”). Larik tersebut semakin mempertegas tentang cara manusia mempertanyakan Tuhan. Keluh kesah yang terdapat dalam puisi “Amuk” menggambarkan manusia yang kerap mengeluh dan menyalahkan Sang Pencipta terhadap peristiwa yang ia alami.
Pada puisi-puisi tersebut pun tidak lepas dari penggunaan tipografi. Salah satu puisinya yang berjudul “Luka” pada tahun 1976 hanya berisi “Ha ha”. Jika dilihat sekilas, puisi tersebut tidak memiliki arti, namun terdapat makna-makna yang ingin disampaikan oleh Sutardji yang disampaikan tersirat pada puisi tersebut. Melalui puisi “Luka” secara tidak langsung menunjukkan bahwa sebuah karya puisi sebenarnya bersifat bebas, tanpa harus melulu mengikuti kaidah-kaidah yang berlaku.
Pada puisi “Luka” yang hanya berisi larik “ha ha” sudah cukup menyampaikan banyak pesan. Persepsi mengenai luka terkadang tidak perlu penjabaran mengenai kisah sedih, melarat, serta kekecewaan yang berlebihan. Melalui larik tersebut sudah mampu disampaikan bahwa luka yang sebenarnya dirasakan begitu dalam hingga tak mampu terucapkan.
Selanjutnya pada puisi-puisi “Kapak”. Kapak dilambangkan sebagai bentuk pemecahan ketika kemampatan. Ketika manusia mengalami fase “mampat”, maka peran kapak adalah memecahkannya agar dapat mengalir kembali kreatifitas manusia. Pada kumpulan puisi Kapak, Sutardji ingin mengingatkan kembali tentang komunikasi batin antar manusia. Manusia satu dengan yang lain dianggap satu karena memiliki takdir dan semangat yang sama dalam kehidupan. Manusia yang hadir ke bumi akan merasakan luka dan kefanaan sehingga hal ini yang menjadikan hubungan antara manusia seperti memiliki ikatan. Seperti pada puisi “Hemat”
Hemat
dari hari ke hari
bunuh diri pelan pelan
dari tahun ke tahun
bertimbun luka di badan
maut menabungku
segobang gobang
Puisi ini seakan menggambarkan manusia yang putus asa, sendirian, dan penuh derita dalam hidupnya. Melalui puisi ini Sutardji ingin menyampaikan tentang kepekaan manusia terhadap dirinya sendiri. Manusia di dunia ini penuh tanya, kehidupan yang dijalani di dunia pun tak sarat akan luka dan derita.
Luka dan derita yang dialami manusia tidak selalu berasal dari luar diri manusia. Pentingnya memahami diri sendiri sebagai bentuk mengenal dan paham akan kondisi yang dialami oleh dirinya sendiri. Sebagian manusia kerap menyalahkan keadaan jika mengalami keterpurukan, padahal salah satu keterpurukan tersebut yaitu karena manusia tidak mampu memahami dirinya sendiri.
Melalui tiga kumpulan puisi O, Amuk, dan Kapak, Sutardji menyampaikan ekspresi jiwa-jiwa manusia selama hidup. Dalam kehidupan manusia, sifat-sifat yang bersifat duniawi merupakan aspek yang melekat dalam diri manusia. Sifat-sifat seperti amarah, nafsu, kasih, cinta, hingga kesedihan menjadi pelengkap dan juga bumbu dalam sebuah kehidupan.
Sehingga, perjalan manusia ketika hidup merupakan rentetan peristiwa yang menjadi kisah yang kompleks. Sutardji menuangkan seluruh emosi yang dirasakan oleh manusia pada setiap larik puisi, dengan tatanan abstrak dan pesan-pesan tersirat. Puisi-puisi yang diciptakan oleh Sutardji Calzoum Bachri menjadi gambaran dari suara batin manusia.