Oleh AHMAD FARISI*
Adakah di antara kita yang betul-betul paham ke mana arah kebijakan negara sesungguhnya? Tentu ada, tapi tak seberapa. Padahal, di tengah arus revolusi digital yang melesat begitu cepat, tidak sulit untuk memahamkan publik tentang berbagai kebijakan negara yang diambil dan ke mana arah kebijakan yang diambil itu nantinya.
Namun, inilah problem demokrasi kita: tertutup, tidak mau terbuka, tidak mau jujur, dan serta juga tidak mau terus terang kepada publik. Di samping juga tidak mau mencerdaskan publik dalam setiap proses pengambilan kebijakan. Mengapa bisa demikian? Kita ambil dua contoh yakni kebijakan pemindahan ibu kota dan pembentukan UU Cipta Kerja (sekarang Perppu Cipta Kerja) yang sampai kini terus menjadi perdebatan dan sorotan publik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Adakah di antara kita yang betul-betul paham tentang dua kebijakan tersebut? Apa urgensi UU Cipta Kerja dan mengapa kita harus pindah ibu kota ke Kalimantan? Apa plus minus dua kebijakan tersebut? Apakah dua kebijakan tersebut menguntungkan rakyat? Jika iya, sisi manakah yang menguntungkan rakyat? Konsekuensi terburuk seperti apakah yang akan kita hadapi jika dua kebijakan besar itu gagal dikelola dan dilaksanakan dengan baik?
Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas masih nihil kita jumpai. Meski ada, jawaban-jawaban yang tersedia masih bersifat sepotong-sepotong, tidak lengkap. Informasi yang beredar hanya mengatakan bahwa kebijakan itu baik bagi bangsa ini tanpa kita diberi tahu alasannya mengapa bisa baik. Sudah begitu, proses legislasinya pun sangat problematik: Kebut-kebutan, tidak tertib-prosedural, dan juga nihil dan minim partisipasi publik.
Walhasil, publik pun tidak tahu menahu perihal kebijakan-kebijakan besar yang diambil oleh negara: seperti apa dan akan ke mana arahnya. Rakyat tidak diberi ruang untuk tahu di samping juga tak diberi ruang berpartisipasi dan ikut serta. Rakyat hanya diposisikan sebagai subjek pasif, alih-alih aktif. Karena itu, menjadi wajar bila publik berpikiran serba curiga dan bahkan misuh-misuh terhadap kebijakan yang diambil oleh pemerintah.
Sebab, sejauh ini, negara sendiri tidak benar-benar mau terbuka dan transparan dalam hal pembuatan dan pengambilan kebijakan. Semuanya cenderung ditutup-tutupi dari mata dan telinga publik. Ide-ide publik tak difasilitasi. Seolah-olah publik tidak berhak untuk tahu dan ikut menentukan poin-poin kebijakan yang hendak diambil oleh negara. Segala prosesnya, baik dalam hal perencanaan ataupun dalam hal pembuatan, masih sangat elitis dan monopolis.
Padahal, rakyat adalah pemilik kedaulatan. Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 menegaskan: Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Norma Pasal 1 Ayat (3) ini kiranya cukup jelas, bahwa pemegang kekuasaan tertinggi itu adalah rakyat, bukan negara berikut cabang-cabang kekuasaan yang ada.
Secara pardigmatik, dalam sistem pemerintahan demokrasi kekuasaan memang dibentuk secara langsung oleh rakyat. Karena itu, dengan hal ini seharusnya sudah menjadi keniscayaan bahwa setiap kebijakan yang hendak diambil negara seyogianya tidak boleh lepas dari kontrol dan kehendak rakyat. Sebab, rakyatlah yang berhak dan berkepentingan dengan semua kebijakan yang diambil. Baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Artinya, dalam konteks ini sebenarnya kedudukan dan posisi negara tidak lebih tinggi daripada kedudukan rakyat. Oleh sebab itu, dengan hal ini sudah seharusnya bagi negara untuk memposisikan rakyat sebagai pemilik kekuasaan tertinggi yang mesti dilibatkan-sertakan dalam setiap pengambilan kebijakan dengan cara membuka pintu akses selebar-lebarnya.
Dengan kata lain, dalam proses pengambilan dan pembuatan kebijakan, kekuasaan negara tidak boleh berdiri sendiri tanpa melibatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Sebab, sejatinya seluruh kebijakan yang dibuat oleh negara muaranya adalah untuk rakyat. Karena itu, jika negara menihilkan keterlibatan rakyat dalam hal pengambilan kebijakan, hal itu sama saja dengan mengingkari rakyat sebagai pembentuk dan pemilik kekuasaan tertinggi.
Karena itu, baik dalam perencanaan maupun dalam hal pembuatan kebijakan publik, negara mesti terbuka dan transparan. Transparansi yang dimaksud di sini bukan hanya sebatas membuka ”judul kebijakan” ke laman pemberitaan media massa, tetapi juga membuka seluruh maksud (isi dan substansi) perencanaan dan pembuatan kebijakan publik secara menyeluruh tanpa ada satu poin pun yang disembunyikan dan dirahasiakan dari rakyat.
Berikan kesempatan dan ruang partisipasi memadai kepada publik untuk menilai dan memberikan masukan atau bahkan opsi untuk menghentikan sebuah perencanaan atau pembuatan kebijakan publik. Jadikan publik sebagai ujung tombak kebijakan. Usulan gagasan semacam ini sepintas memang tampak utopis. Namun, demikianlah seharusnya rezim demokratis bekerja: menjadikan rakyat sebagai tuan dalam kehidupan bernegara.
Tanpa transparansi dan keterbukaan semacam itu demokrasi hanya akan menjadi ”slogan langit” yang tak pernah membumi. Sebab, tanpa ada transparansi, khususnya dalam hal pembuatan kebijakan publik, mustahil akan terbentuk sebuah bangunan pemerintahan yang bekerja dan berorientasi kepada kepentingan rakyat sebagai pemilik kedaulatan seutuhnya.
*) Pengamat Politik