Oleh AHMAD FARISI*
Dalam dua dekade ke depan, generasi muda diprediksi bakal memainkan peran kunci dalam kepemimpinan politik Indonesia. Prediksi ini didasarkan pada momentum bonus demografi yang akan memasuki puncaknya pada 2030–2040.
Bonus demografi adalah kondisi di mana proporsi kelompok usia produktif (15 – 64 tahun) lebih tinggi ketimbang kelompok usia non-produktif (di bawah lima tahun dan di atas 64 tahun). Adapun perbandingan di antara keduanya adalah, 70% kelompok usia produktif dan 30% kelompok usia non-pruduktif.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Saat ini, momentum bonus demografi itu sudah mulai kita rasakan. Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS) 2022, menunjukkan sebanyak 68,82 juta jiwa penduduk Indonesia masuk kategori pemuda. Secara presentase kependudukan, angka tersebut setidaknya mewakiliki 24% juta jiwa dari total penduduk Indonesia (Katadata, 2023).
Selain diprediksi bakal menguntungkan Indonesia secara ekonomi, momentum bonus demografi ini juga digadang-gadang bakal membawa pengaruh positif bagi tata kelola demokrasi kita (M. Subando, 2017; Zulfikar, 2019).
Prediksi optimistis akan hadirnya kelompok muda dalam jagat politik Indonesia itu kiranya wajar. Sebab, selain karena adanya semangat baru yang melekat pada generasi muda, sejarah Indonesia juga telah membuktikan bahwa kehadiran pemuda mampu memberi perubahan positif bagi kehidupan berbangsa.
Namun, terlepas dari semua optimisme tersebut, pertanyaannya kemudian adalah, akankah momentum bonus demokrasi ini akan memberi bonus bagi demokrasi kita yang kini dalam kondisi krisis? Pasca Orde Baru, kita dengan cukup optimistis meyakini masa baru itu—dengan kekuatan pemuda di dalamnya—akan membawa perubahan signifikan pada tata kelola demokrasi Indonesia.
Akan tetapi, tidak demikian kenyatannya. Belakangan ini, berbagai laporan menunjukkan demokrasi kita tengah dalam kondisi stagnan atau mengalami kemunduran akut bahkan. Kemunduran itu terjadi dalam beberapa aspek, baik dalam aspek kebebasan berekspresi (freedom of speech), perumusun kebijakan public, dan juga dalam konteks pemberantasan koruspi.
Menurut data Ecomist Intelligence Unit (EIU) pada 2022, kinerja demokrasi masih stagnan diangka 6,71. Alhasil secara kualitatif kita pun tergeser dan bahkan mengalami kemunduran yang mengharuskan kita masuk dalam ketegori negara demokrasi yang cacat atau flawed democracies (EIU, 2022).
Laporan tentang stagnasi atau kemunduran demokrasi Indonesia oleh EUI ini juga dikonfirmasi dan dikuatkan oleh beberapa laporan lainnya, seperti laporan Indikator Politik Indonesia (IPI) tentang demokrasi Indonesia yang juga menemukan adanya ketakutan masyarakat untuk menyatakan pendapat karena banyaknya persekusi atau pemidanaan (overcriminalization) yang dilakukan negara terhadap masyarakat sipil (civil society) yang kritis terhadap kebijakan negara.
Dalam laporan surveinya pada Juli 2022, IPI menemukan 60 persen responden menyatakan takut untuk menyatakan pendapatnya. Penulis menyebut kondisi ini sebagai “gaya baru praktik otoritarianisme”. Yakni, sebuah praktik otoritaritarianisme yang menggunakan istrumen hukum untuk mempersekusi masyarakat sipil, tidak seperti pada masa Orde Baru yang lebih menekankan pendekatan militeristik untuk menggembosi kekuatan civil society.
Dalam konteks perumusan kebijakan publik, kemunduran demokrasi juga dengan sangat jelas bisa kita rasakan. Setidaknya ada dua indikator penting yang bisa kita jadikan sebagai standar untuk melihat kemunduran demokrasi kita pada konteks ini. Seperti praktik legislasi yang ugal-ugalan dan minimnya partisipasi (Zainal Arifin Mochtar, 2022). Sebagaimana tercermin dalam revisi UU KPK, pembentukan UU Minerba, UU Cipta Kerja, UU IKN dan UU Kesehatan.
Sementara dalam aspek pemberantasan korupsi, kemunduran demokrasi kita juga dapat kita lihat dalam laporan Transperency Internasional Indonesia (TII) yang menunjukkan adanya tren penurunan IPK (Indeks Persepsi Korupsi) kita. Dalam laporannya, TII melaporkan IPK kita mengalami penurunan signifikan; dari yang awalnya bertengger diangka 38 pada 2021 turun menjadi 34 pada 2022. Ini artinya, selama beberapa tahun ini, kita semakin menjadi negara korup.
Potret muram demokrasi kita dalam banyak aspek itu menunjukkan bahwa kemunduran yang dialami demokrasi kita adalah kemunduruan yang sangat kompleks. Yang tidak hanya meliputi soal kebebasan, tetapi juga mencakup aspek perumusan kebijakan publik dan juga aspek pemberantas korupsi di sisi lain. Memperbaiki kerusakan kompleks yang terjadi pada demokrasi kita ini tentu bukan perkara mudah. Lalu, sekali lagi, akankah kepemimpinan generasi muda akan mampu membenahi kerusakan akut yang terjadi pada demokrasi kita itu?
Jika kita kembali pada sejarah pemuda dalam setiap lintasan zaman, sebenarnya kita cukup optimis bahwa kepemimpinan anak muda ke depan bakal mampu untuk menata kembali demokrasi kita yang rusak itu. Dengan catatan, generasi muda mampu memposisikan dirinya sebagai “generasi baru” dengan “paradigma politik baru.” Yakni, generasi baru yang memiliki semangat menempatkan kepentingan publik di atas segala kepentingan privat lainnya.
Dengan kata lain, kepemimpinan anak muda di masa depan hanya akan mampu membawa perubahan bagi demokrasi kita yang lebih baik bila generasi muda sendiri mampu menempatkan dirinya sebagai anti-tesis dari generasi lama yang dinilai sangat koruptif. Tanpa semangat semacam itu, bisa dipastikan kehadiran genarasi muda sebagai pemimpin baru tidak akan membuahkan hasil apa-apa, kecuali pergantian aktor seperti yang terjadi pada reformasi 1998.
Artinya, walaupun nantinya terjadi bonus demografi yang menjadi penanda dimulainya kepemimpinan anak muda, namun sangat mungkin momentum itu tidak akan memberi bonus demokrasi pada alam demokrasi kita jika generasi muda tidak mampu menghadirkan semangat pembaruan (Edbert Gani Suryahuda, 2022).