Logika tanpa logistik mandul. Organisasi atau lembaga mana pun jika hanya ditopang oleh logika: ide dan gagasan, namun tak disokong oleh logistik: anggaran dan keuangan niscaya akan jalan di tempat.
Ide dan gagasan-gagasan itu menumpuk, menggunung memenuhi ruang demi ruang sebuah institusi hingga akhirnya tidak seimbang, overdosis dan mati tak berdaya.
MPR, lembaga permusyawaratan yang kita miliki nampaknya khawatir sesuatu seperti yang saya gambarkan di atas menimpa lembaga tersebut.
Buktinya, di kala Menteri Keuangan Sri Mulyani memangkas anggaran MPR untuk tahun 2022, orang-orang penting di dalamnya, seperti Bambang Soesatyo (Pimpinan MPR) dan Fadel Muhammad (Wakil Pimpinan MPR) murka tak kepalang.
Bahkan dengan gagah perkasa lagi pongah mereka meminta Presiden Jokowi untuk mencopot menteri keuangan itu.
Alasannya karena dua hal: pertama Sri Mulyani dianggap tidak cakap mengelola dan mengurusi keuangan negara; dan kedua ia juga dianggap tidak menghormati MPR selaku lembaga tinggi negara karena tidak memenuhi undangan MPR untuk membahas anggaran yang dipangkas itu.
Padahal, Menkeu Sri Mulyani juga punya alasan yang logis yang bisa kita terima mengenai pemangkasan anggaran MPR itu dan di balik ketakhadirannya memenuhi undangan MPR.
Pertama, Menkeu Sri Mulyani memangkas anggaran MPR karena kondisi keuangan negara sedang terperosok akibat badai Covid-19. Akibatnya dengan terpaksa anggaran negara dilakukan refocusing. Bukannya tidak cakap mengelola keuangan negara. Hal ini seyogianya dipahami oleh MPR.
Dan harusnya MPR juga mengerti bahwa berdasarkan amanat UUD 1945, konstitusi kita, APBN sepenuhnya dipergunakan untuk kemakmuran rakyat, bukan untuk lembaga mana pun, sekalipun sekelas MPR.
Kedua, soal ketidakhadiran Sri Mulyani memenuhi undangan MPR. Diketahui, ada dua kali undangan yang tidak dihadiri oleh Menteri Keuangan itu.
Yang pertama adalah pada 27 Juli 2021. Sri Mulyani tidak hadir lantaran berbenturan dengan rapat internal presiden. Yang kedua adalah pada 28 September 2021. Sri Mulyani juga tidak hadir. Sebab bertepatan dengan rapat Banggar DPR yang membahas APBN 2022.
Bukankah semua sebab yang menyebabkan Sri Mulyani tidak dapat menghadiri undangan MPR itu logis. Ia lebih mementingkan menghadiri rapat internal presiden karena ia adalah pembantu presiden; ia yang juga lebih mementingkan menghadiri rapat bersama Banggar membahas APBN 2022, karena rapat itu sangat penting. Tidak bisa ditinggalkannya.
Lalu, dimanakah letak ‘tidak hormat’ Sri Mulyani kepada MPR?
Arogan
Kenyataan ini, bagi saya, tidak memperlihatkan apa-apa, kecuali arogansi dari lembaga yang oleh Fadel Muhammad disebut-sebut sebagai lembaga tinggi negara. Padahal sejak amandemen ketiga UUD 1945 yang mengubah pasal 1 ayat (2) MPR tidak lagi yang namanya lembaga tinggi negara, yang ada adalah lembaga negara.
MPR, yang sebelumnya berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara sebelum amandemen—sirna. DPR, DPD, MPR, dan Presiden berkedudukan sama secara konstitusional. Tidak ada yang lebih tinggi dan tidak yang lebih rendah; dan tidak ada pula yang lebih berkuasa.
Lalu, apa dasarnya Fadel Muhammad menyebut MPR sebagai lembaga tinggi negara? Inilah letak kekacauan wakil pimpinan MPR kita.
MPR dikatakan arogan karena kita sama-sama menyaksikan bahwa MPR bukan kali ini berulah hal serupa. Awal Oktober lalu, MPR juga hendak bermain sesuka hati, yakni ingin melakukan mengamandemen terbatas terhadap Pasal 7 UUD 1945. Juga hendak memasukkan PPHN.
Padahal, pada saat itu, bangsa ini sedang dilanda tsunami kematian akibat infeksi virus korona. Namun MPR pimpinan Bangbang Soesatyo itu tetap ngotot. Penolakan publik terhadap wacana amandemen yang terlihat dari berbagai hasil survei tak diindahkan sama sekali.
Bahkan, kala itu, Ketua Badan Pengkajian MPR, Djarot Saiful Hidayat dengan pongah mengatakan, “Mau tidak mau, suka tidak suka, MPR RI akan melakukan amandemen terbatas.” Kenyataan ini, jika tidak memperlihatkan arogansi MPR, lalu apa?
MPR adalah Majelis Permusyaratan Rakyat. Namun mengapa sama sekali tidak memperlihatkan diri sebagai majelis permusyaratan? Dan malah tampak seperti lembaga yang suka bermain sesuka hati?
MPR harus berbenah. Selesaikan semua masalah dan persoalan kebangsaan dengan permusyawaratan sebagaimana tradisi demokrasi. Majelis permusyawaratan kok suka main sesuka hati sendiri? Nggak etis tau!