Seputar Preposisi

Redaksi Nolesa

Sabtu, 8 Oktober 2022

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Abd. Kadir (Foto: dokumen pribadi)

Abd. Kadir (Foto: dokumen pribadi)

Oleh ABD. KADIR*

Saya pernah mengisi acara bedah buku literasi. Dalam acara itu, buku yang saya bedah seputar berliterasi bagi guru dan bagaimana guru bisa mengimplementasikanny di kelas. Pesertanya juga beragam: mulai guru sampai pemerhati pendidikan, bahkan anggota dewan pendidikan.

Dalam sesi pertanyaan, ada peserta yang memberikan tanggapan tentang buku yang dibedah itu dari sisi kebahasaan. Artinya, komentar yang disampaikan seputar penulisan buku dalam konteks kajian tata bahasanya. Poin utama yang disampaikan adalah seputar penulisan ‘di’ baik sebagai preposisi (kata depan) maupun sebagai imbuhan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Menurutnya, menulis buku, apalagi yang berkaitan dengan literasi, seharusnya sudah memperhatikan masalah kaidah dasar kebahasaan. Dalam perspektif ini, penanya ini menganggap bahwa persoalan penulisan preposisi ‘di’ dan imbuhan ‘di’ sudah selesai di tingkat sekolah menengah pertama. Jika persoalan ini masih menjadi fenomena yang belum ‘selesai’ di kalangan guru, maka ini sebenarnya bagian dari kecelakaan sejarah. Bahkan menurutnya ini adalah bencana literasi.

Baca Juga :  Desakralisasi Gelar Profesor

Memang, dipahami bahwa selama ini, kita abai dengan persoalan kidah dasar kebahasaan yang selayaknya sudah harus dipahami oleh para penulis. Padahal, ketika kita bergelut di bidang literasi, sebenarnya kita adalah orang pertama yang harus menjunjung dan merawat bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Bahwa bahasa Indonesia memiliki kaidah yang perlu dipahami, dipedomani, diikuti, dan disebarluaskan. Dalam hal ini, salah satu elemen yang memiliki tanggung jawabnya adalah kita sebagai para penulis yang bergelut dalam dunia literasi. Artinya, menulis adalah bagian dari merawat kebahasaan. Bukan sebaliknya, menulis dan menjadi ‘pembunuh berdarah dingin’ bagi keberlangsungan bahasa Indonesia.

“Memang, dipahami bahwa selama ini, kita abai dengan persoalan kaidah dasar kebahasaan yang selayaknya sudah harus dipahami oleh para penulis”

Kembali pada fenomena di atas, kadang kita tidak peduli dengan kaidah dasar kebahasaan, seperti kapan ‘di’ atau ‘ke’ itu ditulis terpisah dengan kata yang lain karena sebagai preposisi, dan kapan ditulis disambung dengan kata yang menyertainya karena sebagai imbuhan. Padahal sebenarnya, hal seperti ini sangatlah sederhana. Bahwa kata ‘di’ dan ‘ke’ itu akan ditulis terpisah dengan kata yang menyertainya sebagai kata depan ketika diikuti oleh kata benda. Misalnya, di rumah/ke rumah, di toko/ke toko, di sekolah/ke sekolah, di halaman/ke halaman dan sebagainya. Kata ‘di’ akan ditulis disambung dengan kata yang menyertainya ketika diikuti oleh kata kerja. Misalnya, dipukul, diinjak, dicangkul, disapu, diintip dll. Untuk kata ‘ke’, akan menjadi imbuhan yang ditulis disambung dengan kata yang menyertainya ketika diikuti dengan ‘an’ menjadi imbuhan ke-an. Di sini, imbuhan ini meskipun dipakai untuk kata kerja atau kata sifat atau kata bilangan, akan ditulis disambung dengan kata yang menyertainya. Misalnya, kesepian, kesebelasan, kerinduan, dll. Tetapi, ketika ‘ke’ dihadapkan dengan kata benda, meskipun ada diikuti ‘an’, maka kata ‘ke’ tetap menjadi kata depan, dan ‘an’ menjadi akhiran. Jadi bukan lagi sebagai imbuhan ‘ke-an’.

Baca Juga :  Jalan Terjal Partai Baru
Baca Juga :  Masyarakat Pancasilais dan Generasi Penghafal

Intinya, selain ‘ke-an’, bahwa imbuhan yang berupa konfiks (afiks tunggal yang terjadi dari dua unsur yag terpisah), penulisannya disambung. Misalnya, sufiks ‘di-kan’, ‘pe-an’, ‘di-i’ dll., penulisannya disambung. Contoh: dikerjakan, didirikan, disesuaikan, persamaan, perusahaan, pelayanan, diikuti, disesali, disukai, dll.

Bagi banyak orang, mungkin fenomena ini sangatlah sederhana, dan terkesan ‘remeh-temeh’. Tetapi, bagaimanapun, hal ini akan tetap menjadi sesuatu yang cukup mengganjal dan perlu untuk dijelaskan agar kesalahan tidak selalu terulang. Sebagaimana yang disampaikan penanya dalam bedah buku tadi, bahwa kaidah dasar seperti seharusnya sudah ‘selesai’ di tingkat sekolah menengah pertama. Ya, begitulah kira-kira!

*Pegiat Literasi Sumenep

Berita Terkait

Musibah dan Penderitaan Merupakan Cara Allah Untuk Menyempurnakan Ciptaan-Nya
Bulan Muhammad SAW: Pemimpin yang Adil Mutiara yang Hilang
Bulan Muhammad SAW: Kelanggengan dan Kemusnahan Agama
Antara Putusan MK dan UU Pilkada, Ke Mana KPU Harus Merujuk?
Sakaratul Maut; Andaikata Lebih Jauh Lagi
Holupis Kuntul Baris: Merayakan Hari Kemerdekaan dengan Semangat Gotong-Royong
Roebling, Tak Sempurna; Namun Mampu Mewujudkan Cita-citanya
Menyikapi Ancaman Terorisme

Berita Terkait

Jumat, 4 Oktober 2024 - 08:00 WIB

Musibah dan Penderitaan Merupakan Cara Allah Untuk Menyempurnakan Ciptaan-Nya

Jumat, 20 September 2024 - 07:30 WIB

Bulan Muhammad SAW: Pemimpin yang Adil Mutiara yang Hilang

Minggu, 15 September 2024 - 16:35 WIB

Bulan Muhammad SAW: Kelanggengan dan Kemusnahan Agama

Sabtu, 24 Agustus 2024 - 10:46 WIB

Antara Putusan MK dan UU Pilkada, Ke Mana KPU Harus Merujuk?

Jumat, 23 Agustus 2024 - 08:30 WIB

Sakaratul Maut; Andaikata Lebih Jauh Lagi

Berita Terbaru

Kepala Dinas PUTR Sumenep Eri Susanto (foto: dok. nolesa.com)

Daerah

Review RTRW Tuntas, Pemkab Sumenep Fokus Susuan Perbup RDTR

Selasa, 29 Okt 2024 - 19:35 WIB