Kata “perempuan” adalah kata menarik sekaligus sensibilitas di berbagai dunia apapun. Tema-tema perempuan merupakan tema yang sangat subtil, rahasia, dan tentu menggoda hingga tak pernah ada habis-habisnya untuk dibahas. Terutama dalam kajian literatur tasawuf, baik yang bersifat akademik maupun sekadar ceramah di masjid-masjid, kampus, dan pengajian umum.
Berkait kelindan dengan tetekbengek kajian “perempuan dan tasawuf” sepertinya bagai dua mata pisau yang sekaligus bisa dikatakan tumpul dan kadang tajam. Tumpul karena perempuan kadang dianggap lemah, dan tajam karena perempuan kadang dianggap urgen dan menantang.
Selama ini, perempuan tak ubahnya benda arkeologi yang tersembunyi dengan rapi dan sebagian saja para ahli arkeolog yang dapat membongkar serpihan-serpihan keindahan perempuan itu, apalagi dalam kajian literatur tasawuf yang digemari dan diminati oleh para ahli sufi sejak rentang waktu yang sangat panjang—kira-kira penulis terpelanting tujuh abad yang silam—saat menjamurnya perhatian dari berbagai kalangan sufisme terhadap perempuan masih mangkak.
Sayang sekali, di balik kebanggaan para pemerhati dan kaum sufisme terhadap perempuan terbayar dengan kekecewaan yang tak sepadan. Bagi mereka, keindahan perempuan adalah keindahan yang mudah rapuh dan layu. Perempuan layu ketika diseret pada berbagai problematika dunia yang begitu keras; perempuan lemah karena sifatnya yang lemah, perempuan lembut karena diciptakan untuk menjadi pelengkap laki-laki, perempuan rapuh karena butuh perlindungan.
Menarik ketika perempuan dilihat dalam dunia tasawuf yang masih jarang kalangan pemerhati tasawuf menyentuh dengan kajian akademik atau membicarakan marginalisasi perempuan secara komprehensif.
Berjejak dari fenomena kajian yang masih perawan, tidak salah kiranya jika perempuan masih dianggap sebagai sesuatu yang asing dalam dunia tasawuf itu sendiri. Mungkin, fenomena ini tidak lepas dari wilayah bangunan konstruksi bias gender yang kerap memposisikan seorang perempuan sebagai mahluk minoritas yang lemah, mahluk yang dijajah, mahluk yang dihina, mahluk atribut yang butuh perlindungan dari seorang laki-laki.
Dalam konstelasi sejarah tasawuf, dari pertama kali tasawuf digenderangkan oleh tokoh sufi sekaliber Hasan al-Basri (110 H), dengan ditandai lahirnya para tokoh sufi yang lain seperti Hasyim al-Kufi (w. 150 H), Sufyan as-Sauri (161 H), dan Fudail bin Iyad, hingga mencapai puncaknya di tangan al-Muhasibi (w. 243 H.), yaris dunia tasawuf tidak bisa diwarnai dengan adanya seorang tokoh sufi perempuan yang namanya sekaliber seperti mereka. Mungkin pada waktu itu dunia tasawuf hanya mengenal nama tokoh sufi perempuan sebelumnya dalam kurun waktu yang sangat jauh merentang dengan loncatan yang tak tentu, ia tidak lain adalah Rabi’ah al Adawiyah (w.185 H) yang selamanya melahirkan satu langkah raksasa bangunan epestimologi tasawuf perempuan yang begitu menghentak dan mendebarkan hingga tujuh abad sesudahnya.
Semua dapat dibuktikan secara negasi-kultural, bahwa perempuan sampai detik ini belum mampu meramaikan cerita besar dari kesejarahan tasawuf di bawa kibaran bendera seorang laki-laki. Tidak banyak para peneliti dan pemerhati intelektual muslim menulis kiprah seorang sufi perempuan, hanya ada sebagian kecil menyinggung beberapa tokoh perempuan yang, anggap saja usang untuk dibicarakan sekarang, apalagi untuk dikatakan sebagai sufi perempuan, sebut seperti pada masa Rasulullah Saw., termasuk pula istri-istri Nabi yang diposisikan sebagai para sufi agung, yang menurut Margaret Smith (1928), itu adalah bentuk dari nyanyian klasik yang tidak masyhur dikenal sebagai seorang “sufi” meski pada kenyataannya adalah perempuan sufi.
Secara garis sosial, politik, dan kultur, melejitnya perkembangan tasawuf sudah dimulai sejak Imam al-Hasan al-Basri murid dari Hudzaifah al-Yamani yang sempat mendirikan pengajian Tasawuf di Bashra, membangun epistemologi yang bernama “tasawuf”; hingga tiga ratus tahun selanjutnya berkembang kelompok-kelompok tariqat salah satunya Thariqat Qadiriyah (470 H.) yang menjadi bukti kesuburan tasawuf tersebut. Akan tetapi, begitu disayangkan sejarah tidak pernah mencetak secara gemilang sepak terjang seorang perempuan menjadi pemimpin dari salah satu thariqah pada waktu itu.
Walhasil, sejarah marginalisasi seorang perempuan dalam dunia tasawuf melahirkan satu fenomena yang besar dalam tanda tanya. Di tengah-tengah suasana domestikasi perempuan dan dominasi patriarki, kalangan feminis semakin tidak memiliki ruang kerja untuk bergerak bebas dan membuktikan kreatifitasnya, bahkan untuk sekedar bernafas sangat sesak. Begitu pula untuk membuktikan kebebasan pribadinya sebagai seorang auliya’. Maka, salah satunya yang diimpikan dari dunia tasawuf adalah kebebasan (hurriyah). Kebebasa yang dimaksud sama seperti Mernissi, dengan mengimpikan kebalikan dari sistem perbudakan. Tidak salah jika menilai tasawuf tidak membebaskan dan mengekang seorang perempuan, karena faktanya perempuan memang tak pernah menanggalkan warisan intelektual pada khazanah tasawuf.
Sebab itu, menurut Shimel sejarah “marginalisasi” sufi perempuan tidak bisa lepas dari kontruksi bias gender sebagaimana yang sudah disebutkan dimuka. Kita bisa mencontohkan sejarah perkembangan perempuan pada masa kaum Jahiliah, pra-Islam datang, pada waktu itu perempuan sebagai instrumen pelampiasan nafsu seksual seorang laki-laki, hatta ada yang mengubur anak perempuan secara hidup-hidup, karena perempuan dianggab sumber penyebar fitnah yang menambah berbagai masalah dalam kehidupan keluarga mereka. Problem ini diamini oleh Dr. Mufida, M.Ag. bahwa sejarah silam sering menampilkan sisi gelap seorang perempuan di berbagai bentuk lini kehidupan. Disitulah benih “marjinalisasi” atas elan vital perempuan dimulai. Cerita ini disinyalir dalam al-Qur’an dengan mengutip kisah Hawa saat menggoda Adam di surga, Hawa menandakan jika perempuan merupakan biang keladi perpecahan, jelas dalam penafsiran ayat ini perempuan sangat dipojokkan hingga dikatakan bahwa iblis tak dapat menggoda Adam secara langsung.
Utopia Sufi Perempuan, Mungkinkah (?)
Banyaknya ruang penafsiran dalam dunia Islam terhadap teks-teks yang ada di setiap bibliografi dan historiografi Islam, semakin membuat tema-tema perempuan tersudut. Mungkin sekarang penulis bisa berfikir bahwa beberapa tokoh sufi perempuan yang mewarnai dunia tasawuf adalah titik kilas dari cahaya dimana kita ingin mengatakan konsep feminisme baru telah terkuak secara lebar dalam kesejarahan tasawuf. Sebagaimana Ibnu Arabi memposisikan seorang perempuan tepat sebagai bentuk manifestasi Tuhan yang paling sempurna. Akan tetapi, penulis rasa itu akan mustahil.
Berangkat dari sikap skeptis penulis tentang fenomenologi perempuan, mengundang pembaca untuk menelitinya lebih jauh lagi dalam tulisan yang lebih panjang. Mengatakan perempuan sebagai makhluk yang termaginarkan sepanjang sejarah tasawuf barangkali labih menantang dan sangat fundamentalis, sedang untuk tidak mengatakan perempuan termarginalkan juga sangat tidak tepat karena tidak sesuai dengan fakta yang ada. Maka kesimpulannya, tergantung terhadap pembaca?