Oleh Mulyadi SH., MH.
(Calon DPRD Terpilih Demokrat Sumenep)
Idul Adha 1445 H adalah momen yang sarat makna bagi umat Islam di seluruh dunia. Hari raya ini tidak hanya mengingatkan kita akan sejarah pengorbanan dan ketaatan, tetapi juga menjadi saat yang tepat untuk merenungkan dan meneladani dua sosok penting di dalamnya, yaitu Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ketaatan Nabi Ibrahim dalam menjalankan perintah Allah dan keikhlasan Nabi Ismail dalam menerima keputusan tersebut merupakan dua pilar utama yang mengajarkan kita tentang nilai-nilai keimanan, kesabaran, dan pengorbanan.
Nabi Ibrahim adalah salah satu nabi yang diakui keteguhan imannya oleh tiga agama besar: Islam, Kristen, dan Yahudi. Dalam Islam, Nabi Ibrahim dikenang sebagai “Khalilullah” atau sahabat Allah, yang menunjukkan betapa dekat dan tingginya derajat ketaatan beliau kepada Sang Pencipta.
Salah satu ujian terbesar dalam hidupnya datang dalam bentuk perintah yang luar biasa berat: menyembelih putranya sendiri, Ismail. Perintah ini datang melalui mimpi yang diyakini sebagai wahyu dari Allah.
Di sini, kita melihat ujian ketaatan yang tidak hanya menuntut keberanian fisik tetapi juga keberanian moral dan spiritual. Ibrahim, dalam posisinya sebagai ayah dan nabi, memilih untuk tidak melaksanakan perintah tersebut secara langsung, tetapi terlebih dahulu merundingkannya dengan Ismail.
Sikap ini menunjukkan kebijaksanaan Nabi Ibrahim yang tidak hanya taat secara membabi buta tetapi juga mempertimbangkan aspek-aspek kemanusiaan dalam kepemimpinannya.
Saat Nabi Ibrahim menyampaikan perintah Allah kepada Ismail, kita melihat respons yang luar biasa dari seorang anak muda yang telah dididik dengan nilai-nilai keimanan yang kuat.
Ismail, tanpa keraguan, menerima perintah tersebut dengan keikhlasan yang mendalam. “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” (QS. As-Saffat: 102).
Jawaban Ismail itu bukan hanya menunjukkan ketaatannya kepada Allah tetapi juga kepercayaannya yang penuh kepada ayahnya.
Keikhlasan Ismail dalam menerima nasibnya adalah contoh yang sangat langka dan menakjubkan tentang bagaimana keimanan yang kuat bisa membentuk karakter seseorang menjadi begitu tabah dan berserah diri kepada kehendak Allah.
Idul Adha adalah momentum refleksi bagi kita semua untuk menelaah kembali sejauh mana kita telah menunjukkan ketaatan dan keikhlasan dalam kehidupan kita sehari-hari.
Dalam konteks modern, kita mungkin tidak dihadapkan pada ujian yang sedemikian berat seperti yang dialami oleh Nabi Ibrahim dan Ismail.
Namun, setiap hari kita dihadapkan pada pilihan dan keputusan yang menuntut ketaatan kita kepada nilai-nilai moral dan etika yang kita yakini.
Misalnya, dalam dunia kerja, kita sering kali dihadapkan pada dilema antara mengikuti prinsip kejujuran atau tergoda oleh jalan pintas yang tidak halal.
Ketaatan seperti Nabi Ibrahim mengajarkan kita untuk selalu menempatkan integritas di atas segalanya, meskipun itu berarti menghadapi kesulitan atau kerugian jangka pendek.
Keikhlasan Nabi Ismail mengajarkan kita untuk menerima dengan lapang dada apa pun yang telah ditetapkan oleh Allah dalam hidup kita.
Dalam kehidupan ini, tidak jarang kita menghadapi situasi yang di luar kendali kita dan menuntut kita untuk bersabar dan menerima dengan ikhlas.
Misalnya, kehilangan pekerjaan, kegagalan dalam usaha, atau musibah lainnya. Keikhlasan seperti yang dicontohkan oleh Ismail bukan berarti pasrah tanpa usaha, tetapi lebih kepada sikap hati yang berserah diri setelah berikhtiar maksimal.
Itu adalah bentuk keimanan yang mendalam bahwa Allah selalu memiliki rencana terbaik untuk hamba-Nya, meskipun terkadang sulit untuk dipahami dalam jangka pendek.
Kurban yang kita lakukan, baik itu hewan ternak maupun bentuk pengorbanan lainnya, adalah simbol dari komitmen kita untuk menempatkan kehendak Allah di atas kepentingan pribadi.
Pengorbanan ini bukan hanya tentang aspek material, tetapi juga tentang waktu, tenaga, dan kadang-kadang perasaan kita. Misalnya, mengorbankan waktu untuk membantu orang lain atau mengorbankan kenyamanan diri demi kepentingan keluarga dan masyarakat.
Setiap pengorbanan yang kita lakukan dengan niat yang ikhlas akan mendekatkan kita kepada Allah dan meningkatkan kualitas keimanan kita.
Ibrahim dan Ismail menunjukkan kepada kita bahwa dengan komunikasi yang baik dan saling pengertian, kita bisa menghadapi ujian seberat apa pun.
Dalam kehidupan modern yang sering kali sibuk dan penuh tekanan, hubungan keluarga sering kali terabaikan. Namun, dari kisah ini, kita belajar bahwa keluarga adalah sumber kekuatan yang luar biasa.
Ketika kita menghadapi kesulitan, dukungan dari keluarga dapat memberikan kita keteguhan dan ketenangan. Oleh karena itu, merayakan Idul Adha juga seharusnya menjadi waktu untuk memperkuat ikatan keluarga, saling memaafkan, dan saling mendukung.
Nabi Ibrahim dan Ismail, meskipun dihadapkan pada ujian yang sangat berat, tetap menunjukkan rasa syukur dan tidak pernah mengeluh. Syukur adalah kunci untuk hidup yang bahagia dan damai.
Dengan bersyukur, kita akan lebih mampu melihat kebaikan dalam setiap situasi dan menerima segala ujian dengan hati yang lapang.
Allah berfirman: “Jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu” (QS. Ibrahim: 7). Dengan bersyukur, kita tidak hanya mendekatkan diri kepada Allah, tetapi juga membuka pintu-pintu rahmat dan nikmat yang lebih besar.
Idul Adha adalah kesempatan untuk merenungkan nilai-nilai ketaatan dan keikhlasan yang dicontohkan oleh Nabi Ibrahim dan Ismail. Ini adalah waktu untuk memperbaharui komitmen kita kepada Allah, untuk memperkuat hubungan keluarga, dan untuk menunjukkan rasa syukur atas segala nikmat yang telah kita terima.
Dengan meneladani ketaatan Ibrahim dan keikhlasan Ismail, kita dapat menghadapi setiap tantangan hidup dengan penuh keyakinan dan kedamaian, serta menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih dekat dengan Allah.
Semoga Idul Adha 1445 H ini membawa berkah dan kebahagiaan bagi kita semua, dan menjadi pengingat abadi akan pentingnya taat dan ikhlas dalam setiap aspek kehidupan kita.