Diskursus tentang perempuan selalu menarik untuk dibahas, hal ini bermula dari konstelasi patriarki dalam tatanan sosial dan budaya. Stigma kasur, dapur, dan sumur tidak hanya menjadi mimpi buruk bagi perempuan. Namun lebih dari pada itu, di samping membatasi ranah pergerakan perempuan, juga secara tidak langsung menuai konklusi bahwa perempuan sangat lemah an sich. Padahal kita semua tahu Islam yang dikenal sebagai agama rahmatan lil’alamin dalam Al-Qur’an surah al-A’raf penggalan ayat 156 menjelaskan bahwa Allah Swt., dalam melimpahkan rahmat-Nya meliputi segala sesuatu. Pemahaman segala sesuatu disini mengundang interpretasi global tak terkecuali kepada laki-laki, perempuan, dan alam semesta.
Pada dasarnya, perbedaan fisik dan biologis antara laki-laki dan perempuan secara kodrati memang tidak lagi menjadi persoalan. Karena hal ini dianggap sebagai upaya intervensi wilayah kekuasaan Tuhan. Perbedaan seperti ini secara tidak langsung memunculkan gerakan feminisme yang mengarah pada kesetaraan gender.
Bicara soal feminisme, memantik ingatan saya terhadap salah seorang tokoh perempuan kelahiran 1940 di Kota Fez, Maroko Utara. Fatima Mernissi dikenal sebagai feminis muslim, perjalanan intelektualnya bermula saat mernissi merasakan kebutuhan untuk mengumpulkan informasi tentang hadis yang menurutnya menyudutkan kaum perempuan (misogisnis). Kemudian ia mengkaji nash-nash tersebut untuk dapat dipahami dengan baik. Karya-karya beliau memberikan perhatian besar khususnya yang berkaitan dengan pola hubungan laki-laki dan perempuan serta dominasi dalam sistem patriarki.
Mernissi memandang Islam sangat mengafirmasi kesetaraan laki-laki dan perempuan. Hal ini berdasar pada sistem monoteisme (dalam Islam dikenal dengan istilah Tauhid) yang tidak mencakup makna personal, tetapi juga sosial. Baginya, monoteisme tidak hanya diklaim sebagai kepercayaan terhadap satu Tuhan, namun di sisi lain prinsip kesetraaan manusia secara universial (satu kesatuan) juga menjadi point of view dari sistem tersebut. Tidak cukup sampai disini, historisitas turunnya beberapa ayat dalam al-Quran juga menandai peran perempuan dalam menyuarakan hak-haknya. Seperti pada Surah al-Ahzab ayat 35 turun sebagai respon Allah terhadap protes Ummu Salamah kepada Nabi yang dalam hal ini tidak ada perlakuan sama antara laki- laki dan perempuan. Menurut Ummu Salamah, banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an yang bicara tentang laki-laki, namun tidak satu pun yang berbicara tentang perempuan.
Pada ayat lain, tepatnya Surah Ali-Imran ayat 195 juga turun karena protes Ummu Salamah. Ummu Salamah mempertanyakan mengapa hanya kaum laki-laki yang hijrah saja dan disebut dalam Al-Qur’an? Sementara perempuan juga melakukan hijrah? Sedangkan Ummu Salamah juga merupakan salah satu perempuan yang turut serta hijrah bersama Nabi sebanyak dua kali untuk mendukung perjuangan Islam, yakni dari Mekkah ke Ethiopia dan dari Mekkah ke Madinah. Pun demikian dengan Perempuan Indonesia, partisipasi dalam ruang publik turut serta mewarnai kontestasi Politik dalam sejarah peradaban. Seperti Radèn Adjeng Kartini dengan Gerakan emansipasi Wanita, Maria Walanda Maramis juga dengan Gerakan emansipasi Politik dan keadilan, Fatmawati yang setia mendampingi Bung Karno menuju kemerdekaan, dan lain-lain.
Narasi sejarah di atas hanya sebagian yang saya paparkan dari sekian banyak sepak terjang perempuan dalam segala bidang. Setidaknya marginalisasi terhadap perempuan tidak lagi tumbuh dan berkembang hanya gara-gara kepentingan politis tertentu untuk menjaga kelangsungan status quo atau dominasi laki-laki. Titik pandang disini perlu digaris bawahi bagi tiap kalangan guna dimengerti terhadap domain laki-laki dan perempuan.
Beberapa pekan lalu, saya dikagetkan dengan fenomena nahas yang menimpa perempuan. Mulai dari kekerasan dan pelecehan seksual dalam lingkungan kampus sampai merambat ke pemerkosaan oleh salah satu oknum penegak hukum yang berujung kematian (korban bunuh diri). Mari sama-sama kita cermati, bukankah terdakwa pada kasus ini didominasi oleh orang-orang “berpendidikan”? dan mengapa mereka masih melakukan tindakan amoral?
Berangkat dari sini, seyogianya rekonstruksi moral menjadi the main point khususnya dalam dunia pendidikan. Tidak hanya bergerak pada sektor kecerdesan intelektual, tetapi juga tak kalah penting memerhatikan kecerdasan interpersonal guna kesalehan sosial. Bagi saya, konteks saleh disini tidak hanya dimaknai sebagai orang yang pandai berdakwah, tapi lebih dari itu, ia bisa memuliakan sosok perempuan. Karena sangat jelas, Nabi Muhammad pun memberikan kedudukan prestesius terhadap perempuan.
Seperti dalam sebuah hadis Riwayat Abu Hurairah yang mengisahkan sosok laki-laki datang kepada Rasul dengan sebuah pertanyaan, “siapa orang yang paling berhak mendapat perlakuan baik?” Rasul menjawab “Ibumu” sampai tiga kali, dan baru kemudian “ayahmu”. Di hadis lain, Rasul juga pernah bersabda bahwa surga berada di bawah telapak kaki Ibu. Saya tidak perlu memberi simpulan terhadap esensi hadis ini. Karena saya sendiri adalah laki-laki yang lahir dari rahim perempuan. Sehingga hal ini mengantarkan saya pribadi kepada tesis bahwa perempuan sebagai rahim dari sebuah peradaban. Dan semestinya yang melahirkan peradaban tidak berhak untuk dilecehkan!