Pseudo History dan Borobudur yang Peninggalan Nabi Sulaiman

Nihayatus Zaen

Jumat, 12 Mei 2023

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Sejak di bangku sekolah, Candi Borobudur telah diperkenalkan sebagai salah satu warisan budaya Indonesia. Candi yang terletak di Kabupaten Magelang dan berjarak sekitar 15 km dari Yogyakarta ini begitu masyhur dan sering disebut-sebut sebagai candi Buddha terbesar di dunia. Meski validitas informasinya perlu dikaji ulang, namun tak jarang pula muncul klaim bahwa candi ini termasuk dalam salah satu dari tujuh keajaiban dunia (kemenlu.go.id, 17 April 2023).

Menurut pendapat penemu pertamanya yakni Thomas Stamford Raffless, nama Borobudur dimaknai sebagai Bara yang berarti besar dan Budhur artinya Buddha (Ahmad Ardiansyah, 2016). Dalam Kitab Negarakertagama karangan Mpu Prapanca yang ditulis pada tahun 1365, candi ini disebut sebagai Budur dan tercatat sebagai tempat mediasi penganut Buddha. Candi ini diceritakan sebagai sebuah peninggalan Wangsa Syailendra, sebuah dinasti yang hanya mampu berdiri sejak pertengahan abad ke-8 hingga pertengahan abad ke-9 di Jawa Tengah, dan dibangun sejak sekitar tahun 800 Masehi. Perancangnya adalah seorang penyair, filsuf sekaligus arsitek bernama Gunadharma (K. Krishna Murthy, 1994).

Versi sejarah yang mengatakan bahwa Candi Borobudur adalah salah satu candi peninggalan Buddha Mahayana telah terekam luas dan masuk ke dalam memori masyarakat Indonesia bertahun-tahun lamanya. Klaim tersebut juga diperkuat oleh keberadaan ratusan arca Buddha, baik yang terletak di dalam stupa maupun di luarnya. Kemapanan identitas dan sejarah Borobudur yang telah berlangsung cukup lama ini kemudian diusik oleh munculnya sebuah versi sejarah baru yang mengatakan bahwa Candi Borobudur merupakan peninggalan Nabi Sulaiman.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Yang bukan hanya berseberangan, namun narasi sejarah yang dimunculkan cenderung mengada-ada. Atau, bisa disebut ‘cocoklogi’ lebih tepatnya. Konten-konten yang menceritakan versi sejarah ini pun banyak bertebaran di media sosial. Salah satu dari banyaknya video yang diunggah bahkan telah ditonton lebih dari 2 juta kali di Youtube.

Setelah ditelusuri lebih lanjut, argumentasi sejarah versi baru ini ternyata muncul dari seorang dosen matematika Islam di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bernama Fahmi Basya. Kiai yang juga dosen ini berasal dari Padang, Sumatera Barat dan merupakan salah seorang alumnus FMIPA Universitas Indonesia. (Fahmi Basah – Fahmi Basya – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas diakses pada 17 April 2023). Salah satu bukunya yang berjudul “Borobudur dan Peninggalan Nabi Sulaiman” menjadi begitu masyhur dan banyak dirujuk dalam beberapa konten Youtube. Dalam tulisannya, ia menyebut bahwa pendirian Candi Borobudur berkaitan dengan kisah Nabi Sulaiman dan Ratu Balqis, yakni seorang ratu dari sebuah negeri bernama Saba.

Diceritakan bahwa asal muasal pendirian Borobudur adalah usaha Nabi Sulaiman untuk mengislamkan Negeri Saba dan dibalas oleh Ratu Balqis dengan mengirimkan hadiah sebagai bentuk penolakan. Hal tersebut kemudian memancing Nabi Sulaiman untuk memanggil Sang Ratu datang ke kediamannya. Singkat cerita, Sang Nabi ingin membuat Ratu Balqis terkesan dengan memindahkan singgasananya ke kediaman Nabi sebelum Ratu Balqis sampai. Hal tersebut ia lakukan dengan bantuan jin ifrit. Kejadian itu kemudian membuat Ratu Balqis terenyuh dan akhirnya mau masuk Islam. (Channel Islam Populer, (96) Akhirnya Terbongkar! Ternyata Candi Borobudur Peninggalan Nabi Sulaiman? – YouTube diakses pada 17 April 2023).

Baca Juga :  Menjaga Integritas Pemilu

Singgasana itulah yang akhirnya diklaim oleh Fahmi Basya sebagai Candi Borobudur yang hari ini kita kenal. Ia menganggap bahwa Candi Borobudur adalah singgasana Ratu Balqis sebagaima disebutkan dalam Al-Quran. Beberapa bukti yang dipaparkan oleh Fahmi Basya yang turut ditampilkan dalam beberapa video Youtube adalah mengenai letak Negeri Saba. Ia mengaitkannya dengan keberadaan hutan di sebelah kanan dan kiri kediaman Ratu Balqis. Hutan-hutan ini menurutnya telah disebutkan di dalam Al-Quran Surat Saba’ ayat 14.

Fahmi kemudian menyamakan ayat ini dengan Wonosobo, salah satu daerah yang berada tak begitu jauh dari Borobudur. Ia memaknai Wonosobo sebagai Wana yang berarti hutan dan Saba yang berarti Negeri Saba. (Channel Ensiklopedia Al-Fatih, (96) AJAIB ! Candi Borobudur Adalah Peninggalan Nabi SUlaiman ? Yang Disebut Negeri Saba Dan Atlantis ? – YouTube diakses pada 17 April 2023). Terdapat banyak lagi paparan bukti lain yang ditunjukkan oleh Fahmi demi mendukung argumentasi sejarahnya, namun yang tersebut diatas dirasa telah cukup untuk menjadi gambaran.

Apa yang dinarasikan oleh Fahmi Basya sebenarnya bukan yang pertama kali terjadi. Pengaitan sejarah Nusantara dengan Islam juga pernah dilakukan oleh Ustad Adi Hidayat (UAH) yang mengatakan dalam ceramahnya bahwa Kapiten Pattimura tidak bernama asli Thomas Matulessy, melainkan Ahmad Lussy (Channel Audio Dakwah, (97) Ternyata Islam, Ini Nama Asli Kapitan Pattimura – Ustadz Adi Hidayat LC MA – YouTube diakses pada 18 April 2023).

Argumentasi ini diperkuat oleh Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya yang berjudul Api Sejarah, bahwa Kapiten Pattimura adalah seorang muslim. Ia mengatakan bahwa Kapiten Pattimura adalah tokoh yang berjasa dalam melawan Belanda yang akan memutus hubungan Kerajaan Turki dengan kekuasaan Islam di Nusantara karena ingin menguasai jalur rempah. (Dipna Videlia Pulsanya, 2022). Versi sejarah macam ini lagi-lagi muncul dalam bentuk cocoklogi dan berlawanan dengan penelitian para sejarawan.

Sebagaimana di Indonesia, fenomena ini juga juga pernah terjadi di belahan dunia lain dalam waktu yang lama. Sejarawan menyebut Fenomena ini sebagai Pseudo History. Salah satu contoh Pseudo History yang terkenal adalah kisah perjalanan Laksamana Cheng Ho ke Amerika Serikat pada tahun 1421 yang ditulis oleh Gavin Menzies dalam bukunya yang berjudul “1421: The Year China Discovered America”. Cerita tersebut dianggap sebagai fiksi oleh sejarawan karena tidak mampu memaparkan bukti-bukti yang kuat atas penulisannya. (Teuku Reza Fadeli dalam Pseudohistory: Masa Lalu yang Keliru, (anotasi.com), diakses pada 17 April 2023).

Baca Juga :  Doa untuk Kaum Muslim

Pseudo History seringkali mengaburkan fakta-fakta sejarah dan cenderung mendasarkan argumentasinya pada mitos, legenda, teori konspirasi atau teori-teori lain yang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah. 


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pseudo berarti semu. Kata pseudo biasa digunakan untuk menyebut sesuatu yang samar atau disembunyikan, seperti contoh sebutan pseudonym yang digunakan seorang penulis untuk menyembunyikan identitasnya. Dalam konteks pembahasan kali ini, pseudo history dapat pula disebut sebagai sejarah semu. Kemunculan pseudo history adalah fenomena dimana seseorang menyampaikan gagasan-gagasan yang salah tentang proses sejarah, meskipun didasarkan pada fakta-fakta yang diakui.  (Douglas Allchim, 2004).

Sederhananya, Pseudo History merujuk pada tulisan yang diklaim sebagai sejarah, namun tidak didukung oleh bukti sejarah yang sahih. Tidak hanya minim dalam penggunaan bukti sejarah yang valid, Pseudo History seringkali mengaburkan fakta-fakta sejarah dan cenderung mendasarkan argumentasinya pada mitos, legenda, teori konspirasi atau teori-teori lain yang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah. Keberadaan sejarah semu ini berusaha mengaburkan ilmu pengetahuan yang nyata menjadi fakta-fakta yang diidealkan secara imajiner (Douglas Allchim, 2004).

Pertanyaan mendasar yang perlu dilontarkan berkaitan dengan fenomena tersebut adalah mengapa narasi semacam itu bisa muncul dan apa yang membuat orang-orang mudah percaya? Merujuk pada artikel yang ditulis oleh Teuku Reza Fadeli, ia mengatakan bahwa pseudo history muncul sebagai sebuah angin segar di tengah kerumitan hidup yang terjadi di sekitar masyarakat. Banyaknya peristiwa dan masalah yang begitu kompleks terjadi membuat masyarakat mengekspektasikan sebuah jawaban yang lebih memuaskan atas kondisi di sekitar mereka. Dalam titik inilah Pseudo History kemudian hadir mengisi ruang kosong tersebut. (Teuku Reza Fadeli, Pseudohistory: Masa Lalu yang Keliru, (anotasi.com) diakses pada 17 April 2023).

Namun alih-alih memberikan jawaban yang didasari oleh fakta, jawaban yang ditawarkan justru cenderung mengada-ada, sarat akan muatan cocoklogi serta menjerumuskan masyarakat ke dalam kekeliruan.

Jika menilik banyaknya viewers yang telah menonton konten Youtube sejenis  kisah Borobudur peninggalan Nabi Sulaiman, dapat disimpulkan bahwa internet dan media sosial telah memberikan dampak yang signifikan dalam persebaran pseudo history. Jutaan penonton dan ribuan komentar yang berulang di beberapa konten tentu bukanlah angka yang dapat diremehkan. Bukti bahwa narasi sejarah semu tentang Borobudur ini telah begitu dipercaya oleh netizen terekam dalam jejak digital Youtube dan dapat dilihat langsung dalam kolom komentar.

Glorifikasi agama tentu saja menjadi salah satu alasan mengapa kemunculan sejarah semu ini lebih mudah diterima, terutama bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Salah satu buktinya dapat dilihat dalam konten yang ditampilkan oleh channel Sejarah dan Peristiwa yang berjudul “Bukti Borobudur Peninggalan Nabi Sulaiman” (Sejarah dan Peristiwa, (97) Borobudur – Bukti Candi Borobudur Peninggalan Nabi Sulaiman – YouTube diakses pada 18 April 2023).

Baca Juga :  Narges, Perempuan, dan Perdamaian

Dalam konten tersebut, kata ”Maasyaallah” banyak muncul di kolom komentar. Kalimat tersebut berasal dari Bahasa Arab yang berarti “apa yang dikehendaki Allah”. Dalam Islam, ungkapan tersebut biasa dikeluarkan sebagai ekspresi kekaguman atas sesuatu, yang dalam konteks ini menunjukkan respon kekaguman netizen atas penemuan Borobudur sebagai Peninggalan Nabi Sulaiman.

Faktor lain yang mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap pseudo history adalah rendahnya pemahaman tentang metode-metode ilmiah. Rendahnya pendidikan tentu menjadi faktor utama mengapa pemahaman tersebut sangat minim. Dilansir dari databoks.katadata.co.id, pada bulan Juni 2022 hanya sekitar 3% dari total populasi penduduk yang berkesempatan mengenyam Pendidikan tinggi. Sebaliknya, 23,6% dari total populasi justru tidak/belum bersekolah.

Sementara di posisi tertinggi kedua yakni 23, 4% ditempati oleh penduduk yang hanya mengenyam bangku sekolah dasar. (Viva Budi Kusnandar, 2004). Fakta rendahnya pendidikan ini memaparkan realita pahit bahwa masyarakat Indonesia sangatlah rentan terpengaruh oleh kemunculan informasi palsu sejenis pseudo history, terutama jika yang menyampaikan adalah orang yang berpengaruh dan memiliki citra terpelajar seperti Kiai Fahmi Basya.

Menghadapi fenomena pseudo history yang persebarannya begitu masif terutama di media sosial, sejarawan tentu saja tidak bisa hanya tinggal diam. Kerja-kerja penelitian sejarah sebagaimana yang telah dilakukan sebelumnya perlu terus dilanjutkan, namun tidak cukup berhenti di tahap itu saja. Realita bahwa hanya 3% populasi penduduk Indonesia yang mampu mengenyam pendidikan tinggi telah turut mempersempit persebaran publikasi ilmiah kepada segelintir orang saja.

Sejarawan perlu memperluas jangkauan tersebut, terutama kepada kelompok masyarakat yang minim pendidikan. Kedekatan masyarakat dengan media sosial hari ini pada dasarnya bisa menjadi kesempatan emas untuk mempublikasi hasil penelitian ilmiah lebih luas. Jika pseudo history begitu mudah tersebar di media sosial, maka lewat media sosial pula lah narasi sejarah saingan dapat disebarkan dengan mudah.


Percepatan teknologi informasi yang begitu masif ini tidak boleh menjadikan sejarawan tertinggal, sebab narasi sejarah adalah jejak yang menjadi identitas penting  bagi suatu bangsa atau golongan.


Dalam hal ini, tentu saja transformasi content perlu dilakukan. Jika jurnal ilmiah menyediakan tulisan-tulisan dengan banyak istilah yang sulit dipahami awam, maka publikasi di media sosial menuntut sejarawan untuk lebih banyak menggunakan bahasa sehari-hari dalam menyampaikan gagasannya. Media yang digunakan pun perlu diubah dari tulisan panjang menjadi tulisan singkat yang padat atau dialihkan ke dalam ilustrasi gambar dan video sehingga lebih mudah dikonsumsi oleh masyarakat.

Percepatan teknologi informasi yang begitu masif ini tidak boleh menjadikan sejarawan tertinggal, sebab narasi sejarah adalah jejak yang menjadi identitas penting  bagi suatu bangsa atau golongan. Narasi sejarah ilmiah perlu terus dihidupkan agar kebenaran sejarah tetap hidup dan tidak digantikan oleh kehadiran sejarah semu.

Berita Terkait

Membaca Manuver Mas Wapres
Tahan! Jaga Diri dari Sembarangan Menuduh dan Menyebarkannya
Serba-serbi Guru
Titik Krusial; Jangan Paksakan Anakmu untuk Menjadi Seperti Kamu
Hari Ayah Takkan Terlewatkan Begitu Saja
Musibah dan Penderitaan Merupakan Cara Allah Untuk Menyempurnakan Ciptaan-Nya
Bulan Muhammad SAW: Pemimpin yang Adil Mutiara yang Hilang
Bulan Muhammad SAW: Kelanggengan dan Kemusnahan Agama

Berita Terkait

Jumat, 20 Desember 2024 - 18:28 WIB

Membaca Manuver Mas Wapres

Jumat, 20 Desember 2024 - 09:42 WIB

Tahan! Jaga Diri dari Sembarangan Menuduh dan Menyebarkannya

Selasa, 26 November 2024 - 15:00 WIB

Serba-serbi Guru

Jumat, 22 November 2024 - 05:18 WIB

Titik Krusial; Jangan Paksakan Anakmu untuk Menjadi Seperti Kamu

Selasa, 12 November 2024 - 07:29 WIB

Hari Ayah Takkan Terlewatkan Begitu Saja

Berita Terbaru

Ilustrasi (pixabay/nolesa.com)

Puisi

Puisi-puisi Tundra Alif Juliant

Rabu, 25 Des 2024 - 08:36 WIB