Menjaga Integritas Pemilu

Redaksi Nolesa

Minggu, 5 November 2023

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh AHMAD FARISI*

Jika tak ada upaya dan komitmen bersama untuk menjaga integritas Pemilu, tidak menutup kemungkinan, Pemilu 2024 akan menjadi pemilu terburuk pasca-reformasi.

Dalam konteks ini ada satu indikator penting mengapa Pemilu 2024 bisa jadi akan menjadi pemilu terburuk pasca-reformasi. Yakni, soal keterlibatan atau cawe-cawe Presiden yang terlampau jauh melampaui batas (offside). Jika cawe-cawe Presiden dimaksudkan untuk menjaga integritas pemilu sebagaimana pernah ditegaskan olehnya, hal itu justru bagus.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Namun, apa yang terjadi hari ini justru tidak demikian. Dengan kata lain, apa yang hari ini dilakukan Presiden justru bukan menjadi penjaga moral pemilu, namun terlibat aktif ikut bermain di dalamnya dengan memanfaatkan simbol-simbol dan kekuatan politik yang melekat padanya. Mulai partai, relawan, dan hingga lembaga negara seperti Badan Intelejen.

Meski mungkin sulit untuk membuktikan bahwa Presiden ikut bermain dalam kontestasi politik 2024, namun—melihat dari peran-peran simbolik yang dimainkan Presiden—sangat sulit untuk mengatakan Presiden tidak ikut bermain. Keterpilihan Kaesang sebagai Ketua Umum PSI dan keterpilihan Gibran sebagai cawapres Prabowo, misalnya, mungkinkah hal itu bisa dilepaskan dari sosok Presiden?

Baca Juga :  Seputar Preposisi

Banyak pihak, utamanya PSI, mengatakan bahwa dipilihnya Kaesang sebagai Ketua Umum PSI dan Gibran sebagai cawapres Prabowo karena Kaesang dan Gibran merupakan sosok anak muda yang berprestasi dan semacamnya. Namun, mungkinkah hal itu terjadi jika Kaesang dan Gibran bukan anak daripada Presiden? Tidak!

Jadi, sekali lagi, meski sulit dibuktikan bahwa ”Presiden sedang bermain-main” dengan kekuasaan yang dimilikinya, sulit pula untuk membuktikan bahwa ”Presiden tidak bermain-main” dalam seluruh rangkaian peristiwa yang terjadi secara mengejutkan belakangan ini.

Barisan pendukung Presiden mengatakan bahwa apa yang dilakukan Sang Presiden belakangan ini (dari menaikkan anak-mantunya menjadi wali kota dan terakhir menaikkan anak bungsunya menjadi ketua umum partai politik) merupakan bagian dari politik keberlanjutan. Dengan kata lain, dengan segala permainannya, Presiden ingin semua yang telah digagasnya untuk mencapai Indonesia maju terus bisa dilanjutkan oleh pemimpin-pemimpin selanjutnya.

Bahwa Presiden menginginkan apa yang telah digagasnya untuk menuju Indonesia maju itu sebenarnya sah-sah saja. Namun demikian, seharusnya Presiden menjalankan agenda itu sesuai porsi dan ruang yang bisa digunakan tanpa melampaui batas-batas moral-etis.

Baca Juga :  Hidup adalah Misteri, Novel, dan Cerita-Cerita Fiksi Lainnya

Meminjam pribahasa Jawa, apa yang dilakukan Presiden bisa saja bener ning ora pener. Artinya, langkah dan manuver Presiden boleh jadi bener (benar: tidak melanggar aturan dan semacamnya), namun tidak pener (tidak tepat; tidak bijak dan bajik secara moral).

Menjadi tidak bijak karena keterlibatan (cawe-cawe) yang dimainkan Presiden telah mela melampaui batas kewajaran dan berpotensi menegasikan nilai-nilai dan norma-norma yang harusnya ditegakkan.. Pasangan capres-cawapres, yang seharusnya adu gagasan merebut hati rakyat, menjadi mewek-mewek di bawah ketiak Presiden untuk mendapat dukungannya.

Hal itu jelas tidak baik dan bagus bagi demokrasi kita. Bisa dikatakan, dalam konteks ini, Presiden telah menjadikan kekuasaannya untuk melakukan hegemoni. Mengontrol dan mengendalikan seluruh kekuatan politik yang ada semata untuk memuluskan agenda-agenda politiknya, yang sebenarnya mendapat penentangan dan resistensi dari masyarakat.

Ionisnya, Presiden juga melibatkan anak-anaknya untuk masuk ke dalam kekuasaan politik. Membangun dinasti. Sesuatu yang sangat bertentangan dengan demokrasi itu sendiri. Hal itu jelas sangatlah problematik dan berbahaya bagi demokrasi kita. Seolah-olah, pemilu–hanya perhelatan kompetisi prosedural yang tidak memiliki nilai dan substansi.

Baca Juga :  Kita Hidup Dimasa yang Amat Jauh dari Generasi Terbaik

Menurut Francis Fukuyama (1999) salah satu ciri dari negara demokratis adalah dilaksanakannya pemilu berkala secara adil. Namun demikian, kata Fukuyama, tidak semua negara yang menyelenggarakan pemilu berkala bisa dikatakan sebagai negara demokratis.

Sebab, dalam praktiknya, banyak pemilu yang meski tampak adil dan demokratis, namun sesungguhnya tak lebih dari sekadar ”pemilu bohongan” yang tidak benar-benar dilakukan untuk menghasilkan kepemimpinan baru yang lebih berkualitas. Melainkan hanya untuk mengganti aktor politik namun dengan watak dan perilaku politik yang sama.

Itulah yang oleh Steven Levistky dan Daniel Ziblatt (2018) dalam How Democracies Die disebut sebagai pemimpin demokratis namun berspesialisasi sebagai pembunuh demokrasi. Yakni, menjadikan demokrasi sebagai alat untuk memperkokoh kekuasaan diri, dan pada saat bersamaan menegasikan kelompok lain yang juga memiliki hak politik yang sama.

Oleh karena itu, Presiden hendaknya mulai menyadari bahaya peran yang dimainkannya sekarang. Jangan sampai hanya karena ambisi untuk mempertahankan tahta dan kuasa, segala cara dihalalkan. Jika memang Presiden ingin program-programnya dilanjutkan, lakukanlah semua itu dengan cara-cara yang bijak tanpa mengorbankan integritas pemilu.


*) Pengamat politik

Berita Terkait

Membangun Ruang Sosial Lansia di Era Digital
Membenahi Institusi Kepolisian Kita
Hikmah Ramadan: Sabar dan Takdir
Kepada Siapa Kepala Daerah Tunduk?
Hidup pada Bulan Ramadan Tetapi Tidak Terampuni Dosanya?
Menanti Kenegarawanan Presiden
Isra Mikraj Sebuah Perjalanan Spiritual yang Hanya Bisa Dipercaya oleh Orang yang Beriman
Akhir dari Presidensial Threshold

Berita Terkait

Selasa, 11 Maret 2025 - 05:00 WIB

Membangun Ruang Sosial Lansia di Era Digital

Sabtu, 8 Maret 2025 - 19:28 WIB

Membenahi Institusi Kepolisian Kita

Senin, 3 Maret 2025 - 04:13 WIB

Hikmah Ramadan: Sabar dan Takdir

Sabtu, 1 Maret 2025 - 05:08 WIB

Kepada Siapa Kepala Daerah Tunduk?

Jumat, 28 Februari 2025 - 15:07 WIB

Hidup pada Bulan Ramadan Tetapi Tidak Terampuni Dosanya?

Berita Terbaru