Judul: Politik Agraria Madura
Penulis: A. Dardiri Zubairi
Penerbit: Literatus Pustaka
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Cetakan: Pertama, Februari 2023
Tebal: xiv + 100 halaman
ISBN: 978-623-09-1707-3
Masyarakat pedesaan tentu tidak mau terus tertinggal dan terbelakang. Mereka ingin terentas dari kesengsaraan hidup yang fasilitasnya serba terbatas. Mereka menginginkan kemajuan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Namun, tak banyak di antara mereka menyadari bahwa di balik terkabulnya kemajuan yang mereka nikmati kemudian, selain berdampak positif juga menimbulkan dampak negatif. Baik secara langsung maupun samar-samar.
Dari sekian banyak orang yang tidak menyadari atau bahkan tak acuh akan perubahan yang terjadi di lingkungannya, penulis buku Politik Agraria Madura adalah satu di antara sedikit orang yang begitu peka, peduli, dan menaruh simpati besar terhadap perubahan itu. Sebagai tokoh agama di Madura, Kiai A. Dardiri Zubairi tidak hanya menyebarkan ilmu agama di pesantrennya dan menggelar kegiatan-kegiatan religi bersama masyarakat setempat. Tetapi juga sangat aktif menyuarakan jiwa nasionalismenya, serta melakukan aksi nyata demi mempertahankan hak dan kultur masyarakat yang berdaulat.
Bagaimana infrastruktur di Madura dibangun—sejak terbentangnya Jembatan Suramadu, kehadiran Bandara Trunojoyo Sumenep, isu Pelabuhan Dungkek yang konon akan dijadikan pelabuhan internasional, perencanaan wisata “awet muda” di Pulau Giliyang karena kandungan oksigennya yang diketahui terbaik kedua di dunia setelah Laut Mati, Jordania—otomatis membuat orang Madura harus menepuk dada. Sebab, dengan demikian Madura sudah terbilang maju. Seolah itu merupakan salam pembuka bagi Madura untuk menyambut predikat “provinsi” yang sudah lama jadi wacana.
Tapi, hal tersebut akan beda cerita di hadapan seseorang yang melek sosial-budaya seperti Kiai Dardiri. Perlu pengkajian yang serius menyikapi bermacam bentuk prasarana dan program gigantik itu. Jika tidak, dikhawatirkan Madura bakal dikuasai investor asing. Jelas saja warga lokal akan tersisih, yang dalam bahasa Kiai Dardiri: menjadi tamu di rumah sendiri. Maka sikap kritis dibutuhkan dalam menghadapi segala macam perubahan di sekitar kita, dalam hal ini aneka pembangunan yang kian masif. Jangan sampai kita dibodohi sehingga jadi tumbal kekuasaan.
Seiring maraknya pembangunan yang terus digenjot oleh pemerintah, banyak lahan-lahan yang lepas ke tangan pemodal. Tak pelak, di waktu yang bersamaan lepaslah pula nilai-nilai sakralitasnya. Padahal, hubungan orang Madura dengan tanahnya adalah sekaligus hubungan dengan para leluhurnya (hal. 3). Barangkali itulah sebabnya sering kali kita temui, orang Madura berwasiat agar jasadnya kelak dikubur di tanahnya sendiri.
Sayang sekali, seakan tidak punya pilihan lain, keadaan menuntut mereka untuk menjual tana sangkol (tanah warisan) yang sejak dulu menjadi sumber penghidupan mereka. Falsafah atani atana’ (jika bertani, maka akan bertanak) kian memudar di mata orang Madura. Kenyang saja tidak cukup. Di samping harga kebutuhan pokok makin melonjak, lilitan tradisi yang selalu berkaitan dengan materi, mereka juga ingin kebutuhan sekunder bahkan tersier terpenuhi untuk menjaga keseimbangan dengan zaman.
Belum lagi, usaha pertanian dan peternakan belakangan ini dirasa nyaris tidak sebanding dengan modal dan tenaga yang dihabiskan. Malah cenderung merugi. Tak ayal kemudian mereka dengan mudah melepas sawah atau tegalannya walaupun—kata Kiai Dardiri—dibeli dengan harga yang sangat murah oleh investor.
Lalu, hasil dari penjualan tanah itu mereka jadikan bekal untuk bermigrasi ke kota-kota besar dan membangun usaha yang jauh lebih menjanjikan di sana. Sebagaimana asumsi Muhammad Al-Fayyadl dalam kata pengantarnya di buku ini, bahwa berjalannya kapitalisme di Madura tentu berkaitan dengan arus migrasi penghuninya ke luar daerah, fenomena kemiskinan, kriminalitas, dan kepadatan penduduk.
Mereka seolah lupa kalau tanah bukan sekadar benda atau barang yang dapat ditukar dengan uang. Melainkan juga masa depan anak-cucu mereka, ajaga tana ajaga na’ poto. Harga mati sebetulnya. Akan tetapi, lagi-lagi tekanan situasi yang digambarkan di atas membius mereka sampai seperti tak sadarkan diri. Sehingga tak perlu berpikir panjang untuk menjual kekayaan yang sangat berharga itu. Lebih-lebih mereka telah membentur kepercayaan mereka sendiri terhadap sesuatu yang sifatnya supranatural. Ini berkenaan dengan mitos bahwa, tana sangkolan akan mengundang laknat jika dijual sembarangan tanpa alasan yang dibenarkan dari sudut kebudayaan Madura (hal. 21).
Salah satu fakta yang ditimbulkan oleh alih fungsi lahan-lahan itu, adalah meluasnya industrialisasi tambak udang dan garam yang kini sedang berlangsung di Madura. Utamanya di sepanjang pesisir yang mengelilingi Kabupaten Sumenep (hal. 12). Dampaknya juga tidak main-main. Perairan laut tercemar, yang itu menumbuhkan kecemasan di dada para nelayan. Sawah-sawah juga mengalami nasib serupa. Sementara warga kian terpojok, tertekan, dan merasa asing. Tak terkecuali mereka yang tetap bersikeras mempertahankan tanahnya dari bujuk-rayu makelar tanah.
Fakta lain, yakni semakin melebarnya tambang fosfat di sejumlah kecamatan di Sumenep. Ironisnya, hal ini justru disambut ramah oleh Pemerintah Kabupaten Sumenep sendiri. Tak terelakkan, kemarau panjang serta krisis air menimpa warga Sumenep sebagai akibat dari proses eksploitasi yang terus membabi-buta. Selain itu, masih banyak persoalan dan dampak lain yang diuraikan secara kompleks dalam 16 esai di buku ini, didukung data-data yang tak kalah kompleksnya. Penulisnya pun tidak sebatas ngopi dan merokok sambil lalu menuangkan gagasan dan keresahannya. Tapi beliau turun langsung ke lapangan.
Sosok karismatik itu sangat menyayangkan, betapa banyak pembangunan hanya dilihat dari sudut pandang kapitalnya, dan abai terhadap konteks sosial-budaya masyarakatnya (hal. 46). Besar harapan beliau, agar pihak pemerintah selalu mengedepankan sosialisasi kemasyarakatan terlebih dahulu sebelum menjalankan proyek pembangunan di wilayah mereka tinggal. Dan, tentu saja ketenteraman dan kesejahteraan mereka dari berbagai aspek harus menjadi prioritas. Biar tidak semakin tertindas dan ruang hidupnya terampas. Suaranya harus benar-benar didengar. Kalaupun mereka menolak tawaran pemerintah, pendapatnya harus tetap dihargai.
Sebagai penutup, selamat kepada Kiai Dardiri atas terbitnya buku terbarunya ini. Terima kasih sudah membela rakyat kecil dengan tegas dan lantang. Panjang umur perjuangan. Salam takzim.
Sumenep, 22 Februari 2023