Judul Buku : Logika Ushul Fiqh
Penulis : Prof. Dr. H. Abu Yazid, M.A., LL.M
Penerbit : IRCiSoD, 2019
Rasulullah Saw. memiliki multi tugas sebagai pemimpin umat. Di samping sebagai pemimpin otoritas tasyri’ dalam membuat aturan syariat, beliau juga mempunyai kewajiban tanfidzi sebagai pelaksana syariat itu sendiri.
Selain itu Rasulullah Saw. sebagai penyampai risalah (mubaligh) juga berkedudukan sebagai imam yang disegani, hakim yang bijaksana serta mufti yang mendapat limpahan ilmu dari Allah Swt. Dengan demikian, Rasulullah Saw. adalah imam al-a’immah, qadhi al-qudhat, dan ‘alim al-ulama.
Atas dasar itu pada masa Rasulullah Saw, pemabagian ilmu ke dalam beberapa sub-subnya belumlah diperlukan, karena semua jawaban atas segala persoalan kehidupan beragama dan berbangsa datang dari Rasulullah Saw. secara langsung dengan bimbingan Tuhan melalui firman-firman-Nya (Al-Qur’an).
Demikian juga pada periode para sahabat, khususnya pada masa kepimimpinan al-Khulafa’ ar-Rasyidin. Pembagian ilmu ke dalam beberapa subnya juga belum dilakukan, mengingat pada saat itu para sahabat yang ada pernah hidup dengan Rasulullah Saw, yang secara pemahaman, banyak memahami terhadap sebab-sebab turunnya ayat (asbab an-nusul), rahasia-rahasia dan cara-cara pembentukan undang-undang dalam ajaran agama Islam.
Pada perkembangan selanjutnya, yakni pada era tabi’in, pembagian ilmu termasuk logika hukum belum juga dilakukan, karena tabi’in sebagai generasi kedua setelah sahabat masih mendapat pelajaran langsung, utamanya ilmu fiqh dari para sahabat yang secara nasab keilmuan memiliki ketersambungan yang paling dekat dengan Rasulullah Saw. (hlm 77).
Beberapa saat kemudian, pada masa tabi’in at-tabi’in, perkembangan zaman semakin pesat, penyebaran Islam semakin meluas ke berbagai daerah, dan pergaulan bahasa Arab pun bercampur aduk dengan komunitas ‘ajam (Bukan Arab). Dalam kondisi seperti ini, maka dibentuklah kaidah-kaidah hukum sebagai rujukan bagi umat Islam dalam menjawab tantangan dan persoalan zaman yang belum terjadi pada zaman sebelumnya, dengan harapan para mujtahid dapat memberikan pemahaman yang benar dan proporsional terhadap al-Quran dan sunnah.
Dilihat dari segi sejarahnya ilmu ushul fiqh lahir dan tumbuh berkembang dalam proses penelusuran dan pencarian pengetahuan untuk membangun preskripsi hukum. Secara historis, cara berpikir ushuli sebagai cara untuk memperoleh pengetahuan hukum dapat dikategorikan ke dalam dua pola: Pertama, berpikir secara rasional dengan menganggap bahwa kebenaran telah ada sejak dahulu kala. Kedua, berpikir secara empiris, yang melandaskan ilmu pada faktor pengetahuan dan realitas masyarakat (hlm 11).
Dalam buku ini, penulis mendefinisikan ilmu ushul fiqh sebagai perangkat metodologi penggalian hukum berdasarkan dalil-dalil naqli (teks wahyu) mau pun dalil-dalil aqli (penalaran ilmiah). Jadi, sebagai sebuah disiplin ilmu pengetahuan yang mempunyai prosedur dan langkah-langkah tertentu.
Ushul fiqh dibangun selain mengacu pada teks wahyu, juga didasarkan pada logika berpikir secara sistematis dan rasional. Berbeda dengan disiplin ilmu lainnya yang hanya mengacu pada salah satu antara wahyu dan logika.
Berdasarkan tujuannya, ushul fiqh memiliki misi untuk menjembatani keberadaan teks wahyu yang statis dengan realitas sosial masyarakat yang terus bergerak dinamis sehingga dari situ, sebuah produk hukum yang moderat dan toleran bisa dilahirkan.
Buku ini sangat penting untuk dibaca mengingat Kondisi zaman yang semakin maju dan banyaknya persoalan hukum yang tidak tercantum dalam teks wahyu (Al-Qur’an) secara pasti. Tidak hanya itu, buku ini akan membantu kita untuk memahami cara-cara mengambil hukum yang baik, seperti menggunakan metode qiyas (analogi) misalkan.
Penulis: Liyana