Mimbar, NOLESA.com – Berbagai peristiwa yang belakangan ini terjadi di MK telah membuat publik pesimistis akan adanya MK. Mulai dari keengganan Ketua MK Anwar Usman mundur dari MK pasca-menikahi adik Presiden Jokowi; pemberhentian Hakim Aswanto secara sepihak oleh DPR; skandal pengubahan substansi putusan oleh Hakim Guntur Hamzah, dan hingga yang terbaru; putusan MK tentang masa jabatan pimpinan KPK yang sangat problematik.
Pesimisme itu terekam jelas dalam berbagai narasi kekecewaan yang diungkapkan publik, mulai dari penyebutan MK sebagai Mahkamah Keluarga dan hingga penyebutan MK sebagai Mahkamah Koruptif. Publik menilai, MK sudah tak profesional dan tak bisa diandalkan. Baik secara kelembagaan maupun putusan-putusan yang dikeluarkannya.
Secara kelembagaan, MK dinilai sudah tak bersih. Yang putusan-putusannya dinilai politis, penuh dengan tanda tanya, dan tidak memiliki landasan yang kuat. Alias tidak bisa dipertanggungjawabkan. Putusan semacam ini bisa kita lihat, misalnya, dalam putusan MK tentang masa jabatan pimpinan KPK yang secara logika hukum, sangat lemah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam Putusan Nomor 112/PUU-XX/2022 itu MK mengabulkan permohonan uji materi Pasal 34 UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK terkait masa jabatan pimpinan KPK yang diajukan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron. Yang semula empat tahun menjadi lima tahun. Dalam pertimbangannya, MK menyatakan bahwa pengaturan masa jabatan pimpinan KPK yang berbeda dengan masa jabatan pimpinan atau anggota lembaga independen yang bersifat constitutional importance telah melanggar prinsip keadilan dan juga diskriminatif.
Atas dasar hal itu, menurut MK masa jabatan pimpinan KPK harusnya disamakan dengan masa jabatan pimpinan komisi dan lembaga yang bersifat constitutional importance, yakni lima tahun. Sehingga dapat memenuhi prinsip kesetaraan dan keadilan bagi pimpinan KPK. Inilah logika keadilan versi MK. Persis logika keadilan anak-anak yang menuntut diperlukan secara adil (sama) oleh orang tuanya di antara saudara-saudaranya.
Selain itu, yang lebih mengagetkan lagi adalah pertimbangan MK yang mengatakan bahwa meski penentuan masa jabatan pimpinan KPK adalah kebijakan hukum terbuka, namun menurut MK, demi keadilan, prinsip open legal policy itu bisa dikesampingkan. Padahal, selama ini MK selalu memegang teguh prinsip itu dengan menolak berbagai uji materi terhadap pasal-pasal yang menurut MK merupakan kewenangan pembentuk undangan-undang.
Ambil contoh, ketentuan ambang batas pencalonan presiden, misalnya, meski digugat secara berulang-ulang oleh berbagai pihak, MK tetap menolak untuk mengujinya karena merupakan kebijakan hukum terbuka. Lalu mengapa ketika berkaitan dengan masa jabatan KPK MK menganggap bahwa prinsip open legal policy itu bisa dikesampingkan?
Tidak berhenti di situ, hal lain yang tak kalah mengagetkan adalah permintaan MK yang meminta pemerintah segera memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK yang sekarang. Menurut Juru Bicara MK Fajar Laksono, putusan MK itu bersifat mengikat sejak putusan itu dibacakan. Karena itu, masa jabatan pimpinan KPK yang akan berakhir pada Desember 2023 harus segera diperpanjang. Pertama kali dalam sejarah, yudikatif mengintervensi eksekutif.
Putusan pengadilan, yang seharusnya tidak boleh berlaku surut (non-retroaktif), kini oleh MK diminta untuk diberlakukan secara surut (retroaktif). Ada apa sebenarnya? Mengapa MK begitu bersemangat memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK? Yang bukan hanya menabrak sejumlah asas dan prinsip, tetapi juga sampai mengintervensi eksekutif? Meski sulit dibuktikan, namun sulit pula membantah bahwa MK sedang bermain-main di arena politik.
Menjaga Independensi MK
MK adalah penjaga utama konstitusi. Secara kewenangan-kelembagaan, hanya MK yang memiliki legal standing untuk menguji dan memutuskan apakah sebuah undang-undang konstitusional atau tidak. Karena itu, dalam memutus sebuah perkara khususnya, MK jangan bermain-main dan terkesan mengada-ada. Sebagai harapan terakhir masyarakat, MK perlu memutus sebuah perkara secara rasional agar benar-benar menjawab kebuntuan dalam bernegara. Bukan hanya berlindung di balik kata ”keadilan” tetapi juga mampu menggali dasar dalil hukum yang sekiranya tidak lagi mengandung kerancuan dan kontroversi.
Selain itu, MK juga penting untuk terus menjaga independensinya. Utamanya di tahun politik yang penuh dengan ketegangan, di mana MK jangan sampai menimbulkan kesan tidak independen dengan mengeluarkan putusan-putusan yang pincang, berat sebelah, dan terkesan berpihak kepada kelompok politik tertentu. Independensi adalah harta berharga MK yang harus dijaga dan dirawat. Tanpa independensi, MK hanya akan menjadi perahu rusak di tengah lautan kepentingan: terombang-ambing dan tidak memiliki tujuan yang jelas. Keberadaannya hanya akan diperalat untuk menguntungkan kelompok politik tertentu.
Karena itu, MK tidak boleh terjebak dalam pusaran politik. MK didirikan dengan cita-cita luhur untuk menjaga dan mengawal tegaknya negara demokrasi konstitusional. Karena itu, keberadaannya harus menjadi sumber jawaban hukum publik, bukan sekadar menjadi alat untuk menjustifikasi kepentingan politik di luar kepentingan konstitusional itu sendiri.