Oleh AHMAD FARISI*
Angka calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) terus meningkat. Sebuah alarm kritis yang menandai redupnya demokrasi lokal yang tidak boleh dianggap sepele.
Pada Pilkada 2015, baru terdapat tiga calon tunggal. Di Pilkada 2017, angka itu kemudian bertambah menjadi sembilan calon tunggal. Bertambah menjadi enam belas calon tunggal pada Pilkada 2018 dan terus bertambah menjadi 25 calon tunggal pada Pilkada 2020.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dampak tingginya syarat pencalonan?
Menurut beberapa kalangan, meningkatnya angka calon tunggal dalam setiap periode Pilkada itu disebabkan oleh tingginya syarat pencalonan yang harus dipenuhi parpol agar bisa mengusung kader terbaiknya sebagai pasangan calon kepala daerah (cakada).
Menurut Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada, parpol atau gabungan parpol dapat mendaftarkan cakada jika telah memenuhi syarat perolehan paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPRD atau 25% dari akumulasi perolehan suara sah dalam Pileg di daerah terkait. Ketentuan ini berlaku umum untuk semua daerah, baik daerah provinsi, kabupaten, atau kota.
Pada konteks ini, merujuk pada ketentuan tersebut, pendapat yang mengatakan bahwa banyaknya calon tunggal dalam Pilkada disebabkan oleh tingginya syarat pencalonan adalah benar. Sebab, dengan mengacu pada ketentuan tersebut, jika di suatu daerah ada 50 kursi legislatif, maka setiap parpol paling tidak harus mengantongi 10 kursi untuk bisa mengusung cakada. Dan itu cukup sulit dicapai oleh setiap parpol kecuali oleh beberapa parpol yang memang memiliki basis massa yang solid di akar rumput dan infrastruktur partai yang kuat.
Namun, di sisi lain, secara lebih substansial, sebenarnya fenomena calon tunggal yang terus meningkat dalam setiap periode Pilkada tidak serta merta disebabkan oleh tingginya syarat pencalonan yang harus dipenuhi oleh parpol untuk dapat mengusung cakada.
Dalam konteks cakada perseorangan yang harus mengumpulkan dukungan awal yang demikian besar, pendapat di atas memanglah masuk akal. Namun, dalam konteks parpol, pendapat di atas menjadi irelevan dan gagal menjawab permasalahan tingginya calon tunggal.
Sebab, meski syarat perolehan kursi/suara yang harus dipenuhi parpol cukup tinggi dan sulit dipenuhi, namun pada kenyataannya parpol masih memiliki alternatif lain untuk mengusung cakada, yakini dengan berkoalisi bersama parpol lain yang sama-sama tidak memenuhi syarat untuk memenuhi kekurangan syarat perolehan kursi/sara yang dibutuhkan.
Untuk itu, tingginya syarat perolehan suara yang harus dipenuhi oleh parpol sebenarnya bukanlah penyebab utama dibalik terus meningkatnya angka calon tunggal dalam Pilkada.
Sebagai misal, jika di daerah A ada 50 kursi legislatif, dan katakanlah 1 parpol mendapatkan 10 kursi dan delapan parpol lainnya masing-masing mendapatkan 5 kursi. Maka seharusnya paling tidak ada 3 pasangan cakada di daerah A dengan skema koalisi tiga-tiga.
Simulasi tersebut memperlihatkan, bahwa tingginya syarat pencalonan (kursi/suara) yang harus dipenuhi oleh parpol sama sekali bukan masalah berarti bagi parpol untuk mengusung cakada sehingga pelaksanaan Pilkada tidak hanya diikuti oleh satu calon tunggal. Lalu, apa masalah utama yang sebenarnya menjadi sebab meningkatnya angka calon tunggal?
Masalah utama
Masalah utama di balik meningkatnya angka calon tunggal dalam pelaksanaan Pilkada sebenarnya bukanlah pada syarat pencalonan (kursi/suara) yang sulit dipenuhi oleh parpol. Melainkan ada pada parpol itu sendiri yang enggan mengusung kader-kader mereka sendiri.
Keengganan parpol untuk mengusung kader-kadernya sendiri ini setidaknya dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama, buruknya kaderisasi yang dilakukan oleh parpol sehingga menyebabkan parpol mengalami krisis kader. Alias tak memiliki kader yang bisa diusung.
Kedua, menjamurnya sikap pragmatis pada tubuh parpol. Sikap pragmatis parpol ini salah satunya sangat tampak pada keputusan parpol dalam mengeluarkan surat rekomendasi atau tiket politik terkait pencalonan cakada. Di mana banyak parpol yang memang dengan sengaja tidak memberikan tiket politik untuk kadernya sendiri, tetapi justru memberikannya kepada sosok yang secara elektoral, memiliki peluang kemenangan yang tinggi.
Bahkan, di beberapa daerah, pemberian tiket politik kepada sosok non-kader itu tidak diberikan secara cuma-cuma. Melainkan diperjual belikan layaknya tiket kereta (Prilani & Serious, 2020). Fenomena jual beli-tiket politik ini lumrah terjadi. Dan, umumnya terjadi di daerah-daerah di mana parpol harus berhadapan dengan petahana yang secara kalkulasi politik, sulit dikalahkan.
Walhasil, dalam kondisi demikian, fenomena calon tunggal pun menjadi terus meningkat dalam setiap periode Pilkada. Agenda demokratisasi buntu, krisis kepemimpinan menjamur, dan demokrasi lokal ringsek jatuh dalam keterpurukan yang menyedihkan.
Merawat keberlanjutan demokrasi lokal
Bahwa semua parpol menargetkan kemenangan dalam setiap keputusan politik yang diambil, hal itu sebenarnya bukanlah persoalan. Namun, adalah tidak selayaknya demi kemenangan belaka parpol bersikap pragmatis dengan mengorbankan nasib demokrasi lokal.
Demokrasi lokal adalah salah satu hasil dari perjuangan reformasi. Karena itu, adalah kewajiban bagi setiap parpol untuk merawat dan menjaganya. Lebih-lebih bagi parpol-parpol yang secara genealogis, memang lahir dan tumbuh dari perjuangan dan rahim reformasi 98.
Tugas utama parpol adalah melakukan kaderisasi semaksimal mungkin, mencetak pemimpin unggul, dan kemudian menyuguhkannya kepada publik untuk dipilih sebagai pemimpin daerah. Bukan justru berbisnis tiket politik layaknya perusahaan transportasi.
Pilkada 2024 sudah di depan mata. Ini adalah saatnya bagi parpol membangun kesadaran politiknya untuk menjaga keberlanjutan demokrasi lokal dari badai krisis kepemimpinan. Parpol harus bertanggungjawab penuh atas tingginya calon tunggal dalam setiap periode Pilkada. Calon tunggal menjamur, demokrasi lokal dipertaruhkan.
*) Pengamat Politik