Melintasi Bayang Kelam dalam ‘William’ Karya Risa Saraswati

Redaksi Nolesa

Selasa, 11 Juni 2024

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Agil Wahyu Nur Isnaini (Foto: dokumen pribadi)

Agil Wahyu Nur Isnaini (Foto: dokumen pribadi)

Oleh Agil Wahyu Nur Isnaini

(Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Yogyakarta)


Sastra adalah cerminan dari kehidupan dan pemikiran manusia yang tidak dibatasi oleh realitas sehari-hari. Sebagai salah satu bentuk sastra, novel memiliki kekuatan untuk menghadirkan dunia imajinatif yang memikat bagi pembacanya. “William” karya Risa Saraswati adalah salah satu novel yang kali ini saya angkat dalam kritik ini. Diterbitkan oleh Bukune pada tahun 2017, dengan tebal buku 14 x 20 cm dan 216 halaman, novel ini mengisahkan perjalanan hidup William Van Kemmen di Hindia Belanda pada masa kolonial, menghadirkan cerita yang penuh dengan tantangan, perubahan, dan pengorbanan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Risa Saraswati adalah seorang penulis, penyanyi, dan penulis lagu berkebangsaan Indonesia yang memiliki kemampuan unik berkomunikasi dengan makhluk halus. Kemampuan ini tidak hanya membedakannya dari banyak penulis lain, tetapi juga menjadi sumber inspirasi utama dalam karyanya. Saraswati mulai dikenal luas sejak novel pertamanya, “Gerbang Dialog Danur,” dirilis. Novel ini berhasil menarik perhatian banyak pembaca dan kemudian diadaptasi menjadi sebuah film berjudul “Danur: I Can See Ghosts” pada tahun 2017. Film ini meraih kesuksesan besar, ditonton oleh hampir 3.000.000 orang di Indonesia, menjadikannya salah satu film horor terpopuler pada tahun itu. Kesuksesan ini mengukuhkan posisi Risa Saraswati sebagai penulis yang tidak hanya mampu menciptakan cerita menarik, tetapi juga menghidupkannya dalam bentuk visual yang memukau. Pengalamannya berinteraksi dengan dunia lain memberikan dimensi otentik dan menakutkan pada karyanya, membuat setiap ceritanya terasa nyata dan menghantui. Kesuksesan “Danur” membuka jalan bagi karya-karya selanjutnya, termasuk novel “William,” yang meskipun tidak berfokus pada elemen horor, tetap membawa kekhasan gaya bercerita Risa Saraswati yang kaya akan atmosfer dan emosi. Dalam “William,” Risa Saraswati menghadirkan kisah seorang anak londo yang harus menghadapi realitas pahit dan kompleks di Hindia Belanda pada masa penjajahan waktu itu.

Novel ini mengisahkan kedatangan keluarga Johan Van Kemmen ke Hindia Belanda untuk berbisnis. Johan Van Kemmen adalah anak tunggal dari seorang tentara Netherland bernama Nouval Van Kemmen, sementara istrinya, Maria Ann Zyl, adalah sosok wanita cantik namun arogan. William, anak mereka, tumbuh dalam lingkungan keluarga yang penuh dengan keangkuhan dan kekuasaan, namun ia menunjukkan sifat yang sangat berbeda. William adalah sosok yang rendah hati, pendiam, dan lebih suka menyendiri. Sikap patuh dan keinginannya untuk selalu menuruti kemauan kedua orang tuanya membuatnya sering kali merasa seperti boneka yang dikendalikan.

Maria, ibunya, memperlakukan William dengan buruk, menganggapnya sebagai beban. Ayahnya, Johan, tidak mampu membela William karena terlalu mencintai Maria. Sebelum pindah ke Hindia Belanda, hanya kakeknya, Nouval Van Kemmen, yang membela dan menyayangi William. Dalam novel ini, sering disajikan perdebatan kecil antara William dan Maria, yang selalu berujung pada penerimaan William karena ibunya tidak pernah berubah.

Baca Juga :  Ikan Buntal, Mem-Bendung Racun

Kehidupan mereka terguncang oleh berita kedatangan tentara Nippon yang kejam ke Hindia Belanda. Banyak orang Netherland memutuskan untuk kembali ke negara asal mereka demi menghindari tentara Nippon. Namun, Johan dan Maria memilih untuk tetap tinggal demi mengumpulkan lebih banyak kekayaan. Akhirnya, William menjadi korban kekejaman tentara Nippon, yang menebasnya dengan samurai saat ia memainkan biola kesayangannya.

Gaya bahasa dalam “William” sangat mudah dipahami, menjadikannya daya tarik tersendiri bagi para pembaca. Risa Saraswati menggunakan kalimat-kalimat indah yang mampu menyulut imajinasi pembaca, membuat mereka terus mengikuti alur cerita dan merasakan apa yang diceritakan dalam novel. Namun, meski gaya bahasa yang mudah dipahami ini merupakan kelebihan, hal ini juga bisa menjadi kelemahan karena membuat novel terasa kurang menantang secara intelektual. Pembaca yang mencari pengalaman membaca yang lebih kaya dan mendalam mungkin akan merasa kurang puas dengan penggunaan bahasa yang terlalu sederhana.

Karakterisasi dalam novel ini terasa terlalu hitam putih. Sifat baik William yang kontras dengan sifat buruk orang tuanya terasa terlalu sederhana dan tidak memberikan ruang untuk kompleksitas karakter yang lebih mendalam. Karakter Maria dan Johan digambarkan secara karikatural, kurang memberikan dimensi manusiawi yang lebih kaya. William, meskipun digambarkan sebagai sosok yang patuh dan penyendiri, kurang memiliki perkembangan karakter yang signifikan sepanjang cerita, membuat pembaca merasa kurang terhubung dengan perjalanan emosionalnya.

William adalah karakter yang penuh dengan kontradiksi. Di satu sisi, ia adalah anak yang patuh, baik hati, dan penyendiri; di sisi lain, ia adalah korban dari ketidakadilan dan keangkuhan orang tuanya. Hubungan antara William dan orang tuanya, terutama ibunya, penuh dengan ketegangan dan konflik. Maria adalah wanita yang arogan dan materialistis, yang memperlakukan William dengan buruk karena menganggapnya sebagai beban. Johan, meskipun mencintai William, terlalu lemah untuk membela anaknya melawan kekejaman Maria.

Di sini, penulis berhasil menonjolkan ketegangan internal dalam keluarga Van Kemmen. Namun, karakterisasi yang terlalu sederhana membuat pembaca sulit untuk sepenuhnya memahami motivasi dan perasaan karakter-karakter ini. Pengembangan karakter yang lebih mendalam dan kompleks akan membuat cerita lebih menarik dan realistis.

Latar belakang sejarah dan sosial dalam novel ini kurang dieksplorasi secara mendalam. Meskipun setting Hindia Belanda pada masa kolonial memberikan konteks yang menarik, penulis kurang menggali aspek-aspek sosial, politik, dan budaya yang kompleks pada masa itu. Novel ini lebih banyak fokus pada drama keluarga daripada menyajikan gambaran yang lebih luas tentang kehidupan di Hindia Belanda pada masa kolonial. Hal ini membuat novel terasa kurang mendalam dan kurang memberikan wawasan baru tentang periode sejarah tersebut.

Baca Juga :  Rahasia Cinta Sesunyi Cahaya

Hindia Belanda pada masa kolonial adalah periode yang penuh dengan dinamika sosial dan politik. Konflik antara Belanda dan pribumi, serta dampak kolonialisme terhadap masyarakat setempat, adalah tema-tema yang sangat kaya untuk dieksplorasi. Sayangnya, dalam “William,” latar belakang ini hanya berfungsi sebagai latar belakang yang tipis, tanpa penjelasan mendalam tentang dampak sosial dan politik dari kolonialisme. Penggambaran yang lebih mendalam tentang konteks sejarah ini akan memberikan dimensi tambahan pada cerita dan membuatnya lebih relevan dan informatif bagi pembaca.

Konflik utama dalam “William” adalah ketegangan antara William dan ibunya, Maria. Konflik ini diperparah oleh kedatangan tentara Nippon yang mengancam kehidupan mereka di Hindia Belanda. Namun, penyelesaian konflik dalam novel ini terasa terburu-buru dan kurang memuaskan. William akhirnya menjadi korban kekejaman tentara Nippon, yang menebasnya dengan samurai saat ia memainkan biola kesayangannya. Penyelesaian yang tragis ini meninggalkan banyak pertanyaan dan ketidakpuasan bagi pembaca.

Konflik keluarga dalam “William” adalah refleksi dari ketegangan internal yang sering terjadi dalam kehidupan nyata. Ketegangan antara keinginan individu dan harapan keluarga, serta dampak dari lingkungan sosial dan politik, adalah tema-tema yang relevan dan penting. Namun, penyelesaian yang terburu-buru dan kurang memuaskan membuat cerita ini kurang berdampak. Penyelesaian yang lebih mendalam dan reflektif akan memberikan kesempatan bagi pembaca untuk lebih memahami dan merenungkan konflik yang dihadapi oleh karakter-karakter dalam novel.

Dengan memperdalam karakterisasi, eksplorasi latar belakang sejarah, dan penggunaan bahasa yang lebih kaya, “William” bisa menjadi karya yang lebih bermakna dan mendalam. Novel ini sudah memiliki dasar cerita yang kuat, namun dengan beberapa perbaikan, dapat memberikan pengalaman membaca yang lebih memuaskan dan berkesan. William, Maria, dan Johan dapat dikembangkan lebih lanjut untuk menampilkan motivasi, ketakutan, dan harapan mereka dengan lebih mendalam. Penambahan lapisan-lapisan emosional pada karakter-karakter ini akan membuat mereka lebih manusiawi dan relatable. Selain itu, penggunaan bahasa yang lebih kaya dan bervariasi bisa memberikan pengalaman membaca yang lebih mendalam dan memuaskan. Salah satu cara yang efektif adalah dengan menambahkan dialog dalam bahasa Belanda. Mengingat latar belakang sejarah dan budaya dari novel ini, penggunaan bahasa Belanda dapat memperkuat setting dan memberikan sentuhan autentik yang lebih kuat kepada pembaca. Ini tidak hanya memperkaya narasi tetapi juga memberikan dimensi tambahan yang dapat membantu pembaca lebih memahami dan merasakan suasana zaman kolonial Hindia Belanda.

Penggunaan bahasa Belanda dalam dialog juga bisa digunakan untuk menonjolkan perbedaan budaya dan status sosial antara karakter-karakter Belanda dan pribumi. Misalnya, ketika keluarga Van Kemmen berinteraksi dengan sesama orang Belanda, penggunaan bahasa Belanda bisa menunjukkan kedekatan dan kesamaan budaya mereka. Sebaliknya, ketika mereka berbicara dengan pribumi, peralihan ke bahasa Melayu atau campuran bahasa Belanda dan Melayu dapat mencerminkan jarak sosial dan kultural yang ada di antara mereka. Ini memberikan lapisan realisme tambahan yang membantu pembaca memahami kompleksitas hubungan antar karakter dalam konteks kolonial.

Baca Juga :  Cerminan Cinta yang Paling Tidak Sederhana

Menurut saya, penyelesaian konflik dalam novel ini juga cukup singkat dan terasa menggantung. Memahami bahwa akhir hidup William adalah tragis dan tak terelakkan, ada potensi untuk mengembangkan penyelesaian konflik yang lebih mendalam dan reflektif meskipun akhirnya dia tewas di tangan tentara Nippon. Dengan cara ini, penulis dapat mengembangkan penyelesaian konflik yang lebih dramatis, memanfaatkan adegan dan elemen-elemen naratif yang intens dan menggetarkan untuk menciptakan pengalaman membaca yang sangat memikat dan tak terlupakan. Dengan menambahkan dramatisasi yang lebih besar pada momen-momen kunci dalam cerita, pembaca akan terlibat sepenuhnya dalam emosi dan perjuangan karakter-karakternya, meningkatkan daya tarik dan dampak keseluruhan novel. Selain itu, dengan menggunakan gaya bahasa hiperbola, penulis akan mampu memperkuat intensitas dan kekuatan emosional dari momen-momen kunci dalam cerita. Dengan sentuhan hiperbola yang mengagumkan, penyelesaian konflik ini tidak hanya meninggalkan kesan yang mendalam, tetapi juga merajut memori yang tak terlupakan dalam alam pikiran pembaca.

Dengan memperhatikan aspek-aspek ini, “William” memiliki potensi untuk menjadi karya sastra yang lebih mendalam dan berkesan, menawarkan tidak hanya sebuah cerita yang menarik tetapi juga wawasan yang lebih kaya tentang kehidupan, sejarah, dan hubungan manusia. Novel ini bisa menjadi refleksi yang kuat tentang dampak kolonialisme, ketegangan keluarga, dan perjuangan individu dalam menghadapi realitas yang kompleks dan penuh tantangan.

Dalam mengakhiri esai ini, penting untuk merangkum secara singkat argumen dan analisis yang telah saya uraikan. Novel “William” karya Risa Saraswati, meskipun menawarkan gambaran tentang kehidupan yang kompleks di masa kolonial Hindia Belanda, memiliki sejumlah kelemahan yang dapat diperbaiki untuk meningkatkan kedalaman dan kualitas cerita. Dari karakterisasi yang terlalu hitam-putih hingga penyelesaian konflik yang terasa singkat, ada banyak ruang untuk pengembangan yang lebih besar dalam hal penggambaran karakter, plot, dan tema. Namun demikian, penggunaan bahasa yang mudah dipahami dan gaya narasi yang mengalir membuat novel ini tetap menarik bagi pembaca. Dengan pengembangan yang lebih mendalam, termasuk penggunaan bahasa yang lebih kaya dan pengembangan karakter yang lebih kompleks, “William” bisa menjadi karya sastra yang lebih memuaskan dan bermakna. Oleh karena itu, sambil mengakui kelebihan dan kekurangan novel ini, penting untuk mengingat potensi yang dimilikinya untuk pertumbuhan dan penyempurnaan di masa mendatang. Dengan demikian, melalui refleksi dan evaluasi, pembaca dapat lebih memahami dan menghargai nilai sastra dari karya ini, serta memberikan inspirasi bagi penulis untuk terus berkembang dalam berkarya.

Berita Terkait

Gen Z dan Fenomena “Generasi Stroberi”: Antara Kreativitas dan Tantangan Ketahanan Mental
Pelanggaran Protokol Keamanan dalam Sektor Kesehatan: Dampak dan Solusi
Kretek: Rokok yang Berawal dari Obat?
Mental Health
Sneak Peek Deblis
Perempuan dan Perpustakaan Orang-orang Mati
Fenomena Penyiksaan Hewan dalam Cerpen “Tinggal Matanya Berkedip-kedip” Karya Ahmad Tohari
Upaya Memformulasikan Judicial Restrain dalam Hukum Positif di Indonesia

Berita Terkait

Jumat, 20 Desember 2024 - 17:02 WIB

Gen Z dan Fenomena “Generasi Stroberi”: Antara Kreativitas dan Tantangan Ketahanan Mental

Sabtu, 7 Desember 2024 - 17:31 WIB

Pelanggaran Protokol Keamanan dalam Sektor Kesehatan: Dampak dan Solusi

Selasa, 29 Oktober 2024 - 07:24 WIB

Kretek: Rokok yang Berawal dari Obat?

Kamis, 17 Oktober 2024 - 22:35 WIB

Mental Health

Senin, 2 September 2024 - 20:07 WIB

Sneak Peek Deblis

Berita Terbaru

Mimbar

Membaca Manuver Mas Wapres

Jumat, 20 Des 2024 - 18:28 WIB