Kretek: Rokok yang Berawal dari Obat?

Redaksi Nolesa

Selasa, 29 Oktober 2024

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Koleksi: Bahan Pembungkus Rokok Kretek Klobot). Foto: dok. Viona Veronika

Koleksi: Bahan Pembungkus Rokok Kretek Klobot). Foto: dok. Viona Veronika

Oleh Viona Veronika

(Mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Semarang)


Kretek, sebuah bunyi yang menjadi sebuah identitas khas apabila kita menyebut kota Kudus. Sebuah kabupaten paling kecil di Jawa Tengah, Kudus menyimpan banyak sejarah yang unik hingga menjadi sebuah identitas tersendiri. Kudus identik dengan rokok kretek yang semula ditemukan oleh H. Jamhari sebagai obat untuk meredakan rasa nyeri pada dada yang disebabkan oleh asma, kini rokok kretek semakin berkembang dan menjadi pendorong ekonomi masyarakat Kudus hingga menjadi penyumbang pajak terbesar negara Indonesia melalui cukai rokok.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Ditemui pada hari Jum’at, 11 Oktober 2024, seorang kurator Museum Kretek Kudus, mbak Novi menjelaskan bahwa melalui beberapa survei, masyarakat mengetahui Kudus sebagai Kota Kretek karena banyaknya pabrik rokok yang ada di Kudus saat ini. Hal itu menjadi salah satu alasan Kudus mendapat julukan “Kudus Kota Kretek”, namun alasan tersebut masih kurang tepat. Lalu bagaimana sejarah kretek yang berawal dari obat dan mengapa dari sebuah bunyi kretek menjadikan sebuah identitas Kudus disebut sebagai Kota Kretek? Untuk mengetahui hal tersebut, kita dapat menilik ke belakang terkait dengan sejarah rokok kretek dan informasi yang ada di Museum Kretek Kudus.

“Kudus merupakan kota kretek, dari pintu masuk gerbang utama ke Kota Kudus terdapat sebuah daun tembakau dan sebuah tulisan ‘Kudus Kota Kretek’ yang menjadi sebuah identitas yang dikenal oleh masyarakat secara luas. Alasan utama Kudus disebut sebagai Kota Kretek yaitu efek dari pertama kali adanya kretek itu di Kudus dan pertama kali yang menciptakan kretek adalah orang Kudus yaitu H. Jamhari pada tahun 1880-an” kata mbak Novi, (11/10/2024).

Baca Juga :  Damar Kambang: Sebuah Perspektif Semiotik dan Kultural

Perjalanan sejarah kretek bermula sejak ditemukannya obat tradisional untuk menyembuhkan sakit dada yang sesak (asma) oleh H. Jamhari. Hal ini bermula saat H. Jamhari mencoba menggosokkan minyak cengkeh ke bagian dada dan pundaknya yang sakit dan pada akhirnya sakit yang dirasakannya menjadi berkurang.

“Sebelum adanya pengobatan modern seperti sekarang, H. Jamhari memanfaatkan pengobatan tradisional untuk mengobati sakit dada sesak yang dialaminya dengan cara mengoleskan minyak cengkeh ke dada dan punggung dan ternyata setelah dioles terasa enak dan terdapat perubahan”, ungkapnya.

Kemudian H. Jamhari mencoba mengunyah cengkeh dan hasilnya lebih baik dari sekedar menggosokkannya. Setelah merasakan adanya perubahan yang dirasa pada sesak di dada, H. Jamhari berinovasi dengan cara yang lebih sederhana yaitu dengan merajang cengkeh secara halus kemudian dicampurkan dengan tembakau yang kemudian dibungkus dengan “klobot” kulit jagung kering yang diikat dengan benang. Dengan cara tersebut hasilnya sangat diluar dugaan karena penyakit sesak dadanya menjadi sembuh. Adanya penemuan obat ini, akhirnya cara pengobatan ini dengan cepat tersebar di seluruh daerah sekitar tempat tinggalnya. Penyebaran pengobatan yang secara cepat mengakibatkan banyaknya permintaan rokok buatannya. Saat rokok dikonsumsi dengan cara dibakar dan dihisap, rokok tersebut menghasilkan bunyi kretek-kretek-kretek sehingga rokok tersebut disebut sebagai “Rokok Kretek” yang diambil dari bunyi tersebut. Dari penemuan tersebut, Kudus menjadi tempat kelahiran rokok kretek pertama kali oleh H. Jamhari. Dari hal inilah, Kudus mendapat sebutan sebagai “Kota Kretek”.

Baca Juga :  Manusia Makhluk Egois dan Bengis

H. Jamhari memproduksi rokok secara kecil-kecilan dengan menjualnya sebanyak 10 batang rokok perikat yang diikat dengan seutas tali tanpa kemasan dan tanpa merek. Seiring berjalannya waktu, rokok kretek banyak diminati oleh masyarakat. Namun, belum sampai masa kejayaannya H. Jamhari sudah tutup usia. Melihat kesempatan yang ada, akhirnya muncullah para industriawan-industriawan kretek salah satunya adalah Nitisemito dan kretek semakin berkembang menjadi industri besar yang berdampak pada ekonomi lokal hingga nasional sejak sebelum Indonesia merdeka.

“Dulu H. Jamhari tidak mengindustrikan kretek secara massal tetapi pernah menjual kretek per sepuluh batang tanpa merek dengan metode konvensional sehingga muncullah para industriawan-industriawan kretek salah satu pionirnya adalah Nitisemito”, ujarnya.

Meskipun penemunya adalah H. Jamhari namun yang terkenal pada industri kretek adalah seorang tokoh Nitisemito. Hal ini dikarenakan popularitas kretek yang meningkat, Nitisemito berhasil mengembangkan peluang industri rokok kretek yang berawal dari produksi para buruh rumahan (Sistem Abon) hingga berkembang menjadi industri besar dengan merek cap “ Bal Tiga” dan dengan mempromosikan produknya dengan cara yang menarik pada saat itu sehingga Nitisemito dikenal dengan julukan “Bapak Kretek Indonesia”. Selain itu, Nitisemito merupakan salah satu tokoh pejuang kemerdekaan yang menyumbang dana-dana untuk kemerdekaan dan beliau pernah disebut dalam pidato bung Karno.

“Sepak terjang perjalanan panjang dan ide-ide Nitisemito sangat luar biasa. Dalam mempromosikan produknya, beliau menyewa pesawat fokker untuk menyebarkan brosur dari atas langit ke daerah Jakarta dan sekitarnya dan memberikan souvenir-souvenir yang dipesan langsung dari Jepang”, tambahnya.

Baca Juga :  Negeri Paling Aneh

Perkembangan produk rokok kretek saat ini terdapat tiga wujud yaitu rokok kretek klobot (kulit jagung), rokok kretek linting tangan (SKT) yang sudah menggunakan paper, dan rokok kretek mesin (SKM). Jenis-jenis rokok tersebut dibedakan dari jenis pembungkusnya dan teknik pembuatannya. Di Kudus sendiri ketiga rokok tersebut masih terus diproduksi dan berkembanglah industri-industri rokok yang besar. Adanya industri-industri tersebut sangat berdampak pada perekonomian masyarakat karena Sebagian masyarakat bekerja di pabrik rokok. Mbak Novi menjelaskan, “Dua per tiga masyarakat di Kudus bekerja di pabrik kretek yang mana Sebagian masyarakat kudus bergantung pada industri kretek”.

Dengan berdirinya Museum Kretek pada tahun 1986 di Desa Getas Pejaten, Kecamatan Jati, Kudus yang merupakan satu-satunya museum rokok di Indonesia, sejarah perjalanan panjang rokok kretek dapat didokumentasikan dan dilestarikan melalui berbagai koleksi di museum tersebut. Rokok kretek yang berawal dari sebuah obat tradisional kini menjadi cikal bakal berkembangnya industri rokok yang menjadi bagian penting dalam perekonomian masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Kudus itu sendiri. Selain sebagai sumber perekonomian saat ini, “Kretek” memiliki makna yang sangat dalam hingga menjadi sebuah identitas kota Kudus dengan julukan “Kudus Kota Kretek” yang menjadi bukti nyata bahwa rokok kretek berperan penting dalam sejarah dan kebudayaan Indonesia.

Editor : Ahmad Farisi

Berita Terkait

Mental Health
Sneak Peek Deblis
Perempuan dan Perpustakaan Orang-orang Mati
Fenomena Penyiksaan Hewan dalam Cerpen “Tinggal Matanya Berkedip-kedip” Karya Ahmad Tohari
Upaya Memformulasikan Judicial Restrain dalam Hukum Positif di Indonesia
Representasi Ungkapan “Hidup Butuh Uang” dalam Cerpen Pada Suatu Hari Minggu Karya Seno Gumira Ajidarma
Rahasia Cinta Sesunyi Cahaya
Melodi Cinta Tak Terucap

Berita Terkait

Kamis, 17 Oktober 2024 - 22:35 WIB

Mental Health

Senin, 2 September 2024 - 20:07 WIB

Sneak Peek Deblis

Selasa, 9 Juli 2024 - 14:00 WIB

Perempuan dan Perpustakaan Orang-orang Mati

Jumat, 5 Juli 2024 - 10:05 WIB

Fenomena Penyiksaan Hewan dalam Cerpen “Tinggal Matanya Berkedip-kedip” Karya Ahmad Tohari

Sabtu, 29 Juni 2024 - 19:17 WIB

Upaya Memformulasikan Judicial Restrain dalam Hukum Positif di Indonesia

Berita Terbaru

Kepala Dinas PUTR Sumenep Eri Susanto (foto: dok. nolesa.com)

Daerah

Review RTRW Tuntas, Pemkab Sumenep Fokus Susuan Perbup RDTR

Selasa, 29 Okt 2024 - 19:35 WIB