Oleh Fauziah Atya Yumna
(Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta)
Pada era ini, sastra terus berkembang, tidak hanya sebagai karya untuk menghibur semata, tetapi sastra turut dipergunakan untuk memperjuangkan kepentingan tertentu. Dalam perkembangan novel di Indonesia, dari dulu hingga saat ini memang banyak menghadirkan judul-judul yang mengangkat permasalahan yang berhubungan dengan eksistensi perempuan. Permasalahan itu muncul dikarenakan perempuan dianggap tidak lebih kuat dari para lelaki, dari segala aspek kehidupan. Kemudian, muncullah gerakan gender yang bertujuan untuk menyuarakan hak-hak perempuan agar dapat memiliki level kesempatan yang sama dengan laki-laki. Harapannya, adanya kesejajaran tersebut, perempuan tidak lagi dipandang lemah oleh laki-laki. Salah satu sarana untuk menyuarakan gerakan feminisme ini adalah melalui karya sastra.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tiga dalam Kayu merupakan sebuah fiksi domestik (fiksi perempuan) karangan Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie (ZZ) yang diterbitkan pada tahun 2022 oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) yang telah dicetak sebanyak 6 kali hingga Februari 2024. Ziggy merupakan seorang penulis yang lahir di Lampung pada 10 Oktober 1993. Saat ini, ia telah menerbitkan lebih dari 30 buku yang terdiri atas berbagai macam genre dengan pengemasan cerita yang mind blowing . Berbicara mengenai Ziggy dan karyanya yang unik, alurnya sulit ditebak Tiga dalam Kayu berbicara perihal perempuan dengan seluruh peran dan derita yang mungkin ditanggungnya, selamanya, tentu dengan alur yang tidak biasa.
Berkaitan dengan itu, kritik sastra hadir sebagai pisau pengupas untuk mengetahui kebenaran dari substansi yang ada dalam novel ini. Sebagai seorang perempuan, ZZ turut menggugah isu-isu domestik yang dialami oleh perempuan dalam kehidupan dan pembentukan jati dirinya dalam berbagai peran yang dipilih atau terpaksa ia pilih. Tidaklah mudah bagi kita sebagai pembaca untuk menemukan benang merah yang disampaikan oleh ZZ yang gemar mengajak para pembacanya untuk memutar otak pada tulisannya. Novel Tiga dalam Kayu ini memiliki beberapa perbedaan dengan novel pada umumnya, sebagai pembaca saya belum pernah menjumpai novel dengan struktur unik seperti novel ini.
Novel-novel pada umumnya, biasanya dimulai dengan orientasi tokoh utama sebagai pelaku utama dengan peristiwa-peristiwa yang dialaminya dengan teknik penceritaan dan narasi yang bersambung dengan bab seterusnya. Novel ini, dapat dikatakan sebagai persatuan antara sebelas cerita pendek dan satu novel, dapat dikatakan bahwa novel ini berbentuk cerita berbingkai. Oleh karena itu, tema atau benang merah dalam novel ini cukup sulit dikenali. Pembaca perlu cermat terhadap sebelas cerita pendek yang disajikan pada paruh pertama novel ini, sebelas cerpen yang disajikan pada paruh pertama novel ini merupakan pengantar bagi pembaca untuk lebih memahami pesan yang ingin disampaikan oleh penulis. Sebelas bab, dengan sebelas cerpen tersebut berisi tentang berbagai peristiwa yang mayoritas, mungkin sebagian perempuan pernah mengalami hal yang sama, kesulitan dan tantangan yang dihadapi oleh para perempuan. Tidak hanya menjelaskan tentang kesulitan yang para perempuan alami. Oleh karena itu, ide dari setiap cerita yang disajikan mengandung representasi feminisme. Kesebelas cerita pendek tersebut memiliki tokoh yang berbeda, alur penceritaan yang berbeda, konflik dan klimaks yang berbeda, tetapi terhomogenisasi dengan peran dan derita perempuan.
Tiga dalam Kayu mengisahkan seorang Aku, seorang lelaki, yang menemukan sebuah perpustakaan aneh dalam perjalanannya menuju kantornya. Aku tiba-tiba seperti terseret memasuki gedung tua hingga menjumpai sebuah perpustakaan yang didalamnya hanya ada seorang gadis, jelek dan sudah mati, sebagai penjaganya. Aku pun bingung lalu memutuskan untuk membuka percakapan dengan gadis itu. Setelah berbagai percakapan yang terjadi antara mereka berdua, Aku menemukan fakta bahwa tempat itu merupakan perpustakaan yang menyimpan tulisan-tulisan orang yang sudah mati, harus sudah mati, perpustakaan aneh. Aku membaca sebelas buku yang tersedia di perpustakaan tersebut. Kesebelas buku itu sudah diceritakan pada paruh pertama novel ini, terdapat 11 cerita pendek sebagai representasi 11 buku yang dibaca oleh Aku.
Kesebelas buku tersebut menceritakan kisah yang berbeda-beda. Akan tetapi, kesebelas buku tersebut memiliki keterkaitan pada bagian inti, yaitu konsekuensi tidak adil yang dialami para perempuan. Perempuan sebagai istri disalahkan dan menderita, perempuan independen yang dianggap arogan, perempuan terbelakang yang dianggap sebagai normalisasi objek praktik seks bebas, perempuan sebagai seorang anak, ibu, dan nenek, perempuan sebagai seorang penari yang direndahkan, perempuan sebagai perempuan yang dibohongi, Bunda Maria sebagai perempuan yang difitnah, dan perempuan sebagai Hawa yang tetap disalahkan karenanya memakan buah terlarang di surga, bahkan karena kesalahan yang tidak diberitahukan kepadanya. Setelah membaca seluruh kisah tersebut, Aku mulai bertemu dengan orang-orang dan mengalami kisah-kisah misterius. Mulai dari menyaksikan kematian seseorang yang disebabkan olehnya sendiri, hingga mengubur dirinya hidup-hidup bersama dengan anak, cucu, dan gadis itu dalam peti kayu yang didesain sedemikian rupa agar ia tetap bisa bernapas dan hidup bersama orang mati. Setelah berpuluh tahun kemudian, Aku pun bangkit dan berpikir bahwa ia memang tidak dapat hidup bersama orang-orang mati kecuali mereka bertemu dan bersama kembali di surga atau neraka.
Untuk menemukan adanya keterkaitan antar kesebelas cerita pendek dirasa cukup sulit, pembaca harus benar-benar menemukan pesan pada setiap ceritanya, baru dapat menarik garis realita yang disuguhkan novel ini. Karena novel ini terbagi atas paruh pertama yang berupa kumpulan cerita pendek dengan penokohan dan alur yang berbeda, pembaca mungkin akan sedikit kebingungan dengan jenis novel yang tidak terus terang seperti novel ini. Ini menjadi sebuah kekurangan sekaligus kelebihan bagi novel ini, karena menuntut atensi penuh dari pembaca untuk terus mengikuti alur yang ditawarkan. Mungkin, bagi pembaca yang sudah lama menikmati karyanya dan akrab dengan karyanya tidak lagi asing dengan bentuk novel yang sedikit absurd, unik, dan plot twist, namun memuat pesan kesan sangat berharga.
Seperti novel-novel sebelumnya, salah satunya, yaitu novel Kapan Nanti yang menceritakan kisah kehidupan anak-anak dengan isu-isu dialaminya yang seringkali diabaikan oleh manusia dewasa disekitarnya. Terlihat seperti alur ringan karena dibalut dengan kata anak-anak, akan tetapi ini ia yang tidak pernah menulis hal yang biasa saja. Pada novel Tiga dalam Kayu, ia kembali mengajak pembaca untuk berpikir lebih fokus dan dalam tentang kesulitan dan keharusan seorang perempuan, dengan kemasan cerita yang membuat pembaca tidak habis pikir ketika membacanya. Menilik separuh akhir dari novel ini, ia menunjukkan kepiawaiannya dalam mengolah kata-kata berasal dari berbagai elemen genre menjadi sebuah tulisan yang absurd sekaligus sangat mengagumkan. Tujuh bab yang tertulis dalam novel ini, memunculkan adanya genre thriller tiba-tiba.
Melalui ringkasan cerita novel tersebut, terungkap isu-isu perempuan tidak ada habisnya, perempuan terus mengalami penderitaan terhadap peran apapun yang ia ambil. Perspektif feminisme aktif dalam penulisan novel ini. Melalui narasi dan dialog yang sampaikan, Tiga dalam Kayu sangat erat kaitannya dengan adanya tuntutan hak-hak perempuan, tuntutan hak perempuan untuk berperan sekaligus dilindungi, dan tuntutan kesetaraan gender. Oleh karena itu, ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Eagleton (via Wiyatmi, Sudiati, & Artanti, 2024) yang menyatakan bahwa feminism mengharapkan kesetaraan peran serta relasi perempuan dan laki-laki baik dalam keluarga maupun ranah publik.
Aku sebagai Pengantar Perspektif Feminisme
Isu-isu perempuan tidak pernah usai dibincangkan, kasus-kasus ketidakadilan juga masih menunjukkan eksistensinya hingga sekarang. Perjuangan perempuan untuk mendapatkan kesetaraan juga tidaklah mudah. Keadilan dan kesetaraan tercipta apabila perempuan mendapatkan pemenuhan hak-haknya sebagai seorang manusia independen dan lelaki turut mengakui kemerdekaan perempuan untuk bebas memilih jalan hidupnya, karir, serta pendidikannya tanpa dibayang-bayangi rasa tidak aman yang disebabkan oleh ego-insekuritas para pria. Tiga dalam Kayu melalui perspektif Aku menguak isu-isu perempuan yang masih terus dialami hingga kini.
Sebelas cerpen yang ada dalam novel ini, terdapat pula tokoh Aku dengan karakter dan cerita yang berbeda-beda, tetapi menggunakan alternatif Aku di sebelas cerpen tersebut. Mungkin awalnya penulis hanya ingin menceritakan dari satu sudut pandangan saja mengenai kejadian yang dihadapi oleh berbagai tokoh Aku. Seluruh potret kejadian yang dialami oleh perempuan berasal dari sudut pandang Aku, ia melihat, mendengar, dan menceritakan apapun yang dialami oleh perempuan berdasarkan sudut pandangnya.
“Aku tidak ingat apa yang dikatakan ibuku waktu itu. Sepertinya ibuku menjelaskan mengenai kesulitan rumah tangga yang dialami temannya…” (Tiga dalam Kayu, Zezsyazeoviennazabrizkie, 2024:79)
Dalam paruh kedua novel ini, Aku sebagai seorang mengungkapkan isu penderitaan yang dialami oleh perempuan melalui jalan hidupnya.
“Kalau semua orang berkontribusi dalam penderitaan perempuan, marilah kita kurangi jumlah orangnya. Dan, seperti kata mereka: Mulailah dari diri sendiri.” (Tiga dalam Kayu, Zezsyazeoviennazabrizkie, 2024:160)
Aku dalam kalimat penutupnya mengungkapkan hal di atas, Aku sebagai seorang laki-laki yang diciptakan oleh perempuan, sebagai perempuan mengharapkan untuk bersama-sama berkolaborasi terhadap hak perempuan dan hak laki-laki. Keberhasilan hak-hak tersebut mengundang kesejahteraan baik bagi kaum perempuan maupun laki-laki. Aku seakan-akan mengajak para lelaki untuk memahami pentingnya kesetaraan gender dalam kehidupan perempuan. Kepentingan perempuan perempuan serta kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, baik di tempat kerja dan rumah tangga (Sugihastuti & Suharto dalam Puspita, 2019:30-31).
Feminisme pada novel ini memang tidak secara gamblang disebutkan, tetapi apabila pembaca mengamati lebih lanjut, mayoritas tokoh yang berhubungan dengan Aku adalah seorang perempuan. Berdasarkan kutipan yang telah disebutkan, Aku sebagai seorang laki-laki ingin menyadarkan kaumnya untuk berhenti berperilaku layaknya raja, berhenti untuk patriarki dan bertindak semena-mena terhadap perempuan. Kesetaraan ini akan terwujud apabila kedua pihak saling menghargai dan menghormati.
Akan tetapi di sisi lain, Aku merupakan seorang yang membunuh, mencelakai, dan ketakutan bagi perempuan yang hidup bersamanya, berhubungan dengan kehidupannya. Anak, cucu, dan gadis yang baru ia temui di bulan Desember itu, semuanya ia bunuh tanpa alasan dan pemikiran yang jelas. Ia membunuh kesempatan para perempuan untuk hidup dan berjuang.
“Belum lima belas tahun. Usia kala ibuku mati.”
“Belum lima belas tahun. Usia kala istriku mati”
“Belum lima belas tahun. Usia kala anak gadisku mati.
“Ini kebaikan.” (Tiga dalam Kayu, Zezsyazeoviennazabrizkie, 2024:125)
Kutipan di atas seakan sebagai metafora jika feminisme tidak ditegakkan dan tidak dipedulikan maka akan membunuh kesempatan para perempuan untuk menggapai mimpinya. Mereka mati, dibunuh atau terbunuh, atau mati sendiri. Perempuan perlu memperdulikan dan menjaga dirinya sendiri dari seluruh kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa saja menimpanya kapan saja, oleh siapa saja. Menjadi seorang perempuan harus memiliki prinsip dan pertahanan diri yang kuat jika ia tidak ingin mimpinya terkubur begitu saja. Penulis mengungkapkan pemikirannya dengan jenius, dibalut dengan karakter Aku, yang gila, psikopat tak sadar diri. Sekali lagi, membaca novel ini perlu mengerahkan kapasitas otak yang lebih dari bacaan sastra pada umumnya, mencengangkan.
Perpustakaan Orang-orang Mati sebagai Renungan Kaum Perempuan
Terdapat beberapa aliran dalam feminism, yang akan kita bincangkan berkaitan dengan feminisme psikologis dan feminisme sosial. Tiga dalam Kayu yang membicarakan penuntutan hak perempuan melalui penggambaran berbagai kisah dari berbagai perspektif yang didominasi oleh penderitaan perempuan baik derita yang diciptakan oleh pikiran perempuan sendiri (psikologis) serta kesakitan yang berasal dari lingkungan sekitar (sosial) perempuan tersebut. Cerita-cerita pendek yang tertuang dalam novel ini memberikan pandangan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan tidak memandang bahwa perempuan tersebut baik atau buruk, perempuan itu kaya atau miskin, perempuan itu waras atau terbelakang, semua mengalami ketidakadilan masing-masing.
Psikologi feminis berfokus pada kondisi dan konflik batin perempuan, kehidupan perempuan dalam strata sosial dan budaya, keadaan jiwa perempuan berada dalam posisi kehidupan, psikologi feminis adalah bentuk psikologi yang berpusat pada struktur sosial dan gender, orientasinya berpusat pada feminis dan nilai serta prinsip feminism (Sadriah, & Juanda, 2022: 179).
“Aku masih tidak tahu kenapa ayahku tidak mau ibuku kembali ke dunia teater. Aku masih tidak yakin kenapa ibuku rela saja meninggalkannya. Kurasa wanita memang begitu.” (Tiga dalam Kayu, Zezsyazeoviennazabrizkie, 2024:73)
Sebagai seorang perempuan, penulis novel mungkin menuangkan perasaannya sebagai seorang perempuan pada kutipan tersebut. Seorang perempuan yang sensitif, terkadang bingung pula dengan dirinya sendiri. Terlalu banyak beban dan tuntutan untuk menjadi sempurna. Terlihat seakan tidak ada yang menuntut secara konkret di depan mata, namun realita sosial mengatakan demikian. Sebagai pembaca pun, saya menyetujui adanya konflik batin hebat yang dialami oleh perempuan di setiap pengambilan keputusan, segala aspek hidupnya menggunakan batin atau perasaan, itulah perempuan. Apabila dibandingkan dengan lelaki, perempuan memang cenderung menggunakan perasaannya daripada logika untuk menentukan keputusan. Meskipun begitu, bukan berarti perempuan tidak menggunakan logika atau pemikiran yang matang, adanya perasaan itulah yang membuat perempuan merasa matang untuk menentukan keputusannya.
“Aku menawarkan sedikit senyum, yang ditolaknya mentah-mentah. Dia anak gadis yang menyimpan banyak sekali kemarahan dan kekecewaan. Semua gadis memang seperti itu, sepertinya. Yang paling menyedihkan bukanlah kenyataan bahwa anak-anak muda ini mengenal begitu banyak luka, namun betapa polemiknya kejadian ini, hingga rasa sakit sudah menjadi bagian dari kehidupan yang wajar.” (Tiga dalam Kayu, Zezsyazeoviennazabrizkie, 2024:84)
Konflik batin yang ditunjukkan oleh ibu dan gadis menunjukkan bahwa perempuan tersebut mengalami konflik antara dia dan dirinya sendiri, hal itu hanya dipahami oleh para perempuan yang merasakannya. Perempuan terkadang merasa terbatasi dengan adanya kepemilikan oleh lelaki yang telah menikahinya. Kepemilikan perempuan sebagai seorang istri oleh seorang suami merupakan bentuk penindasan atas perempuan dalam aliran feminisme sosial (Megawangi dalam Rokmansyah, 2016:53). Perempuan dapat mengalami kebahagiaan sekaligus kesedihan. Tidak jarang juga perempuan terjebak dalam perkawinan yang tidak harmonis, terjebak dengan adanya sistem patriarki yang masih saja ada.
“Yang malam itu diceritakan Nyonya Van Wijk, terutama, adalah soal pernikahannya-barangkali karena sebentar lagi dia tahu akan berakhir. Nyonya Van Wijk tidak pernah mencintai Tuan Van Wijk, dan perkawinanya hambar saja-tidak pernah ada gejolak, tidak pernah ada perhelatan besar. Mereka hanya tinggal di satu rumah, tapi setengah sadar bahwa yang satu ada pula di sana. Mereka seperti tinggal bersama hantu. Ada,tapi tak juga ada.” (Tiga dalam Kayu, Zezsyazeoviennazabrizkie, 2024:37)
“Kakekku dan istri pertamanya dulu tinggal di Jawa Barat. Kakekku buruh tani, dan istri pertamanya adalah ibu rumah tangga yang mendapat uang dari menjahit dan membuat kue, sambil juga membesarkan ikan.” (Tiga dalam Kayu, Zezsyazeoviennazabrizkie, 2024:45)
Mengetahui realita kehidupan perempuan yang masih terus mengalami penindasan secara tidak terang-terangan mengingatkan kita untuk terus memperjuangkan hak-hak kita sebagai seorang perempuan. Perempuan dapat melakukan kegiatan yang dapat dilakukan oleh para lelaki di luar sana , seperti bekerja, berkarir, dan berpendidikan. Demikian, laki-laki juga berperan dalam pemenuhan hak perempuan, laki-laki juga turut berkontribusi dalam kehidupan berkeluarga dan berumah tangga, bertanggung jawab, menafkahi, dan memberikan afeksi sehingga tercipta kehidupan yang bahagia dan setara.
Perempuan memang kerap mengalami kesulitan- kesulitan yang terkadang berasal dari pemikirannya sendiri, Tidak hanya itu, perempuan juga terkadang mengalami penindasan oleh kaum lelaki, oknum tertentu. Merasa tidak dihargai dan tidak diperlakukan selayaknya, sudah sangat cukup menjadi alasan perempuan untuk turut menyuarakan feminisme hingga sekarang ini. Suara-suara feminisme tidak boleh padam, sesama perempuan juga turut mengumandangkan feminisme salah satunya tentu melalui sastra. Perlawanan terhadap patriarkisme perlu dilakukan sehingga tercipta perasaan saling menghargai, menghormati, dan setara. Untuk mewujudkan kesetaraan tersebut, perempuan dan laki-laki harus kooperatif, saling menghargai dan menghormati. Perempuan menghormati lelaki dengan tidak menggores egonya, lelaki juga harus perlahan menurunkan egonya yang terkadang tinggi. Sebagai penerus R.A. Kartini, perempuan Indonesia harus berani mewujudkan feminism dengan elegan, bekerja dengan cerdas, berpendidikan tinggi, menjadi guru, dosen, doktor, professor, menjadi orang tua, istri, anak, dan utamanya menjadi seorang perempuan.