Lupa, atau istilahnya linglung merupakan salah satu penyakit yang menyerang manusia. Penyakit ini tidak mengenal umur. Penyakit ini disebabkan oleh kebiasaan manusia menganggap remeh sesuatu. Anggapan tidak penting atau kebiasaan menangguhkan orang lain adalah contoh sederhananya. Karenanya, agama kita memerintah lewat surah Al-Qalam, berarti pena. Makna yang terkandung adalah senantiasa menulis (mencatat) dan menyimpan sesuatu dalam tulisan. Tujuananya, supaya tidak menjadi generasi pelupa.
Coba bayangkan, apabila pada masa belajarnya Imam Al-Ghazali enggan menulis. Ilmu-ilmu yang dipelajari akan beterbangaan, dan akhirnya hilang dengan sendirinya. Beruntungnya, beliau memahami akan eksistensi ilmu bagi masa depannya. Segala hal beliau catat, hingga terang-terangan kredibilitasnya terhadap ilmu pengetahuan dan dunia keaksaraan terbitlah ungkapan yang memantik, “Jika kamu bukan anak raja maka menulislah.”
Tafsir ungkapan di atas tidak lain mengajak kita senantiasa menulis. Menulis bagi Al-Ghazali adalah cara mengabadikan ilmu. Refleksi ilmu kemudian digagas ulang hingga menerbitkan karya-karya luar biasa. Kitab Ihya Ulumuddin, membahas tentang kaidah dan prinsip berhubungan dengan menyucikan diri: pengobatan hati, penataan hati, dan lain sebagainya. Sekali pun menimbulkan pro dan kontra dari berbagai tokoh, kitab ini masih banyak digumuli oleh pembaca.
Pemikiran Al Ghazali, selaras dengan Ali bin Abi Thalib, “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya.” Kemudian, senada pula dengan gagasan Imam Syafi’i. Syafi’I mengibaratkan ilmu seperti hewan buruan, sedangkan tulisan adalah tali pengikat. Apabila hewan buruan tidak diikat dengan tali kuat-kuat, dipastikan akan lari (hilang). Menilik pemikiran dahsyat di atas, sudah saatnya kita sadar kemudian merenung. Bilamana menulis merupakan cara terbaik menyimpan ilmu. Tulisan-tulisan dapat diadikan senjata atau peluru untuk masa depan. Menulis (catat) merupakan strategi ampuh melawan serangan lupa, atau linglung.
Hernowo, dalam bukunya Membacalah Agar Dirimu Mulia: Pesan dari Langit (MLC, 2008) menuliskan, apabila kita percaya pada kekuatan bahasa kita akan diajak untuk melihat banyak kemungkinan dalam hidup untuk diungkapkan. Dalam buku tersebut kita akan ditunjukkan kedahsyatan mengikat makna dengan cara menulis. Namun, sebelum pada kegiatan menulis Hernowo mengingatkan untuk tidak melewatkan proses membaca.
Penting bagi seseorang untuk tidak berangkat (menulis) dalam keadaan kekosongan. Artinya, seseorang membutuhkan bekal. Bekal dalam menulis hemat saya adalah sebentuk informasi yang didapat dari kegiatan membaca. Oleh karenanya, program keliterasian yang diusung pemerintah menjadikan membaca dan menulis merupakan suatu cakupan kesatuan. Baca-tulis dijadikan suatu elemen yang saling mengiringi.
Dari sini kita dapat menafsirkan tidak ada kegiatan menulis tanpa membaca terlebih dahulu. Seperti materi bahasa Indonesia yang kita terima saat sekolah, membaca berada pada keterampilan lebih dulu, barulah menulis. Artinya, tanpa keterbacaan seseorang tidak akan bisa menulis. Karenanya, saya katakan suatu kekonyolan ketika mendapati seseorang yang mau menulis cerpen, misalnya, tetapi belum pernah membaca cerpen. Begitu pula dengan seseorang yang bertekat menerbit buku, tetapi tidak doyan membaca buku. Itu, namanya bunuh diri.
Sebagai contoh, kita dapat menengok goresan-goresan pena Ida Azuz dalam buku Malaikat Menulis dengan Jujur (Lingkar Pena, 2007). Azuz mengabadikan momen-momen penting, sekaligus pengalaman menggugah emosi ke dalam tulisan. Itu dilakukan sebagai bentuk terapi hati. Renungan-renungan terhadap sesuatu diterbitkan ke dalam gagasan-gagasan dan pemikiran-pemikiran menyentuh. Seperti judul tulisan “Malaikat Menulis dengan Jujur”, penulis memaknai tuturan Quraisy Shihab pada saat mengisi kultum di stasiun TV RCTI.
Ditulisnya dengan mengutip tuturan Shihab bahwa semua amal manusia akan ditulis oleh malaikat. Maksudnya, perbuatan baik dan buruk manusia akan ditulis untuk dijadikan catatan semasa di dunia. Malaikat tidak akan melakukan rekayasa. Sesuatu yang ditulis sesuai dengan yang dilakukan oleh manusia.
Dari tuturan yang menghentakkan hati itu, kemudian diikat dengan tulisan. Saya percaya, ketika setiap manusia memiliki kesadaran yang sama, ilmu-ilmu yang ada di dunia tidak mengabur dengan sendirinya. Ilmu itu akan kuat, akar-akarnya semakin kokoh karena banyak manusia yang mengamalkan.
Dengan demikian, saya meyakini menulis merupakan cara terbaik melawan lupa, atau kelinglungan. Dari tulisan (catatan), kita dapat kembali menengok. Berbeda ketika ilmu hanya diingat dalam otak dipastikan akan hilang dengan sendirinya. Dipastikan pula kita akan kesulitan untuk memanggil ulang ingatan tersebut. Sederhana, kita mesti mencatat untuk mengingat dan mengikat ilmu. Begitu.