Oleh Farisi Aris*)
Per 3 September 2022 pemerintah resmi menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.
Harga pertalite (per liter) naik dari Rp. 7.650 menjadi 10.000, pertamax dari Rp. 12.500 menjadi Rp 14.500, dan solar dari Rp 5.150 menjadi Rp 6.800.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ada dua alasan penting mengapa BBM bersubsidi ini dinaikkan. Pertama, karena besarnya anggaran subsidi yang dibebankan ke APBN, yakni 500 triliun.
Bahkan berpotensi jebol hingga 600 triliun. Mau tidak mau, dengan demikian, untuk mengurangi beban APBN, BBM bersubsidi mesti dinaikkan.
Kedua, karena selama ini penerima BBM bersubsidi sama sekali tidak tepat sasaran, 80% penerima adalah masyarakat yang tergolong mapan secara ekonomi, golongan yang sebenarnya tidak punya hak untuk menikmati BBM bersubsidi. Sebab, subsidi BBM itu hanya untuk kalangan masyarakat tidak mampu.
Karena itu, sebagai bentuk kompensasi atas naiknya BBM bersubsidi, kini pemerintah telah menyiapkan dana bantuan sosial (bansos) sebesar 24,17 triliun.
Nantinya, dana ini akan disalurkan menjadi tiga kelompok, yaitu bantuan langsung tunai (BLT), bantuan subsidi upah (BSU), dan subsidi untuk ojek hingga nelayan.
Bantuan yang dialokasikan untuk BLT sebesar Rp 12,4 triliun, dan akan disalurkan melalui Kementerian Sosial (Kemensos) kepada 20,65 juta keluarga penerima manfaat (KPM) .
Sementara alokasi anggaran untuk BSU sebesar Rp 9,6 triliun untuk 16 juta pekerja dan kan disalurkan melalui Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker).
Tantangan
Jika selama ini BBM bersubsidi tidak tepat sasaran, pencairan berbagai bentuk bansos sebenarnya kurang lebih juga sama, juga sering kali tidak tepat sasaran.
Bahkan, belajar dari pencairan dana bansos yang lalu, pencairan bansos kali ini juga berpotensi menjadi ladang korupsi baru.
Karena itu, guna mengantisipasi semua hal tak diinginkan itu, pemerintah mesti mengawal ketat pencarian dana bansos ini.
Dan, hal lain yang juga tak kalah pentingnya adalah memastikan bahwa data penerima yang ada, itu sudah sesuai dengan fakta-fakta dan keadaan-keadaan penerima di lapangan.
Selama ini, pencarian bansos kerap kali salah alamat. Masyarakat yang benar-benar layak menerima, terkadang hanya menjadi pendengar bahwa ada sejumlah dana bansos yang dikucurkan pemerintah.
Dengan kata lain, tidak ikut menerima. Padahal itu adalah hak mereka yang mestinya bisa mereka nikmati.Sementara masyarakat yang mapan secara ekonomi, malah menikmati dana bansos itu.
Oleh karena itu, sekali lagi, pencairan dana bansos yang merupakan bentuk kompensasi kenaikan BBM, harus dikawal secara lebih ketat lagi. Data-data penerima harus di-update. Pencairannya haruslah merujuk pada data terbaru.
Terlebih yang bersangkutan dengan masyarakat desa. Di sebagian desa, berdasarkan beberapa kasus yang terjadi, aliran dana bansos yang mengalir ke masyarakat kerap kali mengikuti peta politik kekuasaan desa saat pilkades. Bukan mengikuti logika kelayakan dan kepantasan penerima yang harusnya menerima.
Akibatnya, masyarakat miskin yang memang layak dan pantas menerima dana bansos itu, tetapi karena bukan pendukung kepala desa terpilih, mereka (masyarakat miskin) menjadi tidak mendapatkan hak yang seharusnya ia dapatkan.Keberadaannya sama sekali tidak diakui oleh rezim kekuasaan desa.
Sementara karib-kerabat dan para pendukung kepala desa terpilih, yang meskipun secara ekonomi telah mapan, tetap saja menjadi penerima dan penikmat bansos. Kondisi ini mengisyaratkan bahwa pencarian bansos sebagai kompensasi kenaikan harga BBM memiliki tantangan yang kompleks.
Jika dana bansos ini dikatakan sebagai bentuk pengalihan subsidi BBM yang salah sasaran, maka tanpa pengawasan yang ketat dan data penerima yang valid, keberadaannya sangat mungkin akan mengulang kesalahan yang sama salah sasaran.
Jadi, boleh jadi, judul yang akan nanti muncul adalah, ”dari salah sasaran ke salah sasaran lagi”. Jangan sampai itu terjadi.
*) Farisi Aris, penulis lepas, mukim di Yogyakarta