Oleh Farisi Aris*)
Selain akan diikuti oleh partai-partai lama, beberapa partai baru diprediksi juga akan ikut berlaga di Pemilu 2024. Beberapa di antaranya juga telah mendaftarkan diri sebagai peserta pemilu ke KPU. Yang antara lain, ada Partai Adil Makmur (Prima), Partai Reformasi, Partai Negeri Daulat Indonesia (Pandai), Partai Kebangkitan Nusantara (PKN), dan Partai Garuda.
Keikutsertaan partai-partai baru dalam konstelasi Pemilu 2024 itu tinggal menunggu keputusan KPU saja, lolos verifikasi administrasi dan verifikasi faktual atau tidak. Jika dinyatakan lolos, maka partai-partai baru itu akan maju ke babak selanjutnya. Bertarung dan berkompetisi memperebutkan kepercayaan publik dari bilik-bilik suara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jalan terjal
Memperoleh dukungan publik tentu adalah harapan semua partai-partai baru itu. Namun, sebagai pemain baru, tentu hal itu bukanlah perkara mudah. Ada jalan terjal yang mesti dilalui. Selain harus berhasil mempopulerkan diri, eksistensi partai-partai baru dalam pemilu juga harus melawan kerajaan dan kekuasaan politik partai-partai lama.
Secara politik, tentu sulit bagi partai-partai baru untuk bisa menyeimbangi kedudukan partai-partai lama.
Dan, hal itu rasanya cukup sulit untuk dilakukan. Sebab, secara matematik keberadaan partai-partai baru itu telah tertinggal jauh di belakang partai-partai lama. Sudah begitu, juga masih ada banyak keterbatasan politik lainnya yang harus dihadapi partai-partai baru. Misal, seperti keterbatasan SDM yang tersedia di setiap daerah.
Karena itu, secara politik, tentu sulit bagi partai-partai baru untuk bisa menyeimbangi kedudukan partai-partai lama. Sebab, diakui atau tidak, partai-partai lama itu telah memiliki konstituennya sendiri di setiap daerah. Yang dalam beberapa kali pemilu, atau setidaknya pada Pemilu 2019 telah mengantarkannya masuk ke gedung parlemen.
Persoalan konstituen ini adalah persoalan penting. Sebab, secara matematik pula, konstituenlah yang berpengaruh besar dan bersifat menentukan terhadap kemenangan sebuah partai politik. Tanpa adanya basis konstituen yang jelas di setiap daerah, sebuah partai baru tentu akan sangat kesulitan untuk memperoleh dukungan publik.
Namun demikian, bukan berarti perjuangan partai-partai baru telah berakhir. Dalam hemat penulis, masih ada kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat membuka peluang partai-partai baru agar memperoleh dukungan publik secara maksimal. Dengan cara merebut simpati publik, misalnya.
Merebut simpati publik
Merebut simpati publik adalah hal yang mutlak penting dilakukan oleh partai-partai baru. Khususnya bagi partai-partai baru yang nantinya dinyatakan lolos verifikasi administrasi dan verifikasi faktual, dan resmi menjadi peserta Pemilu 2024.
Namun, upaya merebut simpati publik ini juga bukanlah perkara mudah. Diperlukan cara-cara yang ekstra luar biasa, bukan hanya dengan wacana-wacana politik yang sudah klise dan basi. Segala cara dan upaya harus didasari dengan pembacaan yang matang, dan tentunya, yang kontekstual dengan posisinya sebagai partai baru.
Mengusai panggung wacana ini penting dilakukan oleh partai-partai baru. Jika tidak mampu mengusai, maka setidaknya partai-partai baru harus selalu ada, atau setidaknya terlibat aktif dalam pergumulan wacana yang ada.
Dalam hemat penulis, beberapa hal yang mesti dilakukan partai baru guna merebut simpati publik tersebut adalah, pertama, mengusai panggung wacana. Mengusai panggung wacana ini penting dilakukan oleh partai-partai baru. Jika tidak mampu mengusai, maka setidaknya partai-partai baru harus selalu ada, atau setidaknya terlibat aktif dalam pergumulan wacana yang ada.
Di tengah kuatnya arus politik virtual, mengusai panggung wacana ini sebenarnya tidak terlalu sulit untuk dilakukan oleh partai-partai baru. Sebab, di era virtual, segala konten politik memiliki potensi yang sama di pasaran. Baik yang diproduksi oleh partai lama atau partai-partai yang relatif baru.
Kuncinya, konten politik yang diproduksi memiliki daya kreativitas yang tinggi, memiliki daya pikat yang kuat, populer, kontekstual, dan terlebih lagi menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi publik.
Jika peranti-peranti kunci itu dipenuhi dengan baik, meskipun diproduksi oleh partai yang relatif baru, sebuah konten politik niscaya akan mengusai panggung wacana publik. Dan, tentu, hal itu akan berdampak baik bagi popularitas dan elektabilitas partai itu sendiri.
Kedua, melakukan pembaruan politik. Dalam sejarahnya, kehadiran partai politik di alam demokrasi terbagi menjadi empat model, yakni, pertama, elite party model; kedua, mass party model; ketiga, partai politik kartel; dan keempat, model partai hijau yang muncul dengan semangat perbaikan kualitas hidup (Kazt, dalam Bachtiar, Luhfi, dan Andrean, 2020).
Namun, jika kita tilik secara lebih substansial, tampaknya fenomena kemunculan partai-partai hijau (pasca tahun 1945) itu tidak pernah ada. Partai hijau, tampaknya tak lebih dari sekadar kecelakaan istilah yang dibuat oleh ilmuwan dan pengamat politik pada masanya.
Sebab, pada kenyataannya, model partai politik yang hingga kini ada dan eksis di alam demokrasi kita adalah partai politik kartel; model partai ketiga yang dibentuk bukan karena panggilan moral politik, melainkan oleh kehendak politik subjektif guna merogoh sumber daya negara.
Sebab itu, dalam hal ini, partai-partai baru itu harus mampu menjadikan politik elektoral sebagai –meminjam ungkapan Dean Burham– esensi, kunci utama proses politik di mana isu-isu besar seperti militer, politik kesejahteraan, ekonomi dan kebudayaan dibicarakan.
Nah, dalam konteks semacam itu, jika sebuah partai baru bisa melakukan pembaruan politik; memunculkan sesuatu yang baru dari posisinya sebagai yang baru, maka keberadaan partai baru tentu akan memiliki peluang yang lebih besar untuk diterima publik.
Sebab itu, dalam hal ini, partai-partai baru itu harus mampu menjadikan politik elektoral sebagai –meminjam ungkapan Dean Burham– esensi, kunci utama proses politik di mana isu-isu besar seperti militer, politik kesejahteraan, ekonomi dan kebudayaan dibicarakan.
Dan, sebaliknya, jika posisi dan kehadirannya sebagai partai baru hanya meng-copy paste gerakan-gerakan politik lama ala partai kartel, tidak mampu menjadi anti-tesis dari partai-partai kartel, jangan berharap bisa tampil seimbang dengan partai-partai lama, alih-alih mengungguli.
Kecerdasan politik publik telah berkembang. Dan, secara psikopolitik, publik juga punya ingatan yang panjang perihal model-model penghianatan politik yang pernah dilakukan partai. Dalam beberapa laporan survei, kepercayaan publik terhadap partai berada pada titik nadir, terendah di antara beberapa lembaga politik publik lainnya.
Karenanya, partai-partai baru, jika tidak tampil dengan semangat dan optimisme baru bagi publik, kemungkinan besar akan layu sebelum berkembang. Sebab, tanpa kebaruan, psikopolitik publik akan mengatakan bahwa yang baru atau yang lama, ”sama saja; sama-sama tidak bisa diharapkan dan dijadikan tumpuan harapan hidup yang lebih baik”.
*)Farisi Aris, penulis lepas, mukim di Yogyakarta