Hal-Hal yang Jarang Terungkap dan Tak Dihargai

Redaksi Nolesa

Sabtu, 9 Juli 2022

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

saya mengasumsikan pendidikan tidak sekadar mengajar di kelas. Lebih dari itu, ‘pahlawan tanpa tanda jasa’ memandang mengajar sebagai panggilan jiwa, panggilan hati yang tulus


Judul buku : Menjadi Guru Inspiratif: Menyemai Bibit Bangsa
Penulis : Ahmad Fuadi, dkk
Penerbit : Bentang Pustaka
Tahun : 2012
Tebal : 186 halaman
ISBN : 978-602-8811-80-4                          Peresensi : Suci Ayu Latifah

Menjadi Guru Inspiratif: Menyemai Bibit Bangsa adalah buku series Ahmad Fuadi pertama. Buku series kedua Man Jadda Wajada: Berjalan Menembus Batas tahun 2013. Kedua buku diterbitkan oleh Bentang Pustaka. Di buku kali ini, penulis novel Ranah 3 Warna (2011) berkisah sosok inspirasi guru sejati. Kisah guru mendidik anak bangsa diibaratkan Fuadi ‘petani peradaban’. Filosofi petani, menyiapkan lahan sebagai cocok tanam. Petani menanam bibit, kemudian dipelihara setiap waktu. Perlakuan dilakukan secara baik, salah satunya lewat pemupukan. Tujuannya, supaya tanaman tumbuh sehat, kokoh, dan berbuah baik. Tiba saat panen, tanaman dinikmati bersama keluarga, bahkan beberapa dijual.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Dalam tulisan ‘Petani Peradaban’ Fuadi menceritakan guru-gurunya di Pondok Modern Gontor. Generasi berilmu dan berguna bagi orang lain adalah capaian dari proses mengajar. Keikhlasan dalam mendidik menjadi daya sentuh ‘petani perabadan’. Ada yang rela tidak dibayar, dan mulianya bukan kemudian bermalas-malasan. Mendidik ‘berbagi ilmu’ upaya menguatkan ilmu sekaligus berbagi pengetahuan. Poin besar yang diingat dari nasihat kiai-kiainya, “Apa pun profesi kalian, selalu luangkan waktu untuk mengajar, berbagi ilmu, dengan ikhlas”.

Baca Juga :  Kisah Klasik Aristoteles tentang Seni Berbicara

Keikhlasan mengajar, perjuangan dan kegigihan mendidik generasi bangsa, dikisahan pula oleh 13 penulis lain. Mulai ‘Merah Putih di Kaki Langit Indong’ ditulis Rahman Adi Pradana, hingga terakhir ‘Teladan yang Berpulang’ oleh Taufiqa Hidayati. Kisah beragam sudut pandang tersajikan secara mengalir. Para penulis bercerita lewat narasi sederhana. Dibumbuhi tokoh dan tempat semakin jelas penggambaran. Pembaca turut melalangbuana pada pengalaman mengajar 13 penulis. Mereka semangat menceritakan pengalaman menjadi guru; guru-gurunya saat mengajar; masa lalu di sekolah, dan lain sebagainya.

Disebanyak kisah-kisah mereka, saya mengasumsikan pendidikan tidak sekadar mengajar di kelas. Lebih dari itu, ‘pahlawan tanpa tanda jasa’ memandang mengajar sebagai panggilan jiwa, panggilan hati yang tulus. Mereka mencurahkan tenaga dan pikirannya demi penerus bangsa. Kisah ini secara tidak langsung membalikkan citra buruk pendidikan Indonesia. Isu-isu guru keras, tidak kreatif, dan deretan lainnya. Lewat buku ini kita disadarkan sejatinya banyak hal baik yang jarang terungkap dan tak dihargai. Salah satunya, nasihat.

Nasihat sering kali tak diindahkan. Muhammad Al Aliy Bachrun lewat ‘Ping Sewu’ mengisahkan salah seorang guru di Pondok Modern Darussalam Gontor perihal tidak lelah menasihati ping sewu, seribu kali. Kata-kata yang diulang membentuk bawah sadar. Penulis, sebagai santri senantiasa terbayang-bayang oleh kata-kata yang diucapkan; perjuangan, kerja keras, pengorbanan, dan semangat pantang menyerah. Bachrun menyadari berkat keajaiban pengulangan ping sewu perlahan mengikis rasa malas dan patah semangatnya.

Akhirnya, keajaiban ping sewu ditiru Bachrun saat menjadi guru. Merasa skeptis di awal-awal mengajar, nasihat guru-gurunya tentang kasih sayang dan kesabaran diterapkan. Ia mendapat tanggung jawab khusus, yaitu mendampingi anak-anak ‘spesial. Problem tenaga, waktu, pikiran, harta, bahkan perasaan benar-benar terkuras. Aku harus mengalah dan mampu mengambil hati mereka (hal.62). Namun, kekuatan ‘sabar dan sayang’ membuahkan hasil. Selama setahun memahami dan meraba-raba kepribadiannya, mereka mampu meningkatkan kemampuan belajar. Bachrun memetik buah yang ditanam lewat sabar dan sayang.

Baca Juga :  Inspirasi Kehidupan dari Dalai Lama dan Nelson Mandela

Serupa, tapi berbeda juga dialami Dewi Yuliasari (Dee d’Barry), seorang ibu sekaligus tenaga pengajar. Ia menerapkan ‘kurikulum cinta’ kepada siswa-siswanya. Sebagai guru kursus bahasa Inggris, ia memiliki jurus tersendiri untuk dekat dengan pelajar. Sebuah cinta yang akan mendorong para siswa untuk lebih bersemangat mengikuti pelajaran di dalam kelas. Dan, semangat itu yang nantinya menghasilkan energi terbaik untuk pencapaian hasil terbaik, bukan hanya sebatas nilai. (hal.135).

Perjuangan Yuliasari mendampingi siswa tidak mulus. Ia harus berdamai dengan keadaan. Ada salah seorang siswa bernama Larry, anak pejabat. Larry sering memprovokasi teman-temannya kabur saat mata pelajaran. Sebab kejadian itu, ia memutar otaknya, kemudian mendapati jurus hadiah jajan saat Larry ulang tahun. Berkat sebatang kecil wafer tango, hati Larry luluh. Rupanya, Larry adalah anak yang kehausan kasih sayang dan perhatian dari orang tua. Orang tuanya disibukkan oleh karirnya masing-masing.

Selain Larry, juga ada Deska yang amat histeris. Suatu waktu ia kencing di botol aqua. Bu guru Rita, sampai-sampai mengunci anak itu di dalam kelas. Deska pun teriak-teriak, ‘aku’ mencoba mengulurkan cinta kepadanya. Semenjak kejadian itu, kepala sekolah meminta Yuliasari membagi cinta dengan kelas-kelas lainnya. Love can change the world! Berkat ‘kurikulum cinta’ Yuliasari mendapat amanah besar sebagai controller di Director of Studies.

Baca Juga :  Pengembangan Diri dengan Upaya Merawat Emosi

Membaca hingga tuntas pada halaman terakhir, tercipta kebanggaan kepada guru-guru kita. Lebih bangga, ketika mulanya menjadi pelajar, dan berkesempatan menjadi deretan tenaga pengajar. Kita dapat merasakan kedua-duanya seperti pada kisah Siswiyantisugi ‘Menjadi Guru Tak Biasa’, ‘Terdampar di Pondok Pesantren’ tulisan Nabila Anwar, ‘Kelas Matahari’ Alita Suyadi, dan lain di antaranya. Pada ‘Kelas Matahari’ Suyadi menjadi guru TK di sebuah kota S kurang lebih tujuh tahun. Ia dipandang mampu menangani anak-anak ‘spesial’ bermasalah. Tentunya, pengorbanan, kesabaran, kegigihan dan mendampingi mereka amat luar biasa. Di Kelas Matahari, sosoknya benar-benar dites. Bersama Kelas Matahari, ia memiliki kontrak belajar untuk mengontrol segala sikap anak didinya.

“Selama satu minggu kubacakan terus kontrak belajar itu. Jika mereka mulai ada kecenderungan melanggar, kukatakan bahwa kontrak belajar terus berlaku pada hari itu di lingkungan sekolah.” (hal.88)

Kita perlu memberi penghargaan bagi para penulis buku Menjadi Guru Inspiratif: Menyemai Bibit Bangsa. Sebuah kisah nyata pengalaman sang penulis. Lewat buku bersampul hijau terbayangkan sosok guru yang benar-benar mulia. Yaitu, sisi lain guru-guru yang tidak kita ketahui. Selama ini kita hanya melihat mereka dari fisiknya, bukan dari hal-hal yang telah disuntikkan kepada kita. Karenanya, buku ini pantas dibaca oleh setiap orang. Sebab, sejatinya mereka adalah guru bagi dirinya dan keluarganya.(*)

Berita Terkait

Mendengarkan Maarten Hidskes
Sejarah, Psikologi, dan Eksistensial
Tuhan, Manusia, dan Alam
Emosi dan Kehilangan: Interpretasi dalam Seribu Wajah Ayah
Bermekaran Bersama Bunga Tulip dengan Puisi Surajiya
Keperibadian Tan Malaka dalam Kacamata Generatif Bourdieu
Pengembangan Diri dengan Upaya Merawat Emosi
Melihat Proses Politik Indonesia Pasca Reformasi 1998

Berita Terkait

Senin, 30 September 2024 - 22:55 WIB

Mendengarkan Maarten Hidskes

Kamis, 13 Juni 2024 - 00:07 WIB

Sejarah, Psikologi, dan Eksistensial

Minggu, 19 Mei 2024 - 05:53 WIB

Tuhan, Manusia, dan Alam

Rabu, 15 Mei 2024 - 10:39 WIB

Emosi dan Kehilangan: Interpretasi dalam Seribu Wajah Ayah

Senin, 13 Mei 2024 - 07:30 WIB

Bermekaran Bersama Bunga Tulip dengan Puisi Surajiya

Berita Terbaru

Ilustrasi (pixabay/nolesa.com)

Puisi

Puisi-puisi Tundra Alif Juliant

Rabu, 25 Des 2024 - 08:36 WIB