Manusia dalam mengarungi kehidupan selalu dibayang-bayangi oleh suka-duka, tangis-tawa, dan hal-hal sejenisnya. Kehidupan adalah tempat tumbuh manusia yang memiliki sifat berkembang baik itu badan, pikiran, maupun lingkaran pertemanan.
Hidup tak ada yang tahu pastinya akan seperti apa, namun manusia hanya bisa memprediksi, esok hal apa yang akan terjadi? Entah badan yang semakin berkembang, pikiran yang semakin tajam, lingkaran pertemanan yang berkurang atau hal-hal lain yang mungkin saja terjadi di luar keinginan.
Manusia dengan segala huru-hara dan segenap problematikanya perlu bantuan untuk menjalani kerasnya kehidupan. Bantuan tersebut berupa filsafat. Lah, kenapa harus filsafat? Bukannya Filsafat itu suatu ilmu yang njelimet atau rumit secara bahasan yang akan berujung pada suatu hal yang abstrak. Bahkan bisa membuat manusia-manusia yang beragama menjadi ateis sehingga filsafat diharamkan untuk dipelajari apalagi dijadikan sebagai jalan kehidupan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Apa benar filsafat begitu menakutkan? Oh, tentu saja tidak. Ada beberapa faktor yang membuat manusia menjadi antifilsafat.
Pertama, stigma yang sudah melekat bahwa bahasan dalam filsafat itu rumit. Kedua, salah paham dengan teori-teori yang ada dalam filsafat. Ketiga, dasar rasa yang memang sudah antifilsafat.
Sikap dan perilaku yang demikian perlu ditengahkan atau diobjektifkan, bahwa filsafat tidak sebegitunya― filsafat dapat dijadikan sebagai laku hidup seperti yang diajarkan dalam filsafat Stoa.
Apa itu filsafat Stoa? Sekilas, filsafat Stoa adalah bagian daripada peradaban filsafat Yunani Kuno yang digagas oleh Zeno dan lahir di kota Athena pada awal abad ke-3 SM. Filsafat Stoa memiliki banyak bahasan di antaranya logika, fisika, dan etika.
Logika Stoa memiliki dua muatan yakni dialektika dan retorika. Pun, demikian dalam etika memiliki dua muatan yakni etika teologi dan etika politik. Umumnya, filsafat Stoa dikenal dengan sebutan Stoikisme yang memiliki minat kajian terhadap tata cara manusia menghadapi kehidupan.
Semua manusia pasti dan ingin kehidupannya selalu bahagia, kalaupun harus bersedih atau berduka tentu masanya singkat saja. Apakah mungkin manusia dapat mewujudkan kehidupannya untuk selalu bahagia? Bukankah kebahagiaan bagi manusia modern identik dengan kekayaan akan materi seperti harta, tahta, dan saudara-saudaranya?
Tentu benar pernyataan tersebut. Kondisi manusia modern menjadikan materi sebagai barometer kebahagiaan. Tetapi, apabila materi dijadikan barometer kebahagiaan akankah manusia dapat bertahan lama dengan kebahagiaan itu? Jawabannya belum tentu.
Kebahagiaan dapat diciptakan dalam alam pemikiran manusia yang kemudian diaktualisasikan dalam kehidupan nyata, hal tersebut yang diajarkan oleh filsafat Stoa. Lalu, bila demikian bagaimana konsep bahagia menurut filsafat Stoa atau Stokisme?
Suka-Tawa dengan Filsafat Stoa
Apa itu bahagia? Bahagia selalu lekat dengan hal-hal sebagai berikut: senang, suka, tawa, gembira, bangga, dan saudara-saudaranya. Bahagia adalah suatu kondisi emosional manusia yang memiliki muatan positif dalam melakukan sesuatu dan merasa puas akan kehidupan yang dijalani.
Dalam ajaran filsafat Stoa, bahagia didefinisikan suatu kondisi manusia yang merasa tidak terganggu. Kondisi tersebut dalam filsafat Stoa dikenal dengan “ataraxia” yang merupakan bahasa Yunani.
Ataraxia berasal dari kata ataraktos, “a” yang bermakna tidak dan “tarassein” bermakna menyusahkan. Jadi, ataraktos sebagai diksi memiliki makna suatu hal yang tidak menyusahkan.
Dalam substansi yang sama, ataraktos memiliki padanan kata yakni “apatheia”. Apatheia berasal dari kata “a” yang bermakna tidak dan “pathos” yang bermakna menderita. Apatheia sebagai diksi memiliki makna suatu hal yang tidak merasa menderita.
Dua diksi ini “ataraxia” dan “apatheia” secara substansi memiliki muatan makna yang sama yakni tentang “tidak terganggu”. Bila menggunakan logika sebab akibat maka “terganggu” dapat menimbulkan “penderitaan dan kesusahan”.
Manusia dalam mengarungi kehidupan tidak pernah lepas dari jeratan emosi. Maka, diperlukan cara untuk mengendalikannya. Filsafat Stoa hadir sebagai filsafat praktis yang mengajarkan manusia hidup dalam kelindan kebahagiaan yakni dengan cara melatih emosi. Emosi yang biasanya berujung pada marah, murka, terucapnya sumpah serapah ternyata merupakan bagian daripada kinerja rasio.
Romo A. Setyo Wibowo menuliskan dalam pengantar buku Filosofi Teras bahwa emosi merupakan bagian daripada rasio. Manusia murka, marah, dan mengucap sumpah serapah sebab hal yang ada dalam rasionya tak tercapai, hal tersebut yang menimbulkan emosi. Filsafat Stoa dalam ajarannya menyebut emosi ini dengan “emosi negatif”.
Manusia harus cermat dalam mengamati emosi negatif yang menjauhkan manusia dari sifat bahagia. Empat macam jenis emosi negatif yakni takut, sesal, iri hati, dan kesenangan. Emosi negatif dengan segala jenisnya hadir bergantung situasi dan kondisi manusia serta tafsiran-tafsirannya.
Sederhananya, emosi negatif hanya tentang persepsi manusia. Manusia akan merasa senang bila persepsinya tentang hari ini yang sudah sesuai dengan tujuan dan impian. Pun sebaliknya, manusia akan merasa menyesal bila membahas atau mengingat masa lalu. Dan, kebanyakan manusia kalau membahas masa depan maka yang hadir adalah rasa iri dan ketakutan.
Emosi negatif adalah bagian daripada rasio. Rasio ada dalam tiap diri manusia. Maka emosi negatif sebenarnya dapat dikendalikan oleh tiap-tiap manusia dengan menggunakan rasionya.
Filsafat Stoa memberikan cara untuk mengendalikan emosi negatif yakni dengan cara memahami asal usul emosi tersebut, lalu dikelompokkan dengan empat jenis emosi negatif, dan pikirkan kembali apa dampak dari emosi negatif bagi personal maupun komunal.
Emosi negatif bukan hal yang tak rasional. Sebab, emosi negatif merupakan bagian dari rasio yang secara otomatis merupakan bagian dari kategori rasional. Namun, kadar rasionalitasnya menyimpang karena dasar dalam menilai sesuatu sudah salah.
Maka, merupakan konsekuensi logis bila emosi negatif dilekatkan dengan “perasaan liar”. Dalam melatih emosi negatif menjadi emosi baik. Manusia perlu menerapkan 3P yakni pahami emosi negatif, pilah emosi negatif sesuai dengan jenisnya, dan pilih solusi terbaik untuk personal dan komunal. Selamat mencoba!
Jadi, sudah jelas bahwa filsafat tak selalu perihal sesat, bahasan yang berat, apalagi membuat rambut lebih cepat memutih katanya sebab kebanyakan berpikir. Belajar filsafat itu membuat manusia semakin bijak dalam bersikap dan bertindak serta belajar filsafat itu perihal “kadang-kadang”. kadang menyenangkan atau kadang “sangat” menyenangkan.
Mari libatkan filsafat dalam kehidupan kita agar lebih beragam dalam mendapatkan pengalaman dan kehidupan lebih berwarna. “Pengalaman adalah guru terbaik”. Selamat dan terima kasih telah membaca, sampai berjumpa pada tulisan berikutnya.
Daftar Pustaka:
Manampiring, Henry. (2020). Filosofi Teras: Filsafat Yunani-Romawi Kuno untuk Mental Tangguh Masa Kini. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Lie, B. (2011). Kebahagiaan dan Kebaikan-Kebaikan Eksternal: Sebuah Perbandingan antara Stoa dan Kristen. Veritas: Jurnal Teologi Dan Pelayanan, 12(2), 165–184. https://doi.org/10.36421/veritas.v12i2.242