Oleh Slamet Riyadi*)
Sebagai negara demokrasi, Indonesia telah menyelenggarakan dua belas kali pemilihan umum sejak 1995 – 2019. Dari pengalaman sebanyak itu, pemilihan umum di Indonesia mengalami berbagai proses dan dinamika tersendiri dalam pemilihan anggota parlemen, calon presiden dan calon wakil presiden serta kepala daerah.
Sejak dikeluarkannya UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang pemilihan umum presiden dan wakil presiden memunculkan mekanisme dan persyaratan ambang batas atau threshold dalam pencalonan diri sebagai calon presiden dan calon wakil presiden yang diterapkan dalam Pemilu tahun 2004. Threshold sebagai seleksi alam politik dalam pemilihan umum ditujukan untuk menyederhanakan partai politik yang akan berpartisipasi dalam pemilihan.
Lahirnya regulasi yang baru terkait dengan pemilihan umum yang tertuang dalam Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 itu menjelaskan bahwa adanya mekanisme baru untuk peserta pemilihan umum yaitu partai politik dalam mengusung calon presiden dan calon wakil presiden.
Munculnya ambang batas dalam pemilihan yang dikenal dengan presidential threshold itu menjadi mensyaratkan bahwa partai politik atau gabungan partai politik yang dapat mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden adalah partai politik yang telah memenuhi atau memiliki perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% suara sah nasional pada pemilu sebelumnya.
Problematika Presidential Threshold dalam Pemilihan Umum
Adanya ambang batas pencalonan presiden itu kemudian menciptakan polemik berkepanjangan dalam pemilu Indonesia. Pasalnya, hal itu tidak diatur secara langsung dalam UUD 1945. Pasal 6A ayat (1) dan ayat (2) UUD 1946 hanya mengamanatkan bahwa pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan secara langsung oleh rakyat dengan diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik tanpa adanya persyaratan kepada partai politik dalam mengusung Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden.
Karena itu, menurut banyak ahli politik dan hukum tata negara, kehadiran presidential threshold dalam praktik pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dinilai sudah tidak relevan karena tidak ada patokan yang jelas. Namun, meski begitu, nyatanya presidential threshold masih tetap diterapkan dalam pemilihan presiden dan wakil presiden tetap yang dilaksanakan hingga saat ini.
Mengapa presidential threshold tetap eksis menjadi mekanisme dan syarat mutlak bagi partai politik dalam mengusung Calon Presiden dan Wakil Presiden? Apa kelebihan dan kekurangannya? Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017 tertanggal 19 Desember 2017 sebagai putusan hasil uji materiil terkait dengan pasal yang mengatur tentang presidential threshold pada hakikatnya termasuk kebijakan hukum terbuka atau dapat disebut open legal policy.
Open legal policy merupakan penjabaran dari konstitusi yang dituangkan dalam undang-undang dengan batasan tidak melanggar segala ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Dasar.
Kebijakan hukum terbuka atau open legal policy menjadi instrumen yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat untuk membentuk undang-undang sebagai penjabaran dari Undang-Undang Dasar yang masih bersifat umum. Ketika suatu norma undang-undang masuk ke dalam kategori kebijakan hukum terbuka maka norma tersebut bernilai konstitusional atau bersesuaian dengan UUD 1945 sehingga adanya kebebasan pembentuk undang-undang untuk menafsir dan menuangkan dalam suatu undang-undang tertentu.
Oleh karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017 tertanggal 19 Desember 2017 tentang penerapan presidential threshold dikatakan sah dan bersifat konstitusional karena tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar sebagai hukum dasar tertinggi.
Diberlakukannya presidential threshold sebagai syarat pengajuan Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilihan Umum ditujukan untuk menyederhanakan partai politik dalam iklim multi partai di Indonesia yang dilakukan oleh lembaga legislatif. Hal ini dikarenakan partai politik lahir atas dasar aspirasi dan ideologi yang beragam sehingga sebagai negara yang menganut sistem presidensial, penyederhanaan partai politik dalam jubah koalisi menjadi langkah kongkrit untuk memperkuat sistem presidensiil. Apabila partai politik tidak mampu disederhanakan akan cenderung menghambat fungsi dan tugas pemerintahan karena ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah yang tidak sejalan dengan aspirasi partai yang beragam.
Penyederhanaan partai politik dalam wadah koalisi melalui pemilihan dengan menjalankan mekanisme presidential threshold mampu mempercepat kinerja pemerintah karena hasil dari pemilihan presiden dan wakil presiden tersebut akan melahirkan dua poros dalam tubuh parlemen, yaitu poros pemerintah sebagai pengusung dan poros oposisi.
Kehadiran poros oposisi menjadi bagian terpenting dalam mengawasi kebijakan pemerintah sebagai pihak penentang dan pengkritik pendapat atau kebijakan politik penguasa. Sehingga dalam kondisi inilah kebijakan pemerintah yang telah dibuat menjadi formula yang dapat diterima secara baik oleh rakyat. Selain itu, terbentuknya dua kubu dalam tubuh parlemen akan memperkuat pelaksanaan pemerintahan dan pemerintahan yang dijalankan akan lebih stabil karena proses pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan akan berjalan lebih cepat dan efektif.
Tingginya ambang batas dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yakni perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% suara sah nasional memaksa partai politik yang tidak memenuhi syarat presidential threshold harus berkoalisi dengan partai peserta pemilihan umum lainnya untuk mengusung calon pasangan presiden dan wakil presiden. Sehingga partai politik harus menyeleksi calon Presiden dan Wakil Presiden dengan sungguh-sungguh untuk memperoleh basis dukungan yang kuat di parlemen.
Proses penyeleksian calon presiden dan wakil presiden dalam partai politik secara tidak langsung memunculkan figur Presiden dan Wakil Presiden yang kuat. Di samping itu, Presiden dan Wakil Presiden yang telah terpilih akan mendapat basis dukungan politik yang besar di parlemen, sehingga memperkuat sistem presidensial yang dianut oleh Indonesia. Tentu saja hal ini merupakan kondisi yang menguntungkan karena mendorong pelaksanaan pemerintahan berjalan efektif dan stabil.
Memaksa partai kecil atau partai baru dalam pemilihan umum yang belum memenuhi syarat presidential threshold harus berkoalisi dengan partai politik lain untuk memenuhi syarat ambang batas dalam mengusung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini memupus peluang munculnya kandidat alternatif dan menciptakan koalisi yang tidak berbasiskan program melainkan berbasis kepentingan sehingga memunculkan politik transaksional.
Meskipun demikian penerapan, presidential threshold dalam pemilihan umum masih memperoleh penolakan dari berbagai pihak karena masih banyak kelemahan dan kerugian dalam proses penerapannya. Munculnya syarat ambang batas minimal, dengan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% suara sah nasional.
Memaksa partai kecil atau partai baru dalam pemilihan umum yang belum memenuhi syarat presidential threshold harus berkoalisi dengan partai politik lain untuk memenuhi syarat ambang batas dalam mengusung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini memupus peluang munculnya kandidat alternatif dan menciptakan koalisi yang tidak berbasiskan program melainkan berbasis kepentingan sehingga memunculkan politik transaksional. Bentuk koalisi partai politik seperti ini justru akan memperlemah sistem presidensial, karena Presiden tersandera oleh partai politik dalam koalisinya.
Penyederhanaan partai politik dalam wadah koalisi berpotensi menimbulkan polarisasi di tengah masyarakat. Sebab, partai politik yang belum memenuhi ambang batas harus bergabung dengan partai lainnya untuk memenuhi persyaratan presidential threshold agar bisa mengusung calon presiden dan wakil presiden. Proses penggabungan inilah yang menggiring pada pengerucutan dalam pemilihan menjadi dua kubu. Tentu saja hal ini berdampak pada keterbelahan di masyarakat.
Jika ambang batas pencalonan dalam pemilihan umum ditiadakan maka partai politik bisa mengusung sendiri pasangan calon presiden dan wakil presidennya. Sehingga kekhawatiran akan keterbelahan di masyarakat menjadi dua kubu kemungkinan bisa diminimalisir karena calonnya banyak. Rakyat memiliki alternatif pilihan serta memperoleh menu yang variatif dalam pemilihan umum untuk memilih presiden dan wakil presiden tanpa adanya saringan terlebih dahulu lewat presidential threshold yang didasari pada basis dukungan dari parlemen. Apalagi jumlah seluruh penduduk Indonesia sekitar 275,77 juta jiwa seharusnya calon presiden dan wakil presiden tidak hanya dua pasangan calon saja.
Konsep Presidential Threshold mereduksi hak partai politik untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden. Padahal, hak tersebut telah tertera dengan jelas dalam Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa “Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pemilihan umum” dalam Pasal tersebut tidak memberikan batasan terhadap partai politik dalam mengusung calon presiden dan wakil presiden. Namun penerapan presidential threshold, secara tegas telah membatasi partai politik yang baru berpartisipasi dalam pemilihan umum karena tidak memenuhi besaran angka yang ditentukan untuk mengajukan calonnya. Sehingga penerapan presidential threshold berpotensi menghilangkan kesempatan dan hak politik rakyat yang beragam melalui partai politik.
Selain itu, penerapan presidential threshold harus dilakukan secara proporsional serta memperhatikan keseimbangan antara politik hukum penyederhanaan partai dan perlindungan terhadap keragaman politik. Presidential threshold tidak boleh melibas prinsip demokrasi dan merugikan kelompok masyarakat tertentu dalam pemerintahan terutama kelompok minoritas.
Sehingga ambang batas minimal dalam pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden dengan alasan sebagai cara untuk membentuk pemerintahan yang efektif melalui proses penyederhanaan partai politik telah menghilangkan hak warga negara memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan untuk memilih secara cerdas dan efisien.
Dengan adanya paparan tentang beberapa kelemahan dalam penerapan presidential threshold diatas, dapat dikatakan bahwa presidential threshold tidak lagi relevan untuk diterapkan dalam pemilihan presiden dan wakil presiden. Karena penerapan presidential threshold dianggap berlawanan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan berpotensi akan menghilangkan makna pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama bagi setiap warga negara di hadapan hukum.
Selain itu, ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menjelaskan bahwa persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan merupakan hak warga negara untuk memilih tanpa dibatasi oleh apapun termasuk presidential threshold. Sehingga ambang batas minimal dalam pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden dengan alasan sebagai cara untuk membentuk pemerintahan yang efektif melalui proses penyederhanaan partai politik telah menghilangkan hak warga negara memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan untuk memilih secara cerdas dan efisien.
*Mahasiswa STKIP PGRI Sumenep
Editor: Ahmad Farisi