Oleh AHMAD FARISI*
Alih-alih berkurang, jumlah calon tunggal dalam setiap Pilkada terus meningkat secara signifikan. Menurut data Komisi Pemilihan Umum (KPU), pada Pilkada 2015, tercatat baru ada tiga calon tunggal; bertambah menjadi sembilan calon tunggal pada Pilkada 2017; bertambah menjadi enam belas calon tunggal pada Pilkada 2018; dan kemudian bertambah menjadi dua puluh lima calon tunggal dalam Pilkada 2020.
Secara gamblang, apa pun alasannya, meningkatnya angka calon tunggal dalam setiap periode Pilkada ini bukanlah hal baik bagi suksesi kepemimpinan kepala daerah. Sebab, meningkatnya angka calon tunggal ini, sama sekali tidak menghadirkan pilihan-pilihan yang terbaik bagi pemilih. Sebaliknya, fenomena calon tunggal ini kesannya justru seperti menjebak masyarakat untuk memilih satu-satunya calon yang telah ditentukan oleh elite.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dua Faktor Utama
Meningkatnya angka calon tunggal melawan kotak kosong dalam setiap periode Pilkada ini tidak bisa dilepaskan dua faktor utama. Pertama, kegagalan partai politik. Dalam hal ini, partai politik gagal menjalankan fungsi kaderisasinya yang diamanatkan oleh undang-undang; partai politik gagal mencetak bibit-bibit unggul calon pemimpin daerah.
Kegagalan tersebut kemudian menjadikan partai politik mengalami krisis kader. Kondisi di mana partai politik tidak memiliki stok sosok atau figur untuk diusung menjadi calon kepala daerah. Krisis kader ini salah satunya disebabkan karena partai politik tidak pernah serius untuk melakukan kaderisasi. Partai politik hanya dijadikan sebagai mesin politik lima tahunan, tidak benar-benar dijadikan sebagai ruang dan tempat melakukan kaderisasi.
Kedua, pragmatisme partai politik. Pragmatisme partai ini tergambar jelas dalam proses pencalonan kepala daerah di mana banyak partai politik memilih untuk mencalonkan sosok atau figur yang memiliki modal finansial yang tinggi meski bukan kader sendiri.
Fenomena itu jamak dan lumrah terjadi di berbagai daerah. Yang kemudian menyebabkan surat-surat rekomendasi atau tiket politik yang dimiliki partai tersentralisasi kepada satu sosok figur. Walhasil, pemilihan kepala daerah menjadi hanya diikuti oleh satu pasangan calon semata. Yakni, pasangan calon yang telah disepakati oleh elite.
Karena itu, alasan partai yang selalu berlindung dibalik tingginya syarat pencalonan kepala daerah yang harus dipenuhi oleh partai politik adalah tidak benar. Sebab, meski harus diakui syarat pencalonan yang diatur dalam Pasal 40 UU/10/2014 cukup tinggi, namun pada kenyataannya kendala persyaratan calon itu bisa diatasi dengan mudah. Dengan cara berkoalisi dengan partai lain yang sama-sama tidak memenuhi syarat perolehan kursi/suara, misalnya.
Kerjasama atau koalisi antarpartai politik untuk memenuhi syarat pencalonan ini sangat memungkinkan untuk dilakukan. Sebab, mayoritas partai politik di daerah sama-sama tidak memenuhi syarat untuk mengusung kepala daerah seorang diri. Kecuali di beberapa daerah di mana suatu partai tertentu memiliki basis massa akar rumput yang kuat dan terkonsolidasi.
Jadi, meski syarat perolehan kursi/suara yang harus dipenuhi partai cukup tinggi, andaikan partai tidak mengalami krisis kader dan serta tidak memilih bersikap pragmatis, niscaya fenomena calon tunggal tidak akan meningkat signifikan. Paling tidak (dengan komposisi koalisi gemuk) akan ada dua calon kepala daerah di setiap daerah jika partai politik tidak pragmatis dan mengalami krisis kader. Jadi, tidak hanya terdiri dari satu calon tunggal.
Dua Usulan
Oleh karena itu, untuk mengatasi fenomena calon tunggal yang mengkhawatirkan, penulis mengusulkan dua hal dalam ini sebagai solusi. Pertama, ke depan tampaknya sangat penting untuk memberlakukan batas maksimal perolehan kursi atau suara sebagai syarat mengusung pasangan calon kepala daerah bagi partai atau gabungan partai dalam Pilkada.
Artinya, jika saat ini yang ada hanya batas minimal bagi partai atau gabungan partai untuk bisa mengusung pasangan calon kepala daerah, maka ke depannya juga perlu dilakukan pembatasan maksimal bagi partai atau gabungan partai dalam memberikan dukungan.
Jadi, ada batas minimal dan maksimalnya. Jika batas minimalnya adalah harus memiliki minimal 20 persen kursi di DPRD, maka ke depan juga harus diberlakukan aturan yang sama untuk mengatur batas maksimalnya. Tidak boleh lebih dari 25 persen kursi di DPRD, misalnya.
Kedua, menurunkan syarat pencalonan bagi calon jalur perseorangan. Syarat pencalonan bagi jalur perseorangan yang ada saat ini dinilai terlalu memberatkan. Yang hal itu telah mengakibatkan banyak bakal calon kepala daerah perseorangan gagal mencalonkan dirinya dalam pemilihan kepala daerah. Baik di tingkat provinsi, kabupaten, atau kota.
Dua usulan itu rasanya cukup rasional dan efektif untuk menekan angka calon tunggal yang dalam setiap periode Pilkada terus meningkat secara signifikan. Usulan pertama secara tidak langsung diyakini bakal mampu menekan partai politik untuk mengusung pasangan calon, sementara usulan kedua secara tidak langsung juga akan mampu membuka ruang besar bagi calon-calon independen untuk meramaikan bursa kepemimpinan.
Dengan demikian, maka pemilihan kepada daerah tidak akan lagi menjadi “ajang pemaksaan” bagi rakyat untuk memilih calon kepala daerah yang telah ditentukan elite politik itu sendiri. Tetapi betul-betul menjadi momentum bagi rakyat—sebagai pemilik kedaulatan tertinggi di negeri ini (baca: Pasal 2 ayat (1) UUD 1945)—untuk menentukan pemimpinnya.
*) Pengamat Politik