Oleh: Faqih Thariqu Billah*
Opini, NOLESA.com — Berbicara masalah keadaan masa kini, banyak makna yang terkandung di dalamnya. Terdapat hal yang mengarah kepada ranah positif, sebab memiliki substansi kemajuan. Nilai kemajuan yang merupakan manisfestasi dari perkembangan ilmu pengetahuan manusia. Melalui usaha dan iktikadnya manusia berupaya untuk menggapai kemajuan dalam kehidupan.
Upaya pun mencapai beberapa keuntungan dalam memudahkan segala kebutuhan manusia. Segala alat atau pun sistem diatur sedemikian rupa untuk memberikan kenyamanan dan kemudahan bagi manusia sendiri. Sehingga manusia hanya perlu menikmati kemajuan yang diciptakan, tidak perlu bersusah payah dan berkeringat, produk ciptaannya dapat melakukan semua hal yang diinginkannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun pada perkembangannya, kemajuan hari ini seolah mengalami bias makna. Satu sisi memiliki makna positif yang mengarah pada kemajuan dan satu sisi lainnya mempunyai makna negatif yang condong kepada kemunduran.
Terjadinya bias makna ini dipelopori oleh kemajuan sains teknologi secara pesat. Pada akhirnya di samping memberikan dampak positif pada keadaan jasmani dengan serba mudah dan nyaman, juga mengkontribusikan problematis pada keadaan psikis manusia. Sehingga, tidak heran jikalau hanya menciptakan kesenangan secara materealistis semu dengan menafikan kesenangan yang hakiki.
Terlena akan hingar bingar kehidupan hanya akan memberikan dan menyediakan sarana prasarana untuk kenyamanan dalam perbuatannya. Lebih-lebih hanya memberikan kepuasaan lahiriyah, meninggalkan kesenangan batiniyah dan terkadang dalam praksisnya juga lebih mementingkan kepetingan individualis.
Nurcholish Madjid berpendapat bahwa pada masa kini, nilai silih berganti dengan cepat, demikian dengan cara hidup seseorang yang mengakibatkan timbulnya keadaan tak menentu serta berbagai kejutan. Manusia pun semakin jauh dari kepastian moral dan tradisional etisnya. Dan dengan kata lain kehidupan modern masa kini telah menyebabkan degradasinya rasa kemanusiaan pada sosial masyarakat.
Seperti kasus hangat baru-baru ini, saat Asisten Rumah Tangga (ART) -asal Garut, mengalami tindakan penganiayaan dan perlakuan kasar dari majikannya di tempat dirinya berkerja. ART tersebut acap kali dibentak dan tak lupu juga mendapatkan kekerasan verbal. Tindakan kekerasan yang mengakibatkan tubuhnya lebam dan penuh dengan luka (dilansir KOMPAS.com 2/11/22).
Tindakan kekerasan tersebut didalihkan sebagai akibat ART pernah melakukan kesalahan dalam pekerjaannya. Mungkin dalam benaknya untuk membuat ART jera dan tidak pernah melakukan kesalahan lagi. Namun ironinya, seberapa pun kesalahan yang diperbuat olehnya tidak akan pernah melegalkan suatu tindakan kekerasan. Apalagi kesalahannya bukan termasuk kategori fatal, layaknya lupa mematikan kran atau sekedar kurang rapi dalam menyetrika.
Jelas, kasus ini merupakan perwujudan dari krisis kemanusiaan. Setidaknya terdapat tiga poin yang mendasarinya. Pertama, individualistis. Pelaku penganiayaan ART tersebut hanya mementingkan dirinya sendiri, paling penting dirinya tidak dirugikan orang lain. Sehingga, sejalan dengan pendapat Nurcholish Madjid, era modern ini dinahkodai oleh sistem industrialisasi dan tidak mengenal pribadi. Karena manusia hanya mengejar profit untuk dirinya sendiri dan menanam benih kepribadian yang tak berkemanusiaan. Lambat laun berkembang menjadi pribadi yang fokus dan konsentrasi terhadap kepentingannya sendiri dan tidak mau tau entah orang lain dirugikan atau pun tidak.
Kedua, materialistis. Pekerjaan pelaku disinyalir menjadi admin judi online (dilansir TribunJabar.id). Suparlan Suhartono berpendapat bahwa akibat masa modern yang dikuasai oleh sistem ekonomi kapitalistik yang telah mengakar sejak sekian lama, banyak manusia yang terjebak dalam krisis moral dan materi yang sulit untuk diatasi. Sehingga tidak heran jika individu melakukan tindakan apapun dan dengan cara apapun untuk mendapatkan harta. Seperti halnya judi online yang merupakan tindak pidana, sebagaimana tertera pada pasa 27 ayat 2 jo. Pasal 45 ayat 2 UU ITE.
Ketiga, kurang bersosial dan cenderung hedonis. Kebiasaan harian pelaku hanya bekerja kemudian pulang dan demikian seterusnya. Sehingga masyarakat sekitar kurang mengenal akan kehidupan pelaku (dilansir KOMPAS.com 2/11/22). P Baudrillard berpendapat bahwa manusia sekarang cenderung memaknai konsumtif sebagai suatu kenikmatan dan menjadi tujuan. Manusia tak lagi berorientasi pada pemenuhan pokok belaka, namun lebih kepada pemenuhan kemewahan dan menafikan kehidupan sosial sekitarnya. Banyak yang terlena dan lupa bahwa kehidupan sosial yang akan menolong manusia, saat dirinya ditimpa musibah.
Era kemajuan merupakan suatu kepastian dan mutlak, kehadirannya pun tidak perlu dihindari dan dicegah. Sebab substansinya dapat membawa manusia pada kenyamanan dan kemudahan dalam hidupnya. Hanya saja perlu diwaspadai jangan sampai terlena bahwa sisi positifnya juga bersebelahan dengan sisi negatifnya. Kemajuan di berbagai aspek merupakan nilai surplus, namun harus tetap berbanding lurus dengan kemajuan sosial, kemanusiaan atau pun spiritual.(*)
*Penulis merupakan mahasiswa pasca sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, bisa disapa melalui akun Instagram “Faqih Thariqu Billah”