Oleh AHMAD FARISI*
Upaya politik kekuasaan untuk mendegradasi demokrasi sedang berlangsung. Melalui kuasa legislasinya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) secara destruktif hendak membonsai kekuasaan MK dan juga pers melalui revisi undang-undang yang dilakukan secara tertutup.
Revisi undang-undang dimaksud adalah UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang MK dan UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Poin-poin perubahan pada dua UU tersebut secara nyata hendak membungkam pers sebagai pengawas kekuasaan dan mengerdilkan MK sebagai penjaga konstitusi. Sebab, poin-poin perubahan yang ada, alih-alih semakin menguatkan iklim peradilan dan jurnalisme kita, yang ada justru semakin memperburuk.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Lazimnya, revisi undang-undang dilakukan untuk menyempurnakan yang kurang baik dan memperbaiki yang tak lagi relevan: menambal yang bolong, dan memperhalus yang kasar. Namun, apa yang dilakukan DPR dalam revisi UU MK dan UU Penyiaran justru adalah sebaliknya: merusak yang telah baik dan menciptakan kerusakan baru yang lebih parah.
Dalam konteks UU MK, salah satu poin revisi yang sangat problematik adalah soal pemberhentian hakim konstitusi. Di mana jika revisi itu berhasil disahkan, maka lembaga pengusul setiap lima tahun bisa secara leluasa melakukan evaluasi dan bahkan memberhentikan hakim konstitusi yang dianggap tidak memuaskan kekuasaan (Pasal 23A Ayat 2 RUU MK).
Kehadiran ketentuan baru yang termuat dalam Pasal 23 Ayat 2 RUU MK itu sebenarnya bukanlah hal baru. Jauh sebelum ketentuan itu diselundupkan dalam revisi UU MK yang keempat, DPR sebenarnya telah lebih dulu mempraktikkan cara semacam itu dalam pemberhentian Aswanto dan pengangkatan Guntur Hamzah sebagai Hakim Konstitusi.
Kala itu, DPR yang mendapat surat konfirmasi dari MK mengenai jabatan Aswanto, secara tiba-tiba tanpa alasan yang jelas sebagaimana diatur dalam UU MK, mencopot Aswanto dan mengangkat Guntur Hamzah sebagai gantinya. Satu-satunya alasan yang kala itu diajukan DPR adalah karena Aswanto dinilai kerap menganulir UU yang dibuat oleh DPR. Padahal, secara konstitusional, hal itu memang merupakan tugas Aswanto sebagai hakim konstitusi.
Jadi, jika praktik pemberhentian Aswanto yang tidak memenuhi syarat itu di legalisasi melalui revisi UU MK, maka dapat dipastikan tak akan ada hakim-hakim konstitusi yang kemudian berani untuk membatalkan undang-undang yang dibuat oleh DPR-Pemerintah ke depannya. Tak akan ada lagi-lagi hakim independen yang bisa diharapkan. Dan, sekalipun ada, kemungkinan ia tak akan berumur panjang, diberhentikan di tengah jalan seperti Aswanto.
Sementara dalam konteks revisi UU Penyiaran, poin utama yang dianggap sangat problematik adalah Pasal 50 B Ayat 2 huruf c yang memuat ketentuan larangan menayangkan siaran ekslusif jurnalisme investigasi. Padahal, adanya jurnalisme investigasi sangat penting bagi pers. Sebab, sebagai pengawas dan pengontrol kekuasaan, keberadaan pers bukan hanya sebagai penyiar peristiwa, tetapi juga bertugas untuk membongkar fakta di balik peristiwa.
Karena itu, bisa dikatakan, jantung utama media sebenarnya terletak pada kebebasannya untuk melakukan investigasi mendalam terhadap sebuah peristiwa. Tanpa kebebasan untuk melakukan investigasi, maka keberadaan pers tak lebih dari sekadar pembawa surat. Semata-mata hanya menjadi perantara informasi yang telah ”ditulis” rapi oleh kekuasaan. Bukan lagi sebagai watch dog yang senantiasa menggonggongi kekuasaan.
Matinya pers dan MK adalah awal dari kelahiran monster kekuasaan. DPR harus menyadari bahaya ini.
Karena itu, rencana revisi UU Penyiaran ini jika terus dibiarkan berlanjut tanpa perubahan pada poin-poin kontroversial hingga sampai disetujui dan disahkan, maka eksistensi pers benar-benar akan mandul, persis seperti eksistensi MK jika revisi UU MK juga disahkan tanpa perubahan signifikan sejumlah poin-poin yang problematik secara ketatanegaraan.
MK dan pers, sebagai dua institusi negara dan institusi non-negara independen pada tahap selanjutnya hanya akan menjadi institusi pajangan belaka. Adanya hanya ada, namun tidak bisa melakukan kontrol dan pengawasan secara signifikan terhadap kekuasaan.
Hal itu tentu adalah ancaman serius bagi masa depan demokrasi Indonesia. MK dan pers adalah dua pilar penting demokrasi. Tanpa kontrol dan pengawasan dari keduanya, kekuasaan otoritarian orde baru yang kita lawan 26 tahun silam akan kembali. Matinya pers dan MK adalah awal dari kelahiran monster kekuasaan. DPR harus menyadari bahaya ini.
*) Pengamat Politik